> >

Ironi Stadion Olimpiade Berlin

Opini | 13 Juli 2024, 15:05 WIB
Ilustrasi Euro 2024. (Sumber: AP Photo/Frank Augstein, Pool, File)

Oleh: Martian Damanik, Jurnalis Kompas TV

KOMPAS.TV - Stadion Olimpiade Berlin, Jerman, yang dibangun pemerintahan Nazi tahun 1936 tujuannya bukan sekadar pertunjukan olah raga, tapi sebagai ajang propaganda memamerkan superioritas ras bangsa Arya.

Ironisnya, panggung Olimpiade Berlin justru diambil pelari Jesse Owens dari Amerika Serikat. Di tengah larangan Adolf Hitler bagi orang Yahudi dan “kulit hitam” ikut bertanding, atlet keturunan Afrika itu meraih 4 medali emas. Owens jadi atlet terbaik mengalahkan atlet kulit putih Jerman andalan Hitler dan Nazi. 

Stadion ini dijadikan klub Hertha Berlin sebagai kandang atau home base. Ironisnya, klub ibu kota Jerman ini justru terdegradasi dari divisi satu Bundesliga ke divisi dua, dan musim depan pun masih belum mampu bersaing dengan klub elite Jerman.

Baca Juga: Wasit Final Euro 2024 Terungkap, Terkenal usai Rugikan Timnas Indonesia dan Usir Shin Tae-Yong

Ironi juga bagi tim nasional sepak bola Jerman, jadi tuan rumah (sejak reunifikasi Jerman) Piala Dunia 2006 dan Piala Eropa 2024, belum pernah merayakan juara atau berlaga dalam partai final di Berlin. Jerman hanya bisa jadi juara saat masih bernama Jerman Barat tahun 1974 di Munich, stadion kebanggaan FC Bayern.

Jesse Owens di dalam Stadion Olimpiade Berlin, 1936. (Sumber: Instagram @Aussiebeachut)

Kali ini, Spanyol dan Inggris yang akan memakai stadion Berlin meraih gelar kampiun Eropa. Bagi pelatih Inggris Gareth Southgate, inilah ajang melepaskan diri dari kenangan buruk Piala Eropa 1996 sekaligus jadi manajer tim nasional Inggris pertama yang memboyong juara Piala Eropa.

Selevel dengan Sir Alf Ramsey, manajer legendaris Inggris peraih juara Piala Dunia 1966. Dosanya saat gagal jadi eksekutor penalti yang menghentikan langkah Inggris meraih mimpi “Football is Coming Home” tahun 1996 lalu akan diampuni. Kalau gagal, sudah terbayanglah wajah Alan Shearer atau Gary Lineker yang siap memberikan cemooh. Juara di Berlin secara tidak langsung juga membalas Jerman yang merebut juara di Wembley tahun 1996.

“Semua orang ingin dicintai, bukan? Jadi ketika Anda berbuat sesuatu untuk negara dan bangga menjadi orang Inggris, namun ada yang tidak yang mengakuinya, cuma bisa mengkritik saja, itu adalah hal sulit. Memberi kegembiraan kepada pendukung kami malam yang indah ini adalah sangat berarti,” ucap Southgate seperti ditulis Nick Ames dari Guardian usai kemenangan lawan Belanda.

Baca Juga: Jelang Final Euro 2024: Pertaruhan Masa Depan Gareth Southgate Pimpin Inggris

Saatnya memang mendapatkan cinta yang layak dari fans dan respek dari para seniornya. Federasi Sepak Bola Inggris memberikan garansi: apa pun hasil final lawan Spanyol, Southgate tetap dipertahankan. Prestasi Southgate selama melatih tidaklah buruk, bahkan lebih baik. Ini kali kedua dia membawa Inggris ke final Piala Eropa dan masuk semi final Piala Dunia 2018, yang bikin dia sejajar dengan pelatih Bobby Robson.

Belum juara tentu belum cukup, karena itu Shearer dan Lineker---senior Southgate di timnas---berani mencemooh penampilan dan taktik yang digunakan Inggris di awal turnamen ini. Padahal semua juga tahu, Shearer dan Lineker memang hebat saat jadi pemain, tapi belum pernah mempersembahkan gelar bagi Tiga Singa. Mereka bukan pelatih, tapi komentator.

Jawaban Southgate atas kritik dan cemooh itu adalah saat laga semifinal melawan Belanda. Tidak panik saat tertinggal, dan ide brilian memasukkan striker Ollie Watkins dan gelandang Cole Palmer menggantikan Harry Kane dan Phil Fode di menit-menit akhir. Ide yang berisiko menggantikan Kane seorang kapten dan top skor.

Tetapi justru di dalam ide yang berisiko itulah terdapat kesempatan yang dapat mengubah keadaan. Belanda sudah hapal serta belajar bagaimana mematikan Kane, Stefan de Vrij sudah melaksanakan tugas dengan baik.

Hanya saja, de Vrij tidak hapal gaya Watkins, striker Aston Villa yang baru terdengar belakangan ini. Menit 90+1, Watkins berlari dibayangi mengejar umpan Palmer, kontrol bola sebentar langsung menendang ke tiang jauh, gol! Stefan de Vrij mungkin tidak menyangka Watkins langsung menembak sehingga terlambat mengadang. Strategi jitu dari Southgate, memasukkan pemain yang dianggap biasa saja, namun memberi efek kejut. 

Baca Juga: Jelang Final Euro 2024 Kontra Spanyol, Southgate: Secara Taktik, Inggris Harus Sempurna!

Mungkin alasan ini pula yang membuat pemain sehebat Marcus Rashford, Jaydon Sancho, dan Jack Grealish tak masuk dalam skuad.  Mantan pemain Aston Villa ini butuh orang  yang sesuai taktik dan strateginya. Kalau Phil Foden dan Bukayo Saka sudah cukup mengisi sisi sayap, buat apa lagi Rashford, Sancho atau Grealish? Lagi pula, Foden dan Saka lebih menyala penampilannya di EPL. Untuk striker, dibutuhkan striker tipikal Harry Kane, jelas itu tidak ada dalam diri Rashford, tapi ada pada Watkins atau Ivan Toney.

Southgate juga mampu membina mental dan konsistensi pemainnya, terbukti Inggris mampu membalikkan keadaan dalam tiga partai krusial. Melawan Slovenia, Swiss, dan Belanda, Inggris selalu tertinggal, namun akhirnya keluar sebagai pemenang. Kalau materi sudah baik, mental konsistensi bagus, tinggal masalah dewi fortuna, ada di pihak Inggris atau Spanyol.

Spanyol jelas berbeda dengan Belanda. Tim Matador sudah mengalahkan juara bertahan Italia, tuan rumah Jerman, dan tim kuat Prancis. Mungkin kalau mereka kalah dari Inggris, dapat gelar hiburan juara tanpa mahkota. Tidak ada jaminan tim yang bermain bagus, bermain cantik, otomatis juara. Tanyakan kepada fans Belanda mengapa ahli “total football” Rinus Michel dengan Johan Cruyff tidak juara tahun 1974 atau fans Brasil yang tak habis pikir Zico dan Socrates tak bisa bawa Piala Dunia 1982.

Tentu saja, pelatih Luis de La Fuente ingin mencetak sejarah, apalagi Spanyol secara statistik selama turnamen ini lebih unggul dari Inggris. Kekuatan Spanyol ada di lini tengah, mereka punya dua jenderal lapangan bernama Rodrigo dan Fabian Ruiz. Dua pemain benar-benar membuat Spanyol dapat mengontrol ritme permainan, bahkan membuat lini tengah Prancis yang dikenal tangguh tidak berdaya. Rodri adalah roh permainan menjaga keseimbangan, sementara Ruiz yang mengendalikan serangan. “Tiki Taka” warisan Luis Aragones diperkuat Fuente dengan sistem transisi sempurna saat menyerang maupun bertahan.

“Ketika Anda sudah menentukan strategi permainan, hal itu akan mendekatkan kepada kemenangan. Kami selalu mencoba menghibur penggemar. Saya pikir Spanyol adalah tim yang menghibur, namun yang terpenting di sini adalah kemenangan. Kami harus bermain bagus tapi juga pragmatis, karena pada akhirnya, orang hanya akan menilai dari hasil akhir saja,” ujar Fuente.

Baca Juga: Prediksi Susunan Pemain Spanyol vs Inggris di Final Euro 2024

Kalau Foden dan Saka belum menemukan form terbaik, berbeda dengan penyerang sayap Nico Wiliams dan Lamine Yamal yang sedang gacor-gacornya. Winger dan top skor Belanda Cody Gakpo boleh tak berdaya ditangani bek Kyle Walker, tapi Willams mungkin akan lebih merepotkan, karena lebih cepat dan skill full. Fans Spanyol pun sudah melupakan mengapa Yamal yang dipilih Fuente, bukan Marco Asensio. Lamal remaja 17 tahun---saat bayi pernah dimandikan Lionel Messi--- menaklukkan kiper sehebat Mike Maignan lewat tendangan pojok kiri bagian atas.

Spanyol  belum pernah bertanding extra time hingga adu penalti. Apakah ini akan jadi kelemahan Spanyol bila Inggris memaksa pertandingan berakhir imbang dan harus diakhiri adu penalti? Spanyol terakhir kali dihentikan Maroko lewat adu penalti di Piala Dunia Qatar, sedangkan Inggris menang adu penalti lawan Swiss di perempat final dua minggu lalu. Analisis ini bisa saja salah karena kiper Unai Simon sudah berpengalaman di Piala Eropa 2020 dan Piala Dunia 2022, kemampuannya tak kalah dengan Jordan Pickford.

Stadion Olimpiade Berlin yang jadi saksi siapa jadi juara. Tahun 2006, stadion ini jadi panggung bagi Italia meraih gelar keempat piala dunia. Jadi ironi bagaimana maestro Perancis Zinedine Zidane mengakhiri karier dengan hadiah kartu merah, usai kedapatan menanduk Marco Materazzi.

Partai final 2006 itu, selain jadi panggung kiper Gianluigi Buffon dan bek Fabio Cannavaro, justru mengangkat nama bek kiri Italia Fabio Grosso. Selama dua dekade orang hanya mengenal Paolo Maldini sebagai bek kiri Italia, tapi di Berlin orang mengenal Fabio Grosso. Bek kiri sekaligus eksekutor penentu kemenangan drama adu penalti. 

Stadion Olimpiade Berlin sepertinya menyukai sosok yang terpinggirkan seperti Jesse Owens atau Fabio Grosso untuk mengambil panggung dalam drama final Spanyol melawan Inggris.

 

Penulis : Redaksi Kompas TV Editor : Vyara-Lestari

Sumber : Kompas TV


TERBARU