> >

Tukang Obat

Opini | 21 November 2020, 13:11 WIB
Tukang obat yang dikelilingi oleh warga. (Sumber: Kompasiana.)


Oleh Trias Kuncahyono

Satu

Ingat tukang obat, ingat Pak Arjamanggala. Mereka yang pernah tinggal dan hidup di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta, terutama di wilayah pinggiran, pada awal tahun 70-an, kiranya pernah mengenal Pak Arjamanggala. Sekurang-kurangnya mendengar namanya.

Pak Arjamangga, seorang tukang obat keliling. Ia keliling dari kampung ke kampung, dari pasar ke pasar. Ia akan mendatangi sebuah pasar sesuai dengan hari pasarannya. Misalnya, ke Pasar Godean, pada hari Pon —menurut kalender Jawa ada lima hari pasaran: Kliwon, Legi, Pahing, Pon, dan Wage.

Orangnya berbadan besar, tinggi, berkumis tebal, mengenakan ikat kepala udeng wulung (warna hitam), berbaju hitam komprang dan celana selutut warna hitam pula. Baju tidak dikancingkan, hingga terlihat kaos warna hitam bergaris-garis putih.

Perlengkapan yang paling diandalkan saat beraksi adalah seekor ular sawa kembang atau sanca kembang yang bahasa latinnya Malayopython Reticulatus. Ular yang panjang tubuhnya bisa mencapai 8,5 meter ini menjadi andalannya untuk menarik orang.

Ada berbagai macam jenis obat dan ramuan yang dijual oleh para pedagang obat ini. Yakni mulai dari obat kulit (panu, kadas, kurap), obat gatal-gatal, obat tumo (kutu) rambut, obat cacing, obang untuk menggemukkan badan sampai obat-obatan untuk orang dewasa seperti obat kuat, obat untuk menaikkan gairah seksual. Juga berbagai macam salep seperti salep untuk menumbuhkan atau melebatkan kumis dan jambang, obat pegal linu, obat keseleo, juga ada yang berupa cairan yang bisa diminum. Semua ada.

Syarat utama seorang tukang jamu —ada yang menyebut tukang obat— adalah kemampuan berbicara. Seorang tukang jamu harus pintar ngomong untuk meyakinkan agar orang mau membeli obat yang dijualnya.

Dua

Hanya orang sakit yang butuh obat. Orang waras tidak. Tetapi, yang berkerumun di sekeliling tukang obat macam-macam, sekurang-kurangnya tiga kelompok: ada yang memang sakit dan cari obat, ada yang ingin tahu atraksi yang akan dipertontonkan si tukang obat, ada juga yang sekadar ingin tahu saja.

Akan tetapi, karena kepandaian tukang obat berbicara, memromosikan obatnya, orang yang semula hanya ingin melihat atraksi atau sekadar ingin tahu, pada akhirnya membeli obat juga. Ini lantaran daya persuasif omongan tukang obat mampu membujuk orang untuk membeli obatnya.

Apakah obat yang dijualnya benar-benar mujarab? Tidak ada yang tahu. Si tukang obat juga tidak tahu.  Apa ia menipu kalau ternyata obatnya tidak mujarab? Tidak juga. Ia hanya jualan obat untuk mencari makan. Ia tidak menggunakan kepintarannya berbicara untuk menipu, seperti banyak orang yang menggunakan kepentiran bicaranya untuk menipu, untuk memprovokasi, untuk berbuat jahat, untuk tujuan-tujuan yang tidak semestinya.

Mengapa orang berbuat jahat? Bukankah pada mulanya manusia diciptakan baik adanya, imago Dei, gambaran Allah. Namun, kemudian ada yang menjadi jahat, menjadi serigala bagi sesamanya dengan membuang perintah moral paling dasar, melakukan yang baik dan menghindari yang jahat. Dikuasai angkara murka dalam segala macam bentuk dan manifestasinya.

Kejahatan, kekerasan menguasai dunia. Meminjam istilah yang disampaikan Johann Galtung tentang kekerasan: kekerasan adalah suatu pelanggaran terhadap kebutuhan-kebutuhan dasar manusia atau terhadap kehidupan, yang menyebabkan tingkat pemenuhannya berada di bawah batas minimal.

