Kisah Anak dengan HIV/AIDS: Saya Harus Diam Karena Takut Dikucilkan
Catatan jurnalis | 1 Desember 2020, 18:12 WIBOleh: Yasir Nene Ama, Jurnalis Kompas TV
“Saya senang banget bisa ditelepon dan diajak ngobrol sama Kak Yasir."
Ini petikan percakapan saya dengan Khairunisa (nama samaran), anak dengan HIV/AIDS.
Khairunisa mengaku senang mengobrol karena sejak pandemi Covid-19 sudah tak pernah berjumpa lagi. Sebelumnya kami bertemu setiap dua minggu sekali.
Kebetulan saya mengajar dia dan teman temannya di kelas belajar Yayasan Syair.org, sebuah lembaga yang memberikan pendampingan untuk anak anak HIV/AIDS.
Tentu tak cuma dengan saya. Nisa juga rindu belajar dan bermain bersama temannya sesama anak dengan HIV/AIDS. Keingian Saya menelpon Nisa dan ibunya, Shinta (nama samaran), karena bertepatan dengan hari AIDS sedunia, Selasa 1 Desember 2020.
“Gimana Nisa masih rutin kan minum obatnya?” tanyaku saat menelpon.
“Masih dong, Kak. Kata Mama minum obat dan vitaminnya harus rutin dan enggak boleh bolong. Kalau enggak nanti bisa enggak kuat,” ujar Nisa.
Khairunisa menjadi salah seorang anak dengan HIV/AIDS yang bulan kemarin genap berusia 13 tahun. Ia tertular dari ibunya yang juga positif HIV.
Pada usia yang masih terbilang muda, dia juga harus kehilangan sang ayah pada 2008 karena komplikasi penyakit akibat HIV/AIDS. Cobaan hidup yang cukup berat untuk anak seusianya.
Nisa sadar ada virus mematikan dalam tubuhnya sejak dua tahun lalu. Sang ibu memberanikan diri untuk menceritakan hal ini karena Nisa sering bertanya tentang kondisi dirinya.
“Awalnya sih dari umur tujuh tahun dia sering tanya kenapa minum obat dan membaca (juga) soal HIV," kata Shinta.
Alasan lainnya karena Nisa dinilai sudah bisa bertanggung jawab dan menjaga rahasia soal penyakitnya.
“Saat saya cerita soal ini ke Nisa, saya sedih banget. Takut dia terpukul dan malah emosi. Tapi, alhamdulillah dia mau mengerti. Saya juga meminta dia untuk merahasiakan hal ini dari siapa pun termasuk teman dan gurunya di sekolah,” ungkap Shinta lagi.
ODHA Rentan Stigma Negatif Warga
Alasan Shinta meminta anaknya untuk merahasiakan kondisi mereka karena ia masih takut akan stigma negatif masyarakat.
“Masih banyak orang yang menilai buruk tentang kami makanya saya takut kalau orang tahu. Apalagi teman dan guru sekolahnya Nisa. Saya takut anak saya dijauhi atau bahkan dikeluarkan dari sekolah,” ujar Shinta.
Shita juga menceritakan tentang nasib beberapa anak dengan HIV/AIDS yang harus pindah sekolah karena pihak sekolah dan pindah tempat tinggal karena tahu sang anak positif HIV.
Hal sama juga disampaikan Nisa. Ia sangat merahasiakan kondisinya karena takut akan dikucilkan atau dikeluarkan dari sekolahnya.
"Kalau ditanya-tanya, saya harus diam Kak. Saya takut dikucilkan,” ungkap Nisa.
Ayo Hilangkan Stigma Negatif kepada ODHA
Ketua Pengurus Yayasan Syair.org Ahmad Syaiful mengajak masyarakat menghilangkan stigma negatif kepada ODHA.
"Meski jumlah stigma negatifnya mulai berkurang tapi masih ada stigma negatif itu, anak binaan kami ada yang bahkan sampai diminta keluar dari sekolahnya karena tahu dia positif. Makanya kami di Syair gencar untuk kampanye dan edukasi ke masyarakat,” tegas Syaiful.
Berbagai kegiatan telah dilakukan oleh Yayasan syair.org untuk mengilangkan stigma negatif itu seperti melakukan kampanye edukasi soal HIV/AIDS, mengajak relawan untuk jadi volunteer tenaga pengajar sehingga bisa kenal dengan anak anak HIV.
Selain itu Yayasan ini aktif membagikan bantuan kepada keluarga ODHA yang kurang mampu.
Namun beberapa kegiatan ini terhenti selama pandemi. Bahkan tempat belajar anak anak binaan terancam selesai tahun depan karena tidak ada lagi donator.
"Selama pandemi donatur mulai berkurang, padahal kelurga ODHA yang kurang mampu masih butuh bantuan, terlebih saat pandemi. Yang paling kami khawatirkan adalah sewa tempat yang akan selesai tahun depan dan belum bisa dilanjutkan,” ujar Syaiful.
Jika nantinya tidak ada lagi tempat belajar seperti di Syair.org, tentu yang akan merasa paling sedih adalah Nisa dan teman-temannya.
Karena di sini bukan hanya sebagai tempat untuk belajar, tapi di tempat inilah mereka diterima dengan baik tanpa ada stigma negatif. Mereka diajarkan bagaimana menghadapi stigma negatif dengan mengubahnya menjadi hal yang positif.
“Sampai ketemu lagi ya, Kak di Syair. Nanti kita belajar bareng lagi sama yang ini. I miss you,” ucap Nisa menutup percakapan dengan saya.
Penulis : Yasir-Nene-Ama
Sumber : Kompas TV