Penyakit Lama
Opini | 13 Maret 2021, 17:58 WIBKonflik internal di tubuh PKB belum selesai. Pada tahun 2004-2007, muncul konflik yang melibatkan Ketua Dewan Syuro Abdurrahman Wahid-Ketua Dewan Tanfidz Muhaimin Iskandar (hasil Muktamar II PKB) dan Alwi Shihab-Saifullah Yusuf yang membuat muktamar tandingan di Surabaya. Setelah itu, masih ada konflik lagi yakni, antara 2008-2011, yang melahirkan Muktamar Luar Biasa (MLB) kubu Abdurrahman Wahid (MLB Parang) dengan MLB Ancol kubu Muhaimin Iskandar.
Apa yang menyebabkan pecahnya konflik? Konflik telah menjadi bagian yang wajar dan tak terelakkan dalam kehidupan manusia. Konflik dapat dipastikan akan selalu muncul selama manusia memiliki tujuan, kepentingan, dan pengejaran cita-cita yang berbeda dalam hidup. Karena itu, seiring dengan berjalannya waktu manusia harus bergelut dengan isu-isu konflik (RW Mark dan RC Snyder; 1971)
Konflik sering dikaitkan dengan konsep yang terkait dengan kepentingan antagonis, kesalahpahaman, persaingan, kepentingan dan tujuan yang secara logis tidak dapat didamaikan, ketegangan yang berlawanan, persaingan, manuver politik, dan perilaku permainan.
Meskipun semua perilaku dan sikap ini mungkin menyertai, memengaruhi, dan memberikan sumber konflik, sebagian besar ilmuwan sosial percaya bahwa tidak satu pun dari istilah ini yang merupakan sinonim untuk konflik. Selain itu, juga bukan faktor-faktor ini merupakan prasyarat yang memadai untuk konflik.
Karena itu, adalah wajar di dalam partai terjadi konflik. Bukankah partai ibarat wadah berkumpulnya atau bertemunya banyak kepentingan. Dengan demikian, sangat rawan konflik. Partai politik sebagai organisasi moderen akan selalu dihadapkan pada realitas konflik, antar-sesama anggota partai.
Apalagi, All politics is about power, semua politik mengenai kekuasaan. Itu kata seorang pakar politik Inggris Andrew Heywood. Kalau sudah berurusan dengan power, kekuasaan, maka akan terjadi konflik. Sebab, kekuasaan adalah sumber daya yang terbatas, sementara yang menginginkan banyak.
Kata Machiavelli, ada beberapa cara yang biasa ditempuh orang untuk memiliki kekuasaan (termasuk kekusaan di dalam partai), untuk menjadi penguasa. Yakni, karena nasib mujur (warisan, misalnya), mengandalkan kemampuan senjata (kudeta), lewat jalur konstitusional (pemilihan entah pemilu atau kongres partai), dan menggunakan cara licik serta kejam.
Harold Laswell pakar politik dari AS, mengatakan politik adalah mengenai siapa mendapatkan apa, kapan, dan bagaimana caranya mendapatkannya.
Pengertian “mendapatkan apa (sesuatu)” bukan selalu berarti yang bersifat fisik, seperti uang atau materi lain. Melainkan, juga yang non-material — kedudukan, harga diri, gengsi, dan sebagainya. Untuk “mendapatkan sesuatu”, maka semua kekuatan politik saling bersaing; dan meminjam bahasa Machiavelli, menghalalkan segala cara.
Tetapi, bagi Sutan Sjahrir (1909-1966), perdana menteri pertama Indonesia dan pahlawan nasional, politik memiliki arti lain. Politik bagi Sjahrir adalah das Leben einsetzen und dadurch das Leben gewinnen—politik adalah mempertaruhkan hidup dan dengan itu memenangkan hidup itu sendiri. Menurut Sjahrir, dalam politik hidup dipertaruhkan untuk dimenangkan, bukan untuk disia-siakan atau dihilangkan dengan cara yang gampangan. (Rosihan Anwar, Sutan Sjahrir, Penerbit Buku Kompas, 2011, hlm. XXVI-20.)
Dalam rumusan lain, meminjam istilahnya Hannah Arendt, politik merupakan seni untuk mengabadikan diri manusia—seni untuk dikenang oleh sesama warga negara dan dicatat sejarah karena jasa-jasa dan prestasinya dalam membangun kehidupan bersama. Jasa dan prestasi itu menandai kepedulian terhadap kehidupan bersama yang memberi bobot identitas politikus.
Ini kiranya yang dalam filsafat politik disebut sebagai political virtue, dalam arti moral excellence. Dalam berpolitik moral tidak boleh dilupakan. Sebab, urusan politik sejatinya adalah urusan moral. Karena itu, dalam dunia politik muncul istilah-istilah yang berkaitan dengan moral. Misalnya, kesetiaan, integritas, dan dedikasi atau pengkhianatan.
Apakah, politik seperti yang diartikan oleh Sutan Sjahrir masih punya tempat hidup di negeri ini? Sulit menjawabnya di tengah “hiruk-pikuk” saat ini, meskipun konflik dalam partai politik itu soal biasa.
Kalau sebuah partai tak bisa mengatasi konflik internal, bagaimana mungkin—andaikan berkuasa—mengatasi persoalan bangsa? Itu pertanyaan sambil lalu.
Maka itu, benar pernyataan teman saya Imelda, lewat WhatsApp (WA) “Ngomongin politik dengan (secara) terbuka itu nurunin imun….” Padahal, nurunin imun saat ini sangat berbahaya, ya Imelda.
Sumber: Triaskun.id
Penulis : Fadhilah
Sumber : Kompas TV