Tanpa kecuali, nafsu, angkara murka dan kejahatan, kekerasan masuk ke dalam —yang seharusnya sama sekali tidak mengajarkan kekerasan dan kejahatan— agama. Sejarah telah membuktikan bahwa sudah berkali-kali agama menjadi alat kekerasan dan mempunyai aspek-aspek yang mendorong orang beriman untuk melakukan kekerasan (Karen Armstrong: 2014).

Padahal, semua agama yang ada memiliki inti ajaran yang sama yaitu menciptakan perdamaian antar-sesama manusia. Tidak ada agama yang menginginkan para pengikutnya melakukan tindak kekerasan, kejahatan. Bukankah agama adalah wadah perdamaian baik lahir, batin, maupun sosial. Tetapi, bagaimana memahami arus kekerasannya?

Bila sejenak melihat ke belakang, perjalanan sejarah manusia akan terlihat jelas, bagaimana agama digunakan untuk melakukan kekerasan. Agama dan kekerasan seringkali menjadi satu kesatuan dalam permadani sejarah. Sejumlah agama telah membenarkan kekerasan dalam keadaan tertentu, dan agama lain terjebak dalam prosesnya.

Di dunia kuno, Zoroastrianisme mengubah mitos pertempuran sebelumnya menjadi teologi perjuangan apokaliptik abadi antara yang baik dan yang jahat. Yudaisme kuno membentuk konfederasi dalam kondisi perang.  Kekristenan awal pun demikian: Gereja abad pertengahan, perang salib dan Inkwisisi. Dan, ada pula perang suci (John R. Hall, 2001).

Singkatnya, agama dan kekerasan bukanlah hal yang asing. Namun tidak ada episode di mana mereka menjadi terhubung semua bagian. Karena, memang, agama tidak mempromosikan kekerasan. Yang terjadi lebih pada tindakan para penganutnya atau yang mendompleng agama.

Serangan teroris 11 September 2001; konflik tak berujung Yahudi dan Palestina; konflik di Irlandia Utara; dulu konflik nasionalis di Balkan; perang etnis di Afrika; konflik Pakistan dan India; aksi teror oleh fundamentalis Kristen ekstrim kanan di AS; serangan gas sekte Aum Shinrikyô di Tokyo, aksi kelompok ISIS dan masih banyak lagi hanyalah sekadar memberikan contoh dari banyak peristiwa kekerasan paling dramatis yang melibatkan agama.

Maka wajar kalau kemudian muncul pertanyaan, mungkinkah aspek kekerasan melekat dalam setiap agama, dan khususnya tidak toleran, tidak damai dan siap menggunakan kekerasan? Sepanjang sejarah manusia, orang telah membunuh atas nama dewa mereka. Emile Durkheim dengan tepat menekankan bahwa agama berfungsi untuk memperkuat ikatan solidaritas di antara mereka yang menyembah Tuhan yang sama, dengan cara yang sama. Tapi sisi lain dari ini solidaritas adalah permusuhan terhadap mereka yang menyembah Tuhan lain atau menyembah Tuhan yang sama secara berbeda (Henry Munson: 2005).

Padahal, mengutip pendapat Hans Kung, “Tidak ada perdamaian antar-bangsa jika tidak ada perdamaian antaragama.” Lebih dari tiga abad silam, peringatan itu sudah disampaikan oleh John Locke (1632-1704) dalam bahasa yang lain, tetapi maknanya sama, lewat suratnya: Epistola de Tolerantia, “Sepucuk Surat tentang Toleransi”.

John Locke menulis surat tersebut untuk melawan persekusi, penganiayaan agama yang terjadi di seluruh Eropa. Kondisi tersebut sebagai dampak dari Reformasi abad ke-16 yang telah memecah Eropa menjadi kubu Katolik dan kubu Protestan yang saling bersaing. Mereka tidak hanya bersaing dalam kata-kata, tetapi bahkan terlibat dalam perang saudara dan pemberontakan.

Ketiga

Kini, kisah seperti itu terulang kembali dalam bentuk lain atau dalam versi lain. Manusia seperti tidak pernah belajar dari sejarah, meskipun orang tahu bahwa historia magistra vitae, sejarah adalah guru kehidupan. Dan, sejarah selalu berulang, seperti bunyi pepatah Perancis, L’Histoire se Répète, sejarah mengulang dirinya sendiri.

Dulu agama digunakan untuk kepentingan politik. Kini pun demikian. Kalau agama atau sekurang-kurangnya perkara yang berdimensi agama ditanggungkan pada ranah politik, yang akan terjadi adalah rusaknya toleransi antaragama. Tidak ada lagi keindahan. Hilang sudah pelangi itu. Pelangi itu indah karena banyak warna berdampingan menjadi satu; dan tidak ada satu warnapun yang berusaha untuk lebih dominan, untuk mendominasi, mengalahkan warna lain.

