Piala Eropa Tanpa Juara Bertahan
Opini | 2 Juli 2024, 09:37 WIBOleh: Martian Damanik
Jurnalis KompasTV Penyuka Sepakbola
KOMPAS.TV - Piala Eropa 2024 baru dimulai setelah juara bertahan Italia tersingkir dan Swiss menjelma jadi kekuatan baru mengancam tim favorit juara.
Swiss ibarat kesebelasan kemarin sore, bukan tim berpredikat juara bertahan atau yang pernah juara empat kali piala dunia.
Atas kekalahan Italia itu, pelatih Luciano Spalletti tidak bisa sebagai figur yang paling disalahkan.
Betapa tidak, dia hanya punya kiper Gianluigi Donnarumma, pemain lainnya tidak kompetitif.
Baca Juga: Carvajal dan Nacho "Orangnya" Ancelotti
Bagaimana bisa dia membangun sistem pertahanan sebagai basis kekuatan utama Italia selama ini, bila pilihannya cuma ada Alessandro Bastoni, Gianluca Mancini atau Riccardo Calafiori.
Saat juara pada 2021, pelatih Roberto Mancini punya Leonardo Bonucci dan Giorgio Chiellini.
Bek tangguh yang disebut Jose Mourinho bisa mengajar cara bertahan dalam sepak bola di Universitas Harvard.
Marcelo Lippi punya Fabio Cannavaro, Marco Materazzi dan Fabio Grosso saat juara dunia 2006.
Italia yang terkini tak punya jenderal lapangan di pertahanan. Lini tengah pun begitu, apalagi lini depan.
Striker Gianluca Scamacca dan Mateo Retegui pulang ke rumah tanpa sekalipun cetak gol.
Saat lawan Swiss, Italia nyaris tidak pernah membahayakan. Cuma Donnaruma yang levelnya sama dengan pemain Swiss.
Swiss punya Yann Sommer di bawah mistar, Granit Xhaka sebagai jenderal di tengah, Manuel Akanji benteng di belakang.
Ketiganya berasal dari klub juara Inter Milan, Bayern Leverkusen dan Manchester City. Benar-benar mengangkat permainan Swiss selama helatan Euro 2024 ini.
Tidak mengandalkan individu, ketiganya jadi jembatan antarlini, sehingga membuat pemain depan Ruben Vargas jadi garang dan bek kiri Ricardo Rodriguez makin percaya diri.
Melawan Inggris di perempat final, Swiss bisa mengancam. Tapi Inggris, hingga pertandingan terakhir melawan Slovenia belum meyakinkan.
Baca Juga: Gasperini dan Mimpi Buruk di Milan
Secara materi, Inggris masih diunggulkan dan bahkan jadi juara, asalkan tidak bergantung kepada kualitas individu striker Harry Kane dan Jude Bellingham.
Kalau Bukayo Saka dan Phil Foden kembali ke form seperti main di klub dan Declan Rice punya tandem di tengah yang kuat, Inggris punya peluang jadi juara.
***
Dua kesebelasan yang paling meyakinkan selama turnamen, Jerman dan Spanyol, berhadapan di perempat final. Dua tim yang difavoritkan jadi juara bertemu terlalu dini.
Jerman tentu diuntungkan sebagai tuan rumah, tapi lebih dari itu, pelatih Julian Nagelsman sukses meramu komposisi dan menyatukan pemain senior-junior.
Di lini tengah Toni Kross dan Ilkay Gundogan tetap jadi pilihan utama, tapi peran sentral permainan Jerman sekarang ada di Jamal Musiala.
Pemuda 21 tahun asal Bayern Muenchen itu bikin permainan menyerang Jerman makin tajam.
Kross dan Gundogan memberikan visi, Musiala dan Leroy Sane yang mengobrak-abrik, membuka kemudahan striker Kai Havertz cetak gol.
Jerman juga punya gelandang bertahan Robert Andrich penjaga keseimbangan, serta dua pemain senior bek Antonio Rudiger dan kiper legendaris Manuel Neuer.
Lantas bisakah Spanyol melawan? Tentu saja, dua remaja Nico Williams dan Lamine Yamal berpotensi buat masalah.
Keduanya punya kecepatan dan skill individu menyerang dari sisi sayap. Belum lagi dukungan dua bek sayap, Dani Carvajal dan Marc Cucurella di kiri.
Menarik menyaksikan duel Cucurella dengan Joshua Kimmich bek kanan Jerman. Tim Matador miliki Rodri, gelandang bertahan yang bukan cuma jago jadi jangkar, tapi insting dalam membuat gol.
Pertandingan Jerman melawan Spanyol bisa jadi salah satu pertandingan yang paling menarik selama turnamen ini.
Baca Juga: Andreas Brehme, Jelmaan Brietner secerdas Beckenbauer
Penulis : Redaksi Kompas TV Editor : Iman-Firdaus
Sumber : Kompas TV