Catatan dan Agenda Penting Usai Pilkada
Opini | 10 Desember 2020, 15:03 WIBOleh Fajar Nursahid
Direktur Eksekutif LP3ES, Dosen Prodi Ilmu Politik Universitas Bakrie Jakarta
Pilkada Serentak 2020 di 270 daerah usai digelar kemarin, 9 Desember 2020. Kita bersyukur, Pilkada relatif aman digelar meski di tengah kepungan pandemi Covid-19. Masih sulit memberikan analisis menyeluruh terhadap pesta demokrasi lokal lima tahunan ini karena belum ada data-data solid terkait hasil dan kualitas pelaksanaannya yang telah berlangsung kemarin tersebut. Sembari menanti pengumuman hasil resmi keseluruhan Pilkada oleh KPU, ada baiknya kita catat refleksi penting dan agenda yang menjadi “pekerjaan rumah” kita ke depan.
Meski benar Pilkada adalah arena politik praktis, aroma pragmatisme di Pilkada 2020 sangat kentara. Setidaknya hal ini dapat ditilik dari menguatnya fenomena calon tunggal dan politik dinasti yang kerap disorot dalam berbagai diskursus publik. Sungguh, publik telah dibuat masygul sejak penetapan pasangan calon oleh KPU pada September 2020, 25 dari 270 daerah yang menggelar pilkada diwarnai calon tunggal.
Angka yang fantastis, karena nyaris sepuluh persen pasangan kandidat melawan kotak kosong di Pilkada 2020 kemarin! Fenomena pasangan tunggal ini terus meningkat dalam tiga pilkada. Pada 2015 hanya terdapat tiga daerah dengan pasangan calon tunggal, meningkat jadi sembilan di 2017, meningkat lagi jadi 16 di tahun 2018.
Meski calon tunggal dimungkinkan sesuai aturan main, tetapi aneh jika Pilkada tidak ada kompetisi antar calon. Bukankah pilkada –dan juga pemilihan lain dalam berbagai tingkatan, sejatinya adalah kompetisi elektoral? Jika hanya ada satu pasangan calon, lalu apa yang dipertandingkan?
Fenomena calon tunggal di Pilkada menunjukkan masalah akut demokrasi karena para pelaku politik lokal, utamanya partai politik. Mereka tidak serius atau enggan melawan figur lokal yang kuat (local strongman) sehingga gagal menghadirkan kompetisi politik yang sehat untuk memberikan jaminan alternatif pilihan publik terhadap calon-calon kepala daerah. Spekulasi lain yang muncul, partai politik tersandera kepentingan pragmatis sehingga mereka enggan memunculkan calon lain.
Pilkada serentak kemarin juga menyisakan catatan publik terhadap maraknya dinasti politik. Tak hanya anak-mantu presiden, wakil presiden dan pejabat tinggi tingkat pusat, dinasti politik juga melibatkan pejabat daerah.
Menurut kajian Nagara Institute (2020), setidaknya terdapat 124 kandidat yang maju dalam Pilkada 2020 terafiliasi dengan kekerabatan politik –baik itu istri, anak, menantu, keponakan, saudara sepupu atau lainnya; terdiri atas 57 calon bupati, 30 calon wakil bupati, 20 calon walikota dan 8 calon wakil walikota, 5 calon gubernur dan 4 calon wakil gubernur. Jumlah ini meningkat hampir tiga kali lipat dibanding Pilkada 2018 lalu (BBC, 2020). Lagi-lagi angka yang fantastis.
Lepas dari keprihatinan di atas, bagi calon-calon yang memenangi Pilkada, euforia kemenangan harus diimbangi dengan sikap mawas diri. Tidak banyak waktu untuk larut dalam euforia kemenangan karena begitu kick off kekuasaan dibunyikan publik menunggu gebrakan. Memenangi pilkada artinya menjadi pemimpin sekaligus pejabat publik, bukan lagi calon yang diusung partai-partai politik.
Penulis : Tito-Dirhantoro
Sumber : Kompas TV