Di sinilah arti penting peranan pemimpin, tokoh agama, atau mereka yang merasa sebagai pemimpin atau tokoh agama atau mereka yang ditokohkan. Mereka memiliki peranan yang sangat penting untuk menanamkan prinsip-prinsip etik dan moral masyarakat. Mereka semestinya mengajarkan kesesuaian antara ucapan dan tindakan sebagai ciptaan yang bermartabat.

Seorang pemimpin, tokoh agama (termasuk yang ditokohkan atau menganggap dirinya sebagai tokoh) biasanya sangat dikagumi dan tentunya ditiru oleh masyarakat, para pengikutnya sebagai pembimbing moral dan motivator terhadap orang lain tanpa menghiraukan status sosial dan kedudukannya. Mereka seharusnya mengajarkan tentang arti penting hidup bermasyarakat —manusia menurut kodratnya adalah mahkluk sosial— toleran, menjunjung tinggi ahklak, moralitas, etika, persaudaraan, dan nilai-nilai luhur kemanusiaan yang lain. Bukan justru sebaliknya.

Bukankah, seperti ditulis oleh KGPAA Mangkunegara IV dalam serat Wedatama, bahwa agama ageming aji, yang secara bebas bisa diartikan sebagai agama adalah pakaian orang mulia. Jadi orang-orang beragama itu adalah orang mulia (semestinya), dengan catatan menjadi orang beragama yang sungguh-sungguh beriman, yang nyata dalam perkataan dan perbuatan. Sebab, iman tanpa perbuatan (baik) adalah mati.

Dari buahnyalah kita akan mengenal mereka: apakah sekadar beragama atau sungguh-sungguh beriman. Dapatkah orang memetik buah anggur dari semak duri atau buah ara dari rumput duri? Demikianlah setiap pohon yang baik menghasilkan buah yang baik, sedang pohon yang tidak baik menghasilkan buah yang tidak baik. Tidak mungkin pohon yang baik itu menghasilkan buah yang tidak baik, ataupun pohon yang tidak baik itu menghasilkan buah yang baik.

Keempat

Seorang tukang obat, jualan obat. Seorang ahli agama —tokoh agama, pemimpin agama— “jualan” agama. Semuanya, untuk kebaikan. Yang pertama, untuk kesehatan jasmani, yang kedua untuk kesehatan rohani. Semestinya begitu.

Kalau ternyata tidak untuk kebaikan —entah itu jasmani ataupun rohani— tentu itu sebuah pilihan, yang harus ditanggung akibatnya. Sebab, manusia memiliki keistimewaan karena diciptakan memiliki akal budi, kehendak, suara hati dan kebebasan.

Melalui akal budi dan suara hati yang dimiliki manusia menjadi tanda yang menbedakan manusia dengan mahkluk lain. Akal budi, suara hati dan kebebasan yang dimiliki oleh setiap manusia membuat manusia mampu dengan sadar untuk melakukan sesuatu yang ia kehendaki dan siap untuk dipertanggungjawabkannya.

Kebebasan adalah kemampuan yang berakar dalam akal budi dan kehendak, untuk bertindak atau tidak bertindak, untuk melakukan ini atau itu, supaya dari dirinya sendiri melakukan perbuatan dengan sadar. Dengan kehendak bebas, tiap orang dapat menentukan dirinya sediri.  Dalam kesadarannya sebagai manusia, manusia tentu tidak bisa lari dari realitas keputusan yang telah diambil.

Hal ini berarti, manusia secara sadar harus mempertanggungjawabkan apa yang diperbuatnya. Dengan demikian apa pun pilihan manusia, itu adalah tanggung jawab manusia sendiri, termasuk ketika memilih untuk menebarkan kejahatan bukan kebaikan. Tetapi, dengan demikian, manusia seperti ini telah mengingkari kodratnya sebagai ciptaan yang bermartabat atau ciptaan yang memiliki harkat.

Begitu seorang tukang obat berbuat jahat, menipu, maka selesailah sudah karirnya sebagai tukang obat. Orang tidak mau lagi mengerumuni dia. Apalagi, membeli obat jualannya.

Penulis : Hariyanto-Kurniawan

Sumber : Kompas TV

Tag

TERBARU