LA MISSIONE DI ANOMAN
Opini | 2 November 2023, 16:00 WIBItu dalam wayangan. Tapi, kata “dalang” juga digunakan dalam panggung politik. Tentu beda artinya dengan di panggung wayang.
Dalam politik, dalang tidak sekadar mencari lakon yang sesuai dengan wayangnya, namun juga menciptakan lakon selaras kemauannya, mengatur ritme, bahkan menjadi makelar antar-aktor yang dimainkan hingga menyusun alur logika bagi wayang-wayangnya di panggung kuasa sesuai kepentinganya; tentu kepentingan politik yakni kekuasaan.
***
Dalam wayangan kemarin, misi Anoman adalah memastikan keberadaan Dewi Sinta di Alengkadiraja setelah diculik oleh Prabu Rahwana atau Dasamuka (berwajah sepuluh; untuk menggambarkan selain sakti mandraguna juga tak bisa dipercaya). Ada empat tokoh utama: Prabu Rama, Dewi Sinta, Rahwana, dan Anoman.
Dari keempat tokoh itu, yang paling menarik adalah Rahwana atau Dasamuka. Dia sering disebut sebagai tokoh dari dunia kegelapan; dialah kuasa kegelapan itu sendiri. Sehingga yang jelek-jelek, yang jahat-jahat dilekatkan padanya. Tapi, sebagai raja, Rahwana mampu membawa negeri peninggalan kakeknya, Prabu Sumali, makmur, aman, dan sejahtera
Tetapi, sampai pada suatu masa, Rahwana benar-benar menjelma menjadi penguasa yang dalam bahasa kontemporer disebut diktator. Tak ada aturan yang tidak bisa dilanggarnya. Apalagi ia seorang raja.
Bagi Rahwana, raja adalah aturan itu sendiri; raja adalah hukum. Di mata rakyat, kekuasaannya demikian besar, raja pemilik segalanya. Sehingga rakyat, wong cilik hanya bisa mengatakan, ndherek karsa dalem–terserah kepada kehendak raja–kalau raja menginginkan, sumangga, silakan.
Dalam pentas wayang, biasanya dalang akan menceritakan begitu berkuasanya seorang raja dengan mengatakan, raja itu wenang wisesa ing sanagari–penguasa paling tinggi di semua negeri; gung binathara, bau dhendha nyakrawati_, sebesar kekuasaan Tuhan, pemelihara hukum dan penguasa dunia.
Apakah Rahwana menjadi kuasa kejahatan karena ia lahir hasil dari hubungan nafsu yang meledak-ledak tak tertahankan, melanggar wewaler (pantangan) antara Resi Wisrawa dan Dewi Sukesi? Resi Wisrawa yang seharusnya menguraikan rahasia dan makna ilmu Sastrajendra Hayuningrat Pangruwating Diyu bagi Dewi Sukesi yang diinginkan anaknya, Prabu Danapati, justru mementingkan kebutuhan dirinya: mengawini Dewi Sukesi.
Dari perkawinan tersebut lahirlah Rahwana, Kumbakarna, Dewi Sarpakenaka dan Wibisana. Rahwana lalu menjadi raja Alengkadireja.
***
Dalam lakon La Missione di Anoman, Rahwana digambarkan sebagai raja yang menggunakan kekuasaan dan kedigdayaannya untuk ambisi pribadinya; untuk memuaskan hawa nafsunya dengan menculik Dewi Sinta; untuk memuaskan kenikmatan raganya.
Di tangan Rahwana, kedigdayaan dan kekuasaan tidak menjadi sarana untuk memaslahatkan banyak orang, rakyatnya, tapi menjadi sesuatu yang membahayakan pihak lain. Karena digunakan untuk kepentingan diri.
Pada saat itulah, nilai-nilai keluhuran seorang raja yang berbudi bowo leksono (berbudi luhur mulia) karena ada kecocokan antara omongan dan tindakan, kuwagung dadi wewayanging Allah, mampu berbuat arif bijaksana laksana bayang-bayang Tuhan, dan hambek adil poro marto, adil penuh kasih, begitu saja ditanggalkan, bahkan dibuang.
Rahwana tidak lagi menjadi seorang raja yang njaga tata tentreming praja (menjaga supaya masyarakat teratur dan dengan demikian ketentraman-kesejahteraan terpelihara). Sebab akibat tindakannya, pecah perang di Alengkadiraja. Rakyat sengsara…
Cerita seperti itu, tidak hanya ada di dunia pewayangan. Di dunia nyata pun, ada. Di setiap zaman, di setiap negara selalu muncul “rahwana-rahwana.” Sejarah banyak memberikan contohnya.
Di zaman Romawi, misalnya, muncul Nero, Caligula, dan Tiberius. Ketiganya menggunakan kekuasaan dengan cara yang kejam demi keuntungan mereka sendiri. Mereka mencoba mewakili kepentingan kekaisaran, namun gagal mewakili moral kekaisaran secara keseluruhan. Padahal, politik dan moral, tidak dapat dipisahkan.
Penulis : Redaksi-Kompas-TV
Sumber : triaskredensialnews.com