Tidak Ada Alasan Tolak Gencatan Senjata, Uni Eropa Desak Israel Akhiri Konflik dengan Hizbullah
Kompas dunia | 26 November 2024, 17:52 WIBFIUGGI, KOMPAS.TV — Uni Eropa mendesak Israel untuk segera menerima kesepakatan gencatan senjata dengan kelompok militan Hizbullah di Lebanon.
Dalam pertemuan tingkat tinggi kelompok negara-negara maju G7 di Italia, diplomat tertinggi Uni Eropa Josep Borrell menegaskan bahwa semua kekhawatiran keamanan Israel telah diakomodasi dalam kesepakatan yang dirancang oleh Amerika Serikat dan Prancis.
“Tidak ada alasan untuk tidak melaksanakan gencatan senjata. Jika tidak, Lebanon akan runtuh,” ujar Borrell, Selasa (26/11/2024), dikutip dari The Associated Press.
Ketegangan di Lebanon meningkat setelah perang pecah antara Israel dan Hamas pada Oktober 2023.
Serangkaian serangan balasan Israel terhadap Hizbullah di Lebanon selatan telah menewaskan lebih dari 3.500 orang dan melukai lebih dari 15.000 lainnya, berdasarkan data Kementerian Kesehatan Lebanon.
Di pihak Israel, korban jiwa mencakup 90 tentara dan hampir 50 warga sipil akibat serangan roket dan drone Hizbullah.
Dalam kesepakatan yang dimediasi AS dan Prancis, komite pelaksana gencatan senjata akan dipimpin oleh AS dengan partisipasi Prancis atas permintaan Lebanon.
Namun, kabinet keamanan Israel dilaporkan masih mempertimbangkan proposal ini. Salah satu poin krusial adalah tuntutan Israel untuk mempertahankan hak mengambil tindakan jika Hizbullah melanggar kesepakatan.
Peringatan Uni Eropa
Borrell menyoroti pentingnya tekanan internasional terhadap elemen ekstremis di pemerintahan Israel yang menolak gencatan senjata.
Baca Juga: Konflik Israel-Hizbullah Makin Memanas, 52 Orang Tewas dalam Serangan Udara di Lebanon
“Jika tidak segera diimplementasikan, tidak hanya Lebanon yang terancam hancur, tetapi stabilitas kawasan juga akan terganggu,” ujar Borrell.
Selain itu, Borrell meminta Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) segera meloloskan resolusi untuk memastikan bantuan kemanusiaan masuk ke Gaza.
Ia menggambarkan situasi di sana sebagai “krisis kemanusiaan mendesak,” di mana bantuan telah sepenuhnya terhenti.
Isu lain yang mewarnai pertemuan G7 adalah dakwaan Mahkamah Pidana Internasional (ICC) terhadap Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan mantan menteri pertahanannya.
Tuduhan itu mencakup penggunaan kelaparan sebagai senjata terhadap warga sipil Palestina.
Meskipun enam dari tujuh anggota G7 mendukung ICC, AS yang merupakan sekutu utama Israel menolak dakwaan tersebut.
Italia, sebagai tuan rumah, juga menyatakan keprihatinannya bahwa dakwaan itu bisa mempersulit solusi damai di Timur Tengah.
Sementara pertemuan G7 hari pertama didominasi isu Timur Tengah, perhatian beralih ke Ukraina pada hari kedua.
Menteri Luar Negeri Ukraina Andrii Sybiha melaporkan serangan Rusia terhadap infrastruktur energi negaranya menggunakan rudal balistik hipersonik eksperimental.
“Kami ingin menegaskan kembali solidaritas G7 terhadap Ukraina. Dukungan untuk Kyiv tetap menjadi prioritas,” kata Menteri Luar Negeri Italia Antonio Tajani.
G7 telah menjadi pendukung utama Ukraina sejak invasi Rusia pada 2022. Namun, kekhawatiran muncul terkait perubahan kebijakan AS jika mantan Presiden Donald Trump kembali berkuasa.
Trump sebelumnya mengkritik bantuan miliaran dolar AS untuk Ukraina dan mengindikasikan ia akan menekan Kyiv untuk menyerahkan wilayah yang diduduki Rusia.
Baca Juga: 6 Tentara Israel Bunuh Diri, Gegara Tekanan Psikologis Perang di Gaza dan Lebanon Tak Kunjung Usai
Penulis : Rizky L Pratama Editor : Desy-Afrianti
Sumber : Associated Press