> >

Pembicaraan Gencatan Senjata Gaza di Doha Berakhir Tanpa Kesepakatan

Kompas dunia | 29 Oktober 2024, 22:05 WIB
Warga Palestina menyambut pengumuman Hamas yang menyatakan mereka menerima proposal gencatan senjata di jalan-jalan di Deir al-Balah, Jalur Gaza, pada Senin, 6 Mei 2024. Namun, Israel mengatakan pada Senin malam akan terus melanjutkan serangan terhadap Rafah, di selatan Jalur Gaza. (Sumber: AP Photo)

DOHA, KOMPAS.TV — Pembicaraan selama dua hari mengenai gencatan senjata di Gaza yang berlangsung di Doha, Qatar, berakhir tanpa adanya kesepakatan. 

Para mediator dari Amerika Serikat, Mesir, dan Qatar belum memberikan pernyataan resmi apakah proposal terbaru untuk mengakhiri konflik di Gaza sudah mendekati kesepakatan atau belum.

Perundingan yang digelar pada Minggu dan Senin (27-28/10/2024) ini dipandang sebagai upaya terakhir dari Amerika Serikat untuk mencapai kesepakatan gencatan senjata dan pertukaran tahanan sebelum pemilihan presiden pada 5 November mendatang. 

Konflik berkepanjangan antara Israel dan Hamas yang meletus sejak Oktober tahun lalu telah menelan korban ribuan nyawa, memperparah krisis kemanusiaan di wilayah Palestina.

Sumber-sumber diplomatik mengatakan, meskipun para mediator dan negosiator sudah meninggalkan Doha, perwakilan level menengah masih melanjutkan pembahasan terkait proposal gencatan senjata. 

Namun, mereka menilai upaya ini akan menghadapi tantangan besar hingga hasil pemilu AS diketahui.

“Kami tidak melihat adanya pergerakan berarti hingga semua pihak, terutama Israel, mengetahui siapa yang akan duduk di Gedung Putih berikutnya,” ujar salah satu sumber diplomatik dikutip dari The National News, Selasa (29/10/2024).

“Selain itu, apa yang ditawarkan saat ini tampaknya belum dapat diterima baik oleh Israel maupun Hamas,” tambahnya.

Baca Juga: Indonesia Murka dan Kecam Keras Langkah Israel Larang UNRWA

Dukungan dari AS

Dari Washington, pejabat pemerintahan Presiden Joe Biden menyatakan dukungannya terhadap proposal Mesir untuk gencatan senjata singkat di Gaza, yaitu antara 48 hingga 72 jam. 

Rencana ini melibatkan pembebasan lima sandera oleh Hamas dengan imbalan sejumlah tahanan Palestina yang saat ini ditahan di Israel.

Dalam pernyataan di hadapan wartawan pada Senin, Biden menegaskan pentingnya langkah ini.

“Kita perlu gencatan senjata. Perang ini harus berakhir. Ini harus segera diakhiri,” ujarnya dengan nada tegas.

Namun, salah satu pejabat AS mengatakan, pemerintahan Biden mendukung hampir semua usulan yang dapat meredakan penderitaan warga sipil Palestina dan membebaskan sandera.

Tetapi menyatakan bahwa mereka tetap berhati-hati dalam menaruh harapan terlalu tinggi terhadap hasilnya.

Sementara itu, dari Tel Aviv, kantor Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menyampaikan, Israel belum menerima proposal pertukaran tahanan secara resmi. 

“Jika proposal seperti itu diajukan, Perdana Menteri akan langsung menyetujuinya,” kata pernyataan resmi tersebut.

Kendala dari Hamas dan Israel

Hamas masih belum memberikan tanggapan formal terkait rencana ini.

Namun, berdasarkan diskusi antara pejabat Mesir dan Hamas di Kairo pekan lalu, tampaknya Hamas belum berniat melonggarkan persyaratannya. 

Baca Juga: Mandat Penangkapan Netanyahu Mandek 5 Bulan di ICC, Diduga Dihambat Operasi Intelijen Israel

Mereka masih menuntut penarikan penuh Israel dari Gaza, gencatan senjata permanen, dan pengembalian pengungsi secara bebas tanpa syarat.

Di sisi lain, Israel menegaskan bahwa tujuan utama operasinya adalah menghancurkan Hamas dan memastikan tidak terjadi lagi serangan serupa dengan insiden pada 7 Oktober 2023, yang menyebabkan korban 1.200 jiwa di wilayah Israel selatan dan memicu perang yang kini telah menelan korban setidaknya 43.000 warga Palestina. 

Israel juga menolak memberikan peran keamanan atau pemerintahan kepada Otoritas Palestina di Gaza, yang menjadi salah satu kendala utama dalam mediasi.

Dalam pembicaraan di Doha, Direktur CIA AS William Burns, Kepala Mossad David Barnea, dan Perdana Menteri Qatar Sheikh Mohammed bin Abdulrahman Al Thani bertemu untuk mencari jalan keluar dari konflik Gaza. 

Meski demikian, Kepala Intelijen Mesir yang baru, Hassan Mahmoud Rashad, tidak hadir dalam pertemuan ini, dengan alasan tidak dijelaskan secara rinci.

Qatar yang berperan sebagai mediator utama bersama AS menyatakan komitmennya untuk terus bekerja hingga “detik terakhir” sebelum pemilihan presiden AS. 

“Kami tidak melihat hasil pemilu sebagai faktor yang akan mengganggu proses mediasi ini. Kami yakin institusi AS memiliki komitmen kuat untuk menemukan solusi atas krisis ini,” ujar perwakilan Kementerian Luar Negeri Qatar, Majed Al Ansari, dalam konferensi pers di Doha pada Selasa.

Konflik yang berkepanjangan di Gaza tidak hanya menyebabkan korban jiwa, tetapi juga menimbulkan krisis kemanusiaan yang mendalam.

Sebagian besar dari 2,3 juta warga Gaza terpaksa mengungsi beberapa kali, mencari tempat aman dari gempuran yang terjadi terus-menerus. 

Baca Juga: Dunia Kecam Langkah Tel Aviv Larang UNRWA, Otoritas Palestina: Israel Sudah Jadi Negara Fasis

Penulis : Rizky L Pratama Editor : Deni-Muliya

Sumber : The National


TERBARU