Profil Hosni Mubarak, Presiden Mesir yang Digulingkan Usai 30 Tahun Menjabat
Kompas dunia | 25 Februari 2020, 19:22 WIBKOMPAS.TV - Mantan presiden Mesir Muhammad Hosni Mubarak meninggal dunia hari ini, Selasa (25/2). Dia meninggal pada usia 91 tahun.
Dilansir dari The Guardian, Hosni Mubarak meninggal setelah menjalani operasi di sebuah rumah sakit di Ibu Kota Kairo.
Putra Hosni Mubarak, Alaa Mubarak, dan pengacaranya yakni Farid El-Deeb awal bulan ini menyebut Hosni Mubarak menjalani perawatan intensif setelah dioperasi dua minggu sebelumnya.
Namun demikian Alaa tidak menjelaskan secara detail operasi apa yang dijalani ayahnya.
Baca Juga: Mantan Presiden Mesir Hosni Mubarak Meninggal Dunia Dalam Usia 91 Tahun
Meski begitu, ada laporan yang beredar dia sempat menjalani perawatan akibat mengalami masalah perut.
Diberitakan Kompas.com, Senin (06/05/2019), Mubarak menjabat sebagai presiden Mesir keempat sejak 1981, sampai akhirnya terjadi Revolusi Arab Spring yang berujung pada kelengseran dirinya dari kursi kepresidenan pada 11 Februari 2011. Dia didesak untuk mundur melalui aksi demonstrasi selama 18 hari.
Karier Militer
Hosni Mubarak lahir pada 4 Mei 1928 di Al Minufiyyah, Mesir, di Delta Sungai Nil. Dia menempuh pendidikan di akademi militer sebelum bergabung dengan akademi angkatan udara.
Setelah merampungkan pendidikan di akademi militer di Kairo pada 1949, Hosni melanjutkan ke akademi angkatan udara di Bilbeis setahun kemudian.
Dia juga sempat menjalani pelatihan penerbangan lanjutan serta menerbangkan pesawat pembom di Uni Soviet.
Setelah kembali ke Mesir, Hosni memegang posisi komando angkatan udara dan menjadi direktur akademi udara pada 1966 hingga 1969.
Pada 1972, Presiden Anwar Sadat menunjuk Hosni Mubarak sebagai komandan kepala angkatan udara.
Dia pun membuktikan kemampuannya dengan menunjukkan keberhasilan kinerja angkatan udara Mesir dalam masa-masa awal perang dengan Israel pada Oktober 1973.
Pada 1974, Hosni Mubarak dipromosikan menjadi perwira tinggi angkatan udara dan setahun kemudian, Presiden Sadat menunjuknya menjadi wakil presiden.
Selama menjabat sebagai wakil presiden, Hosni Mubarak aktif dalam negosiasi pembahasan kebijakan Timur Tengah dan Arab.
Dia juga menjabat sebagai mediator utama dalam perselisihan antara Maroko, Aljazair, dan Mauritania atas wilayah Sahara Barat.
Menjabat sebagai Presiden
Pada 6 Oktober 1981, Presiden Anwar Sadat tewas dibunuh oleh sekelompok tentara yang dipimpin seorang letnan, saat peringatan dimulainya perang Mesir-Israel.
Hosni Mubarak yang turut terluka dalam misi pembunuhan itu diangkat menjadi presiden delapan hari berselang.
Selama tahun-tahun awalnya menjabat sebagai presiden, Hosni Mubarak berhasil meningkatkan hubungan dengan negara-negara Arab lainnya.
Dia juga menurunkan ketegangan dengan Israel, terutama pascainvasi Israel ke Lebanon pada 1982.
Hosni Mubarak menegaskan kembali perjanjian damai Mesir dengan Israel di bawah perjanjian Camp David (1979), serta meningkatkan hubungan dengan Amerika Serikat, yang menjadi pemberi bantuan utama Mesir.
Pada 1987, Mubarak kembali terpilih sebagai presiden untuk masa jabatan enam tahun kedua.
Selama krisis Teluk Persia dan perang setelah invasi Irak ke Kuwait pada 1990, Mubarak mengajak negara-negara Arab dalam mendukung keputusan Arab Saudi untuk mendatangkan bantuan koalisi militer yang dipimpin AS untuk memulihkan Kuwait.
Dia juga berperan penting dalam menengahi perjanjian bilateral antara Israel dengan Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) pada 1993.
Pada 1993, Mubarak kembali terpilih sebagai presiden untuk masa jabatan ketiga. Sejak saat itu, kekerasan oleh kelompok gerilya meningkat dan kelompok oposisi mendesak reformasi pemilu yang demokratis.
Pada 1995, Hosni Mubarak lolos dari upaya pembunuhan di Etiopia. Dia kembali diserang pada 1999 dan mengalami luka akibat senjata tajam.
Meski telah mulai menghadapi tekanan untuk mundur, bahkan mendapat beberapa kali upaya pembunuhan, Mubarak tetap bertahan dan bahkan terus mendorong perdamaian di Timur Tengah.
Hosni Mubarak kembali menjabat presiden untuk masa jabatan keempat setelah tidak ada calon lain yang menjadi lawan dalam pemilihan 1999.
Pada 2005, Mubarak kembali memenangkan pemilu untuk masa jabatan kelima. Saat itu pemilihan diikuti sejumlah kandidat, namun jumlah pemilih mengalami penurunan, serta adanya tuduhan penyimpangan dalam pemilu.
Desakan untuk Mundur
Pada 2011, kawasan Timur Tengah diguncang gerakan pemberontakan oleh rakyat, yang diawali dengan gerakan Revolusi Melati di Tunisia, yang mendorong Presiden Zine al Abidin Ben Ali untuk mundur.
Januari 2011, unjuk rasa mulai muncul di Mesir, dengan massa pengunjuk rasa yang memprotes penindasan, korupsi, serta kemiskinan yang semakin parah di negara itu. Massa mendesak Presiden Mubarak yang telah menjabat hingga enam periode untuk mundur.
Sempat menghilang dari publik, Presiden Mubarak muncul setelah bentrokan massa pengunjuk rasa dengan polisi memasuki hari keempat.
Mubarak menyampaikan pidatonya melalui televisi pemerintah, yang intinya mengatakan bahwa dirinya akan tetap menjabat. Namun presiden akan membubarkan kabinet dan melakukan reformasi sosial serta ekonomi.
Langkah tersebut dikecam massa pengunjuk rasa sebagai alasan untuk tetap berkuasa dan tidak berdampak banyak dalam menenangkan aksi kerusuhan.
Hari berikutnya, Presiden Mubarak mengambil keputusan dengan menunjuk wakil presiden untuk pertama kalinya selama menjabat. Namun aksi protes masih berlangsung hingga Februari.
Pada 1 Februari, Mubarak kembali tampil di televisi dan mengumumkan bahwa dirinya tidak akan kembali maju dalam pemilihan presiden berikutnya yang dijadwalkan digelar pada bulan September 2011.
Mundur dari Jabatan Presiden
Desakan untuk mundur terus datang dari rakyat Mesir, hingga pada 10 Februari, Mubarak kembali menyampaikan pidatonya di televisi.
Dalam pidatonya, Mubarak menyatakan akan tetap merampungkan masa jabatannya hingga selesai, namun dia juga mendelegasikan sebagian kekuasaannya kepada wakil presiden Omar Suleiman.
Dia juga kembali menjanjikan akan melakukan reformasi pemilu, serta akan mencabut hukum darurat Mesir yang telah diberlakukan sejak 1981.
Sehari berselang, Mubarak meninggalkan Kairo menuju tempat peristirahatannya di Sharm el-Sheikh, di Semenanjung Sinai.
Beberapa jam setelah kabar Mubarak meninggalkan Kairo, wapres Suleiman muncul di televisi dan mengumumkan bahwa presiden Mubarak telah mengundurkan diri sebagai presiden dan menyerahkan kekuasaan memimpin pemerintahan kepada Dewan Tertinggi Angkatan Bersenjata.
Pengumuman pengunduran diri Mubarak disambut perayaan dan sukacita di sejumlah lokasi di mana massa berunjuk rasa.
Penulis : fadhilah
Sumber : Kompas TV