> >

Paus Fransiskus dan Ayatollah Al-Sistani

Opini | 10 Maret 2021, 19:01 WIB
Paus Fransiskus bertemu dengan ulama terkemuka Syiah Irak, Ayatollah Ali al-Sistani di Najaf, Irak, Sabtu, 6 Maret 2021. (Sumber: AP Photo/Vatican Media)

Seperti St Fransiskus Asisi yang sepulang dari bertemu Sultan al-Malik meningkatkan devosinya untuk hidup bersama umat Muslim secara damai dan menghindari konflik, begitu pula Paus Fransiskus. Ia mendorong dan juga melakukan dialog antar-iman, seperti dialog yang dilakukan St Fransiskus Asisi  lebih dari 800 tahun lalu.

Paus tidak hanya menyerukan tetapi melakukan sendiri. Ia bertemu dengan para pemimpin Islam. Pada tahun 2014, Paus mengunjungi Yordania dan Palestina. Lalu bertemu dengah tokoh utama Sunni, Imam Besar Ahmed el-Tayyeb, di Mesir. Pada tahun yang sama, Paus Fransiskus bertemu Presiden Turki  Recep Tayyip Erdogan di Ankara.

Di Ankara, Paus mengatakan, “Dialog antaragama dan antarbudaya dapat memberikan kontribusi penting untuk mencapai tujuan yang luhur dan mendesak, sehingga akan berakhirnya semua bentuk fundamentalisme dan terorisme yang sangat merendahkan martabat setiap pria dan wanita serta mengeksploitasi agama.”

Tahun 2019 mengunjungi UEA dan bertemu lagi dengan Imam Besar. Paus juga bertemu Raja Maroko Mohammad VI di Rabat dengan misi untuk membangun “masyarakat terbuka, bersaudara, dan saling menghormati.”

II

Rangkaian perjalanan, pertemuan, dan dialog dengan para pemimpin Muslim itu, semakin bermakna setelah bertemu Ayatollah Sayyid al-Sistani, tokoh besar yang juga mendorong perdamaian dan persaudaraan umat beriman.

Kedua pemimpin itu secara konsisten mengecam kekerasan yang dilakukan atas nama agama. Kedua tokoh agama yang sederhana dan rendah hati ini sama-sama memegang teguh filosofi toleransi dan belarasa (compassion) terhadap orang-orang yang sangat menderita di tengah masyarakat yang kejam ini.

Dunia mencatat, pada tahun 2003, Ayatollah al-Sistani menyerukan perlindungan terhadap kaum minoritas—Kristen di antaranya—di Irak. Kaum minoritas, setelah Saddam jatuh tergencet dalam pertarungan antara kelompok Sunni dan Syiah. Dan, kemudian menjadi korban ISIS, terutama mereka yang berada dan tinggal di wilayah Irak utara, seperti Mosul dan Ninive yang juga dikunjungi Paus.

Ayatollah al-Sistani, pada tahun 2014 mengeluarkan fatwa agar milisi Syiah bangkit melawan ISIS. Fatwa ini, diniliai sebagai seruan nasionalis bagi seluruh warga negara Irak serta memotivasi pembentukan kelompok bersenjata kelompok minoritas Kristen dan Yazidi untuk membela negara dan bangsa.

Dalam pertemuan dengan Paus, Ayatollah al-Sistani menegaskan bahwa otoritas agama memiliki peran dalam melindungi umat Kristen Irak dan mengatakan mereka–umat Kristiani–harus hidup dalam damai dan menikmati hak yang sama seperti warga Irak lainnya.

Meskipun pertemuan itu singkat—40 menit—namun nuansa penuh persaudaraan, sederhana, tanpa protokoler rumit, di tempat sederhana itu sangat terasa. Pertemuan itu juga akan memiliki dampak luar biasa, khususnya di Timur Tengah dan dunia pada umumnya.

Pertemuan sebagai saudara itu, akan berdampak besar bagi dunia Syiah yang terpecah. Selama ini Islam Syiah terpecah antara arus utama yakni berpusat di Irak yang percaya perlunya pemisahan antara agama dan negara, dan arus revolusioner yang berpusat di Iran, yang percaya akan teokrasi.

Diharapkan pertemuan bersejarah itu akan memberikan dorongan moral bagi bangsa dan organisasi-organisasi di Irak, khususnya, dan dunia Muslim, pada umumnya, yang selama ini telah melakukan dialog antar-iman. Sebuah dialog yang kadang berjalan tertatih-tatih karena banyak sebab.

Kalau dahulu, kunjungan bersejarah ke UEA dan pertemuannya dengan Imam Besar Ahmed el-Tayyeb, menjadi tonggak sejarah dalam dialog antaragama dan membuka pintu-pintu untuk pembicaraan tentang toleransi, maka pertemuan penuh persaudaraan antara Paus Fransiskus dan Ayatollah al-Sistani akan memperkuat, memperteguh, serta meningkatkan dialog demi terciptanya perdamaian dan persaudaraan sejati antar-umat beriman. Pertemuan itu akan membuka pintu semakin lebar bagi persaudaraan umat manusia.

Semoga pertemuan dua tokoh besar itu, memiliki relevansi signifikan bagi perubahan besar dunia saat ini. Kiranya, suara agama yang murni seperti itu, sangat diperlukan pada saat ini untuk membuat jalan dan meratakan jalan bagi perdamaian. Selain itu, sekaligus akan menyingkirkan kebencian atas nama agama, permusuhan atas nama agama, dan perang atas nama agama. Semua dilakukan demi martabat manusia yang semakin tinggi.

Penulis : Hariyanto-Kurniawan

Sumber : Kompas TV


TERBARU