> >

Tuntaskan Dendam Iniesta dan Luis Aragones

Opini | 8 Juli 2024, 19:17 WIB
Luis Aragones saat melatih tim nasional Spanyol (Sumber: Facebook Football City)

Oleh: Martian Damanik, Jurnalis KompasTV

KOMPAS.TV - Dalam sepak bola, tim nasional Perancis adalah mimpi buruk bagi tim nasional Spanyol.

Pada 1984, mereka bertemu di final Piala Eropa. Spanyol berharap mengakhiri puasa gelar selama 20 tahun, sejak juara 1964. 

Tetapi, kuartet gelandang terbaik saat itu Michel Platini, Jean Tigana, Alain Giresse dan Luis Fernandez bikin Perancis terlalu kuat bagi Spanyol.

Baca Juga: Piala Eropa Tanpa Juara Bertahan

Kekalahan itu dirasakan bocah berusia 4 tahun bernama Andres Iniesta yang menjelma jadi pahlawan dan bintang tim nasional El Matador. 

“Saya masih berusia 4 tahun saat kami kalah di final tahun 1984, saya mengingat semua yang terjadi dalam pertandingan itu dengan sepenuh hati, bermain melawan Perancis sekarang adalah takdir kami, sebuah kesempatan membalas dendam,” ungkapnya jelang pertandingan 16 besar Piala Dunia 2006 di Jerman seperti dikutip Guardian.

Iniesta berniat membalas kekalahan final 1984 itu di Piala Dunia 2006 saat bertemu Perancis. Nyatanya, Zinedine Zidane, Patrick Vieira dan Franck Ribery memupus mimpinya. 

Iniesta sudah mempersembahkan 2 gelar juara Piala Eropa 2008 & 2012 serta Piala Dunia 2010, tapi tak pernah membalaskan kekalahan dari Perancis.

Kekalahan 1-3 pada 2006 itu di luar perkiraan, Spanyol punya skuad usia emas semacam Iniesta, Xabi Alonso, Xavi Hernandez, Fernando Torres, atau Iker Casillas, dan meraih pon penuh di laga penyisihan grup. 

Melawan Perancis, kehebatan itu tidak terlihat. Kritikan pun tertuju kepada pelatih Luis Aragones (almarhum). 

Apalagi pelatih senior nan kontroversial itu sempat melontarkan pernyataan bernada rasis kepada striker Perancis Thierry Henry. 

Meski tetap mempertahankan Aragones hingga usai Piala Eropa 2008, Federasi Sepak Bola Spanyol sudah mengontak Vicente Del Bosque sebagai pengganti.

Inilah awal kebangkitan. Aragones menyadari fisik pemain Spanyol tidak sebaik Jerman, Perancis, atau Inggris. 

Dia mengadopsi gaya passing cepat “tiki-taka” ala Barcelona. Bintang pujaan fans Real Madrid Raul Gonzales tidak masuk daftar skuad, berikut bek Michel Salgado atau kiper Santiago Canizares. 

Karena memainkan “tiki taka” kendali permainan ada di duo Barcelona Iniesta dan Xavi, bukan Xabi Alonso yang harus rela jadi cadangan. 

Sergio Ramos pun harus mengalah, bermain di posisi bek kanan, bukan center back karena posisi itu untuk Carles Puyol kolega Iniesta-Xavi. 

Baca Juga: Gasperini dan Mimpi Buruk di Milan

Perubahan ini sukses dilakukan Aragones karena dia mampu menyatukan pemain, tidak ada lagi ego Real Madrid, Barcelona , atau Athletic Bilbao, tiga klub yang jadi representasi tiga etnis terbesar di Spanyol. 

“Kalian adalah tim, bukan Madridlenos, Catalans atau Basques, kalian Spanyol,” katanya.

Spanyol pun juara Piala Eropa 2008, Xavi Hernandez jadi pemain terbaik, sejarah kesuksesan dimulai. 

“Luis Aragones mengubah sejarah sepak bola Spanyol, untuk itu saya selalu berterima kasih kepadanya,” kata Iker Casillas, mengomentari meninggalnya sang pelatih tahun 2014. 

Pelatih Vicente Del Bosque melanjutkan warisan Aragones berhasil bawa Spanyol juara Piala Dunia untuk pertama kalinya tahun 2010, dan mempertahankan Piala Eropa di tahun 2012.

Sayangnya, Aragones pergi sebelum membalas kekalahan dari Perancis.  

Kesempatan itu ada di tangan pelatih Luis de la Fuente di semi final Piala Eropa 2024. Akankah Perancis kembali jadi mimpi buruk La Furia Roja?

Fuente memulai turnamen hingga sampai semi final dengan cara meyakinkan, termasuk mempermalukan tuan rumah Jerman. 

Baca Juga: Andreas Brehme, Jelmaan Brietner secerdas Beckenbauer

Spanyol memainkan sepak bola menyerang. Memang tidak sepenuhnya memainkan “tiki taka” ala Aragones, tapi permainan cepat dari sayap mengandalkan pemain muda Nico Williams dan Lamine Yamal.

Tidak ada play maker sehebat Xavi Hernandez dan gelandang menyerang Andres Iniesta, namun Rodrigo jadi jangkar dan penyeimbang tangguh untuk menopang gerakan Fabian Ruiz dan Pedri menyerang dari tengah. 

Perancis boleh dibilang tidak terlalu meyakinkan di turnamen ini, bahkan belum cetak gol dari open play. 

Kylian Mbappe cuma bikin sebiji gol dari titik putih. Bintang mereka justru ada di kiper Mike Maignan dan bek Theo Hernandez. 

Pemain Perancis lebih berpengalaman dan pelatih Didier Deschamps tidak banyak mengubah skuad serta pola permainan. 

Baca Juga: Menunggu Kejutan Turki dan Kebangkitan Perancis

Kejadian tahun 2006, kunci kemenangan Perancis meredam Spanyol adalah berkat kematangan dan pengalaman Zidane, Vieira, Lilian Thuram atau Claude Makelele.

Spanyol memang diunggulkan secara statistik selama turnamen, tapi lawan Perancis mereka butuh lebih. 

Perancis adalah tim yang paling konsisten sejak dilatih Didier Deschamps, runner up Piala Eropa 2016, juara Piala Dunia 2018 dan runner up 2022 buktinya. 

Penulis : Redaksi Kompas TV Editor : Deni-Muliya

Sumber : Kompas TV


TERBARU