> >

Satu Tahun Genosida di Gaza dan Kegagalan Strategis Militer Israel

Kompas dunia | 5 Oktober 2024, 13:34 WIB
Puing akibat serangan Israel di Gaza City, 11 Oktober 2023. Setahun genosida di Gaza, pakar lakukan evaluasi kegagalan total strategi dan militer Israel, di mana tujuan zionis Israel menghilangkan Hamas, melumpuhkan infrastruktur militer, serta membebaskan sandera, semuanya dipandang gagal total. (Sumber: AP Photo)

Krieg menekankan pendekatan non-militer jauh lebih efektif dalam membebaskan sandera, sebuah pandangan yang juga disepakati Kusovac. “Jika tujuan utama Israel adalah pembebasan sandera, ya jelas itu belum tercapai,” kata Kusovac, seraya menambahkan hanya sejumlah kecil sandera yang berhasil dibebaskan, sementara mayoritas masih berada di tangan Hamas. 

Israel memang berhasil merusak sebagian infrastruktur militer Hamas, tetapi kehancuran total masih jauh dari kenyataan. Krieg mencatat serangan besar Hamas terhambat oleh kerusakan besar di Gaza, namun struktur inti kekuatan militer Hamas sebagian besar masih tetap utuh.

“Kehancuran besar di Gaza menyebabkan banyak infrastruktur militer yang digunakan Hamas kini rusak atau hancur,” jelas Krieg. “Ini membuat Hamas lebih sulit melancarkan serangan roket ke wilayah Israel.”

Namun, jaringan terowongan Hamas, yang merupakan bagian penting dari strategi pertahanan mereka, masih menjadi tantangan besar bagi Israel. Hanya sepertiga dari terowongan tersebut yang diklaim telah dihancurkan, dan banyak dari jaringan terowongan itu masih berfungsi dengan baik, tambah Krieg.

Kusovac menambahkan bahwa meskipun Israel berhasil mengurangi kemampuan Hamas untuk melancarkan serangan misil besar, kelompok tersebut belum sepenuhnya hancur. “Hamas belum musnah,” ujarnya.

Baca Juga: 93% Bangunan Sekolah di Gaza Hancur Akibat Serangan Israel, Lahan Pertanian Tersisa 22%

Ironisnya, upaya Israel di Gaza justru meningkatkan dukungan terhadap perlawanan Palestina, meskipun tidak selalu terhadap Hamas secara langsung. Menurut Krieg, kekejaman yang dialami penduduk Gaza selama operasi militer Israel hanya memperkuat semangat perlawanan.

“Semangat perlawanan di kalangan warga Palestina dan penduduk Gaza, yang telah mengalami 12 bulan penderitaan, kini semakin meningkat,” kata Krieg. Israel justru memicu efek yang berlawanan dengan yang diinginkannya, memperkuat “keinginan warga Palestina untuk melawan dengan kekerasan.”

Kusovac juga menekankan hal yang sama, dengan menunjukkan bahwa para pemimpin Hamas terus melaporkan peningkatan jumlah rekrutan. “Perekrutan mereka berjalan sangat baik, penderitaan selama setahun terakhir ini menjadi ajang perekrutan yang sangat efektif bagi Hamas,” ucapnya.

Para pakar sepakat bahwa perang berkepanjangan ini telah menjadi skenario mimpi buruk bagi Israel. Tentara Israel mengalami kerugian besar, sementara taktik gerilya Hamas, yang melibatkan penembak jitu, alat peledak rakitan (IED), dan serangan mendadak, terus menimbulkan kerusakan signifikan pada pasukan Israel.

“Ini adalah perang paling mematikan bagi Israel, bukan hanya dalam jumlah tentara yang tewas, yang jumlahnya mencapai beberapa ratus, tetapi juga, lebih penting lagi, jumlah tentara yang cacat akibat luka-luka,” kata Krieg.

Jaringan terowongan Hamas di bawah Gaza tetap menjadi "pusat gravitasi" terbesar mereka dari segi strategi militer. Ketidakmampuan Israel untuk menghancurkan jaringan terowongan ini, atau memenangkan dukungan penduduk sipil Gaza, menyebabkan Israel menghadapi pertempuran di dua front sekaligus.

“Israel kalah dalam dua pertempuran utama,” kata Krieg. “Pertama adalah pertempuran fisik melawan jaringan terowongan, dan yang kedua adalah kegagalan merebut hati dan pikiran rakyat Gaza, yang kini semakin bersedia untuk melawan Israel jika ada kesempatan.”

Fase kedua dari perang ