> >

Israel Berencana Perluas Pendudukan di Zona Penyangga Suriah

Kompas dunia | 18 Desember 2024, 13:45 WIB
Tentara Israel berdiri di samping kendaraan lapis baja setelah melintasi pagar keamanan, dekat Garis Alpha yang memisahkan Dataran Tinggi Golan yang dikuasai Israel, di kota Majdal Shams, Selasa, 17 Desember 2024. (Sumber: Foto AP/Matias Delacroix)

YERUSALEM, KOMPAS.TV - Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengatakan pasukan Israel akan menduduki zona penyangga di dalam Suriah dalam waktu dekat. 

Perebutan zona penyangga oleh Israel baru-baru ini telah memicu kecaman dunia. Para kritikus menuduh Israel melanggar gencatan senjata tahun 1974 dan mungkin mengeksploitasi kekacauan yang tengah terjadi di Suriah, untuk merampas tanah mereka.

Netanyahu memasuki zona penyangga pada Selasa (17/12/2024). Peristiwa ini menjadikan Netanyahu sebagai pemimpin Israel pertama yang menginjakkan kaki sejauh ini ke Suriah.

Kemajuan Israel di Suriah sudah terjadi saat pasukannya masih berperang di Gaza melawan kelompok militan Palestina. Qatar, Mesir, dan Amerika Serikat saat ini masih terus memperbarui upaya untuk menjadi penengah atas terjadinya kesepakatan gencatan senjata.

Baca Juga: Bashar Al-Assad Buka Suara, Akui Tak Ingin Kabur dari Suriah tapi Rusia Putuskan Membawanya

Pengeboman dan serangan Israel di Gaza, saat ini telah menewaskan lebih dari 45.000 warga Palestina selama 14 bulan terakhir. Israel melancarkan operasinya sebagai balasan atas serangan Hamas pada Oktober 2023 di Israel selatan, yang menewaskan sekitar 1.200 orang. Selain itu, Hamas juga menculik 250 orang lainnya, sekitar 100 di antaranya masih ditawan. Sekitar satu per tiga dari para tawanan diperkirakan telah meninggal.

Dewan Keamanan PBB Serukan Pemilihan Umum di Suriah

Sementara itu, Dewan Keamanan PBB telah mengeluarkan pernyataan pertamanya tentang Suriah setelah pemerintahan Presiden Bashar Assad digulingkan. Mereka menyerukan proses politik yang mengarah pada pemilihan umum dan mendesak semua negara untuk menghormati kedaulatan, kemerdekaan, persatuan, dan integritas teritorial negara tersebut.

Dewan tersebut mengatakan bahwa warga Suriah harus menentukan masa depan mereka sendiri secara damai, mandiri, dan demokratis, berdasarkan prinsip-prinsip utama dalam resolusi dewan tahun 2015. 

Mereka juga menyatakan bahwa proses tersebut harus difasilitasi oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa dan didukung oleh upaya yang dilakukan oleh utusan PBB Geir Pedersen.

Pernyataan yang dirilis pada Selasa malam itu tidak menyinggung tentang penggulingan Assad pada 8 Desember lalu. Assad sendiri telah melarikan diri ke sekutu dekatnya, Rusia.

Baca Juga: Hizbullah Ternyata Kesulitan Rezim Bashar Al-Assad di Suriah Jatuh, Rute Pasokan Senjatanya Terputus

Dewan Keamanan menegaskan kembali dukungannya terhadap pasukan penjaga perdamaian PBB yang dikenal sebagai UNDOF yang memantau perbatasan Israel-Suriah setelah perang Timur Tengah 1973. Dewan tersebut menekankan kewajiban semua pihak dalam Perjanjian Pelepasan 1974 yang menetapkan zona penyangga demiliterisasi antara kedua negara untuk mematuhi ketentuannya dan mengurangi ketegangan.

Pernyataan dewan, yang disetujui oleh semua 15 anggota, menggarisbawahi pentingnya memerangi terorisme di Suriah dan mencegah kelompok ekstremis ISIS membangun kembali bentengnya di negara tersebut. 

Kelompok militan ISIS merebut sebagian besar wilayah Irak dan Suriah pada tahun 2014, dan mendeklarasikan kekhalifahan yang berakhir pada tahun 2019. Meskipun demikian, hingga saat ini masih terdapat kantong-kantong ISIS di Suriah.

Dewan Keamanan juga menegaskan kembali kewajiban Suriah untuk menghormati hak asasi manusia dan hukum humaniter internasional. Ini termasuk hak untuk mencari keadilan dan mengizinkan serta memfasilitasi akses kemanusiaan bagi jutaan orang yang membutuhkan.

 

Penulis : Tussie Ayu Editor : Vyara-Lestari

Sumber : The Associated Press


TERBARU