> >

Shanghai Jadi Kota Paling Polutif di Dunia, Emisinya Melebihi Negara Kolombia

Kompas dunia | 15 November 2024, 19:15 WIB
Pengunjung menikmati hari di Shanghai, China, dengan latar belakang pemandangan kota tersebut, Kamis (20/4/2023). (Sumber: AP Photo/Ng Han Guan)

 

BAKU, KOMPAS.TV – Shanghai dinobatkan sebagai kota dengan emisi gas rumah kaca tertinggi di dunia, berdasarkan data terbaru yang dirilis di Konferensi Perubahan Iklim PBB ke-29 atau COP29 di Baku, Azerbaijan.

Shanghai memiliki total emisi mencapai 256 juta ton, melampaui emisi gas rumah kaca dari negara-negara seperti Kolombia atau Norwegia.

Data ini diperoleh melalui pengamatan satelit dan teknologi kecerdasan buatan yang dilakukan Climate Trace, sebuah organisasi yang didirikan oleh mantan Wakil Presiden Amerika Serikat Al Gore. 

Dilansir The Associated Press, selain Shanghai, Tokyo (250 juta ton), New York City (160 juta ton), dan Houston (150 juta ton) juga masuk dalam daftar kota dengan emisi tertinggi.

Emisi dari kota-kota besar seperti Shanghai dan Tokyo tidak hanya signifikan dalam skala lokal, tetapi juga berkontribusi besar pada krisis iklim global.

Baca Juga: Polusi Tertinggi di Dunia: Ribuan Orang Sakit di Kota Lahore, Pakistan

Jika Tokyo dianggap sebagai sebuah negara, emisinya akan masuk dalam 40 besar penghasil emisi dunia.

Selain itu, Seoul (142 juta ton) dan Houston juga mencatat emisi yang lebih besar daripada banyak negara berkembang. 

Permian Basin di Texas bahkan disebut sebagai lokasi penghasil polusi terburuk di dunia, menurut Gore.

“Saya terkejut bahwa Permian Basin di Texas mengalahkan lokasi-lokasi polutif di Rusia dan China. Ini menunjukkan betapa kotornya tempat ini,” ujar Gore dalam konferensi pers di COP29.

Kenaikan Emisi Global

Secara global, emisi karbon dioksida dan metana meningkat 0,7 persen dari 2022 ke 2023, mencapai 61,2 miliar ton. 

Meski kecil, peningkatan ini mencerminkan kurangnya kemajuan signifikan dalam mengurangi emisi. 

Baca Juga: PT INERMAN dan Shanghai Electric Akan Bangun PLTS Terapung Berkapasitas 2.000 MW

Negara seperti China, India, Indonesia, dan Rusia menjadi kontributor utama peningkatan emisi ini.

Sementara beberapa negara seperti Jepang, Jerman, Inggris, dan Amerika Serikat berhasil menurunkan emisi mereka. 

Namun, pengurangan tersebut dinilai belum cukup untuk mengimbangi peningkatan emisi global.

Di tengah meningkatnya emisi global, COP29 kembali menjadi sorotan karena dinilai terlalu didominasi kepentingan industri bahan bakar fosil. 

Gore mengkritik tajam penyelenggaraan COP29 di Azerbaijan, negara penghasil minyak terbesar, yang menurutnya memberikan ruang lebih besar kepada industri fosil.

“Proses negosiasi iklim ini sudah terdistorsi. Negara-negara penghasil minyak dan gas memiliki pengaruh yang terlalu besar,” kata Gore.

Kritik tersebut turut didukung oleh surat terbuka dari mantan Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-moon dan sejumlah tokoh global lainnya yang menyerukan reformasi mendesak dalam proses negosiasi iklim.

Meskipun forum ini dikritik, COP tetap menjadi satu-satunya tempat di mana negara-negara kecil dan rentan dapat menyuarakan kepentingan mereka secara setara. 

Negara-negara pulau kecil, melalui perwakilannya, Cedric Schuster, menegaskan kembali pentingnya mempertahankan target Perjanjian Paris untuk membatasi kenaikan suhu global hingga 1,5 derajat Celsius.

“Kami di sini untuk mempertahankan Perjanjian Paris. Dunia tidak boleh melupakan bahwa melindungi populasi paling rentan adalah inti dari kesepakatan ini,” kata Schuster. 

Baca Juga: Delegasi RI di COP29, Hashim Djojohadikusumo Pikat Pendanaan Hijau EUR 1,2 Miliar untuk Kelistrikan

 

Penulis : Rizky L Pratama Editor : Edy-A.-Putra

Sumber : Associated Press


TERBARU