PBB: Krisis Myanmar Makin Parah, Konflik Makin Berdarah dan Jaringan Kriminal Makin Tidak Terkendali
Kompas dunia | 30 Oktober 2024, 22:05 WIBNEW YORK, KOMPAS.TV — Utusan khusus PBB untuk Myanmar, Julie Bishop, memperingatkan bahwa Myanmar sedang dalam krisis, dengan konflik yang terus meningkat, jaringan kriminal yang "tidak terkendali," dan penderitaan manusia yang mencapai tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Julie Bishop menyampaikan pernyataan di hadapan komite hak asasi manusia Majelis Umum PBB, Selasa (29/10/2024). Ini adalah laporan pertamanya sejak dilantik oleh Sekretaris Jenderal Antonio Guterres pada bulan April.
Dia menekankan "para pelaku di Myanmar harus bergerak melewati mentalitas zero-sum saat ini," seperti dilaporkan Associated Press, Rabu (30/10).
Sejak junta Militer Myanmar menggulingkan pemerintahan terpilih Aung San Suu Kyi pada Februari 2021, mereka menekan protes damai yang meluas yang meminta kembalinya pemerintahan demokratis. Tindakan ini menyebabkan peningkatan kekerasan dan krisis kemanusiaan yang serius.
Dalam setahun terakhir, tiga kelompok milisi bersenjata etnis yang kuat telah merebut wilayah, membuat pemerintah militer semakin terdesak dalam pertempuran. Ini memaksa ratusan ribu warga sipil melarikan diri dari rumah mereka. Menurut PBB, saat ini ada tiga juta orang yang mengungsi di seluruh Myanmar, dan sekitar 18,6 juta orang membutuhkan bantuan kemanusiaan.
Bishop menyerukan penghentian kekerasan, menekankan bahwa "akan sulit untuk memenuhi kebutuhan masyarakat selama konflik bersenjata terus berlangsung di seluruh negara."
Bishop menyatakan telah berdialog dengan berbagai pihak, termasuk Jenderal Senior Min Aung Hlaing di ibu kota Naypyidaw, serta perwakilan oposisi, organisasi bersenjata etnis, kelompok perempuan, pembela hak asasi manusia, dan negara-negara lain. Namun, dia tidak memberikan rincian mengenai pertemuan tersebut.
Dia juga mengungkapkan telah bertemu Ketua ASEAN saat ini, sebelumnya, dan yang akan datang di Vientiane, Laos; Jakarta, Indonesia; dan Kuala Lumpur, Malaysia. Bishop juga telah mengunjungi negara-negara tetangga Myanmar, yaitu China dan Thailand, dan akan segera berkunjung ke India dan Bangladesh untuk "terus mendesak negara-negara tetangga untuk memanfaatkan pengaruh mereka." Dia juga merencanakan kunjungan kembali ke Naypyidaw, tetapi tidak memberikan jadwal yang pasti.
Baca Juga: Konflik Myanmar Memanas, Kubu Pemberontak Kuasai Kota Penting di Jalur Perdagangan dengan China
Pada pertemuan baru-baru ini antara PBB dan ASEAN, Bishop mengatakan Sekretaris Jenderal Guterres mendukung penguatan kerja sama antara utusan PBB dan ketua ASEAN untuk cara inovatif mempromosikan proses yang dipimpin oleh Myanmar.
Ini mencakup pelaksanaan yang efektif dari rencana lima poin yang disetujui oleh penguasa Myanmar pada April 2021, namun belum banyak diimplementasikan. Rencana tersebut menyerukan penghentian segera kekerasan, dialog di antara semua pihak yang berkepentingan yang dimediasi oleh utusan khusus ASEAN, penyediaan bantuan kemanusiaan, dan kunjungan utusan khusus ASEAN ke Myanmar untuk bertemu semua pihak terkait.
"Setiap jalur menuju rekonsiliasi memerlukan penghentian kekerasan, akuntabilitas, dan akses tanpa batas bagi PBB dan mitranya untuk menangani kerentanan di kalangan masyarakat yang terpinggirkan, termasuk Rohingya, komunitas etnis, serta perempuan dan pemuda," jelas Bishop.
Namun, dia menunjukkan bahwa jumlah korban sipil terus meningkat dan penegakan hukum "sangat tergerus sehingga kejahatan transnasional yang berasal dari Myanmar semakin meluas."
"Skala produksi dan perdagangan senjata, perdagangan manusia, pembuatan dan perdagangan narkoba, serta pusat penipuan menjadikan Myanmar saat ini menduduki peringkat tertinggi di antara semua negara anggota dalam hal kejahatan terorganisir," tambahnya. "Jaringan kriminal kini sudah tidak terkendali."
Bishop juga mendukung pernyataan Guterres yang menekankan urgensi untuk menciptakan jalur menuju transisi demokratis dan kembalinya pemerintahan sipil.
"Saya sejalan dengan kekhawatiran beliau mengenai niat militer untuk mengadakan pemilihan di tengah konflik yang semakin intensif dan pelanggaran hak asasi manusia," ungkapnya.
Dia memperingatkan, "konflik Myanmar berisiko menjadi krisis yang terlupakan."
"Dampak regional dari krisis ini sudah jelas, tetapi dampak global tidak bisa lagi diabaikan," pungkasnya.
Penulis : Edwin Shri Bimo Editor : Vyara-Lestari
Sumber : Associated Press