Busana sebagai Medium Komunikasi Politik
Opini | 18 Januari 2024, 07:25 WIBOleh Abie Besman
Jurnalis Senior Kompas TV dan Historiografer di Universitas Padjadjaran
Debat terakhir calon presiden (capres) dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 yang digelar pada Minggu (7/1/2024) di Istora Senayan, Jakarta, bukan hanya menjadi ajang untuk berpresentasi gagasan dan argumen di antara tiga pasangan calon, yakni Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, dan Ganjar Pranowo-Mahfud MD. Debat tersebut juga mencerminkan pertarungan dalam hal gaya dan penampilan para calon.
Busana yang dipilih oleh para capres dan cawapres tak hanya berfungsi sebagai busana pelindung tubuh, melainkan menjadi simbol yang mengomunikasikan pesan politik khusus kepada masyarakat.
Melalui penerapan teori Komunikasi Visual dan Semiotika, kita dapat mengungkap makna yang terkandung dalam pilihan busana para calon. Teori Komunikasi Visual merangkum berbagai disiplin ilmu, seperti komunikasi massa, film, pendidikan, seni, antropologi, psikologi, arsitektur, filsafat, linguistik, semiotika, dan lain-lain. Dalam analisis busana calon presiden dan wakil presiden, teori Semiotika muncul sebagai alat yang relevan.
Semiotika merupakan studi tentang tanda dan makna. Menurut Ferdinand de Saussure, seorang tokoh Semiotika, tanda terdiri dari dua komponen esensial: signifier, yang merupakan bentuk fisik tanda seperti kata-kata atau gambar, dan signified, yang merujuk pada konsep atau makna yang terkait dengan tanda tersebut. Hubungan antara signifier dan signified bersifat arbitrari, menyiratkan bahwa tidak ada keterkaitan alami antara bentuk fisik dan makna yang diwakilinya. Oleh karena itu, makna suatu tanda dapat bervariasi tergantung pada konteksnya.
Busana sebagai medium pesan
Dalam konteks debat capres 2024, busana yang dipilih oleh para capres dan cawapres dapat dianggap sebagai tanda yang memiliki signifier dan signified. Signifier adalah busana itu sendiri, termasuk warna, bentuk, bahan, dan aksesori. Signified adalah pesan politik yang ingin disampaikan oleh para capres dan cawapres melalui busana mereka, dapat berupa identitas, visi, misi, program, sikap, atau nilai-nilai yang ingin ditekankan.
Berikut adalah analisis singkat tentang busana para capres dan cawapres berdasarkan teori Semiotika:
Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar
Pasangan nomor urut satu menunjukkan konsistensi dalam memilih setelan formal sejak debat pertama hingga ketiga, dengan mengenakan jas hitam yang dipadukan dengan kemeja putih. Pada sudut jas sebelah kiri, terdapat tulisan AMIN, singkatan dari Anies-Muhaimin.
Penampilan formal ini dapat diartikan sebagai tanda yang menyampaikan pesan politik bahwa Anies-Muhaimin adalah pasangan yang serius, profesional, dan berpengalaman dalam bidang pemerintahan.
Tulisan AMIN juga dapat diartikan sebagai tanda yang menyampaikan pesan politik bahwa Anies-Muhaimin adalah pasangan yang religius, harmonis, dan optimis dalam memimpin Indonesia.
Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka
Pasangan nomor urut dua tetap konsisten menggunakan kemeja biru muda dengan celana hitam, menjadi ciri khas mereka. Gibran Rakabuming menambahkan jaket biru dongker pada penampilannya.
Busana ini dapat diartikan sebagai tanda yang menyampaikan pesan politik bahwa Prabowo-Gibran adalah pasangan yang santai, dinamis, dan berjiwa muda. Warna biru juga dapat diartikan sebagai tanda yang menyampaikan pesan politik bahwa Prabowo-Gibran adalah pasangan yang tenang, bijaksana, dan visioner dalam menghadapi tantangan global.
Ganjar Pranowo-Mahfud MD
Pasangan nomor urut tiga mencuri perhatian dengan busana unik dan berbeda. Ganjar-Mahfud mengenakan kemeja putih yang dipadukan dengan jaket bomber berwarna army, menciptakan penampilan ala film Top Gun. Patch di jaket bomber menggambarkan program unggulan dari Ganjar-Mahfud.
Busana ini dapat diartikan sebagai tanda yang menyampaikan pesan politik bahwa Ganjar-Mahfud adalah pasangan yang berani, inovatif, dan kreatif dalam menawarkan solusi-solusi baru untuk Indonesia. Patch-patch di jaket bomber juga dapat diartikan sebagai tanda yang menyampaikan pesan politik bahwa Ganjar-Mahfud adalah pasangan yang memiliki visi dan misi yang jelas dan terukur.
Gaya Berpakaian Mantan Presiden Indonesia
Busana tidak hanya sekadar pembungkus badan; ia merupakan bahasa yang dapat menyampaikan pesan politik kepada masyarakat.
Pada Pemilihan Presiden 2024, para calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) bukan hanya beradu argumen, tetapi juga berkompetisi dalam gaya dan penampilan mereka. Namun, fenomena ini bukan hal baru. Melalui analisis historis gaya berpakaian mantan presiden Indonesia, kita dapat memahami bahwa busana telah lama menjadi medium komunikasi politik yang kuat.
Soekarno: Karisma dan Otoritas
Presiden pertama Indonesia, Soekarno, dikenal sebagai sosok karismatik, berwibawa, dan berani. Gaya berpakaian ikoniknya mencakup jas dengan tanda kepangkatan, simbol militer, peci, dan tongkat.
Melalui pakaian ini, Sukarno menyampaikan pesan politik bahwa ia adalah pemimpin yang memiliki otoritas, kekuasaan, dan kewibawaan tinggi. Tidak pernah mengenakan baju adat atau daerah, Sukarno menegaskan bahwa ia adalah presiden untuk seluruh rakyat Indonesia, tanpa memihak pada satu daerah tertentu.
Soeharto: Kesederhanaan dan Nasionalisme
Presiden kedua Indonesia, Soeharto, memerintah selama 32 tahun. Gaya berpakaian yang sering dikenakannya adalah kemeja batik atau safari, mencerminkan kesederhanaan, nasionalisme, dan pragmatisme. Bahkan saat beraktivitas di luar acara formal, Soeharto sering terlihat mengenakan kaus polo, menunjukkan sisi santai dan kegemarannya pada olahraga.
Melalui pilihan outfit-nya, Soeharto berkomunikasi bahwa ia adalah pemimpin yang merakyat dan mendukung budaya nasional.
BJ Habibie: Cerdas dan Profesional
Presiden ketiga Indonesia, BJ Habibie, dikenal sebagai sosok cerdas, visioner, dan inovatif. Gaya berpakaian Habibie mencakup penggunaan kacamata, menciptakan kesan berpengetahuan dan berpikiran maju. Saat menghadiri acara formal, ia sering tampil dengan jas dan dasi, menunjukkan profesionalitas dan keeleganan.
Melalui penampilannya, Habibie menyampaikan pesan bahwa kepemimpinan harus didasarkan pada pengetahuan dan inovasi.
Abdurrahman Wahid (Gus Dur): Religius dan Kedekatan dengan Rakyat
Presiden keempat Indonesia, Abdurrahman Wahid atau akrab disapa Gus Dur, dikenal sebagai sosok religius, humoris, dan demokratis. Gaya berpakaiannya mencakup peci, kemeja putih, sarung, dan kadang-kadang kacamata hitam.
Penampilannya mencerminkan kesederhanaan, keagamaan, dan kedekatan dengan rakyat. Penggunaan kacamata hitam memberikan kesan tegas dan berani.
Megawati Soekarnoputri: Nasionalis dan Feminis
Presiden kelima Indonesia, Megawati Soekarnoputri, dikenal sebagai sosok nasionalis, feminis, dan berjiwa sosial. Penggunaan kebaya sebagai busana adat khas Indonesia menjadi ciri khasnya, menunjukkan kecintaannya pada budaya dan tradisi.
Warna merah yang sering dipilihnya menciptakan kesan semangat, keberanian, dan dedikasi pada bangsa.
Susilo Bambang Yudhoyono (SBY): Disiplin dan Modernitas
Presiden keenam Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), dikenal sebagai sosok disiplin, berwawasan, dan berprestasi. Gaya berpakaiannya sering kali melibatkan jas dan dasi, dengan warna biru yang sering dipilihnya menciptakan kesan ketenangan, kebijaksanaan, dan ketajaman visioner.
SBY berkomunikasi bahwa kepemimpinan modern memerlukan disiplin dan visi yang tajam.
Joko Widodo: Sederhana dan Merakyat
Presiden ketujuh Indonesia, Joko Widodo atau Jokowi, dikenal sebagai sosok sederhana, merakyat, dan pekerja keras. Penampilannya yang mencakup kemeja putih lengan pendek dan penggunaan topi menciptakan kesan santai, dinamis, dan berjiwa muda. Penggunaan topi oleh Jokowi tidak hanya sebagai aksesori mode, tetapi juga menyampaikan pesan keberanian, keunikkan, dan perbedaan.
Bahasa Tanpa Kata
Dari analisis gaya berpakaian para mantan presiden Indonesia, terungkap bahwa outfit mereka bukan hanya sekadar mode, melainkan merupakan bahasa tanpa kata yang kuat. Melalui pemilihan busana, para pemimpin tersebut berhasil menyampaikan pesan politik, nilai-nilai, dan sikap mereka kepada masyarakat.
Penggunaan teori Semiotika membantu kita memahami bahwa setiap elemen dalam outfit memiliki makna tersendiri, dan komunikasi melalui penampilan visual adalah bagian integral dari kepemimpinan politik. Dengan memahami bahasa ini, kita dapat lebih bijaksana dalam membaca pesan-pesan politik yang tersemat dalam gaya berpakaian para pemimpin Indonesia.
Penulis : Redaksi-Kompas-TV
Sumber : Kompas TV