Seruan Jokowi dari Bali
Opini | 17 November 2022, 13:45 WIBSebagai tuan rumah, sebagai negara yang memegang presidensi G20, Jokowi berusaha untuk bisa ngemong semua pihak; berusaha untuk menyelamatkan muka masing-masing pihak, agar semua merasa menang. Tidak ada satu pun yang merasa dipermalukan dan dikalahkan.
Barangkali, inilah yang disebut dalam falsafah Jawa sebagai nglurug tanpa bolo, menang tanpa ngasorake, menyerbu tanpa pasukan, menang tanpa mempermalukan yang dikalahkan.
Dengan itu, Jokowi sekaligus hendak "memuaskan kedua belah pihak" yang berdiri berseberangan. Di satu sisi, Jokowi "memenuhi" keinginan AS dan sekutunya negara-negara Barat, yang ramai-ramai menuding Rusia sebagai sumber persoalan dunia, maka harus dikutuk, condemn.
Keinginan AS dan sekutunya itu dipenuhi dengan mengatakan "perang harus dihentikan" dan "kita tak boleh membiarkan dunia jatuh ke dalam Perang Dingin lagi." AS dan sekutunya pun semestinya "dipuaskan" dengan pernyataan Jokowi agar (semua negara) bertanggung jawab. Yang artinya menghormati hukum internasional dan prinsip-prinsip Piagam PBB secara konsisten.
Piagam PBB pasal 2 ayat (1) menyatakan bahwa setiap negara mempunyai persamaan kedaulatan. Karena itu, tidak ada suatu negara pun yang mempunyai hak melakukan intervensi baik fisik maupun nonfisik, langsung maupun tidak langsung, terhadap urusan domestik negara lain.
Invasi militer Rusia ke Ukraina adalah sebuah tindakan tidak menghormati hukum internasional (melanggar kedaulatan negara lain) dan melanggar prinsip-prinsip PBB secara konsisten. Tetapi, Jokowi tidak menyebut yang dilakukan Rusia terhadap Ukraina, secara langsung.
Ini adalah cara Jokowi untuk tidak ingin membuat Rusia (Putin) terpojok, meski sudah dipojokkan negara-nagara lain. Sebab bila dipermalukan dan terpojok, Putin (mungkin) bisa menjadi lebih nekat dan mungkin akan berdampak buruk pula terhadap hubungan dua negara.
Maka dalam pidatonya, Jokowi tidak mengutuk, meng-condemn Rusia, walau jelas sebagai penyebab perang. Tapi lebih memilih mengingatkan bahaya dahsyat bagi dunia dan generasi mendatang akan terjadi bila perang tidak dihentikan. "Hentikan perang!"
Semestinya AS dan sekutunya puas dengan apa yang disampaikan Jokowi. Demikian juga Rusia (Putin) pun semestinya merasa dan menyadari bahwa apa yang telah dilakukan tidak hanya tidak dikehendaki dunia, tetapi bahkan telah merugikan dunia.
Karena itu, Putin perlu segera menghentikan perang agar tidak tercatat sebagai pemimpin dunia yang menghancurkan dunia.
Deklarasi Bali
Jika yang disampaikan Jokowi tidak ditindaklanjuti dengan aksi nyata oleh semua negara anggota G20, maka bisa jadi seruan tersebut akan dianggap sebatas retorika semata. Misalnya, membujuk China dan India yang boleh dikatakan sebagai "mitra" Rusia untuk bertindak lebih bijak dalam masalah ini, sehingga memaksa Rusia lebih "bertanggung jawab" sebagaimana dirumuskan Jokowi. Ini sebagai sebuah langkah nyata.
Kata Jokowi, “Kita tidak hanya bicara, tapi mengambil langkah konkret.” Sebab, mata dunia tertuju pada KTT G20.
Apakah KTT akan mencapai kesuksesan, atau akankah menambah kegagalan? "Bagi saya sendiri, G20 harus berhasil, dan tidak boleh gagal,” katanya.
“Mari kita tunjukkan kepada dunia bahwa kita bisa bijak, memikul tanggung jawab, dan menunjukkan kepemimpinan. Mari kita bekerja, dan mari bekerja sama untuk dunia.”
Seruan dan ajakan Jokowi itu akan tercermin dalam Deklarasi Bali yang dikeluarkan hari ini. Apakah semangat meng-condemn Rusia masih ada dalam deklarasi atau seperti kata Jokowi para pemimpin negara G2O memilih bertindak bijaksana dengan memilih win-win bukan zero sum.
Penulis : Redaksi-Kompas-TV
Sumber : Kompas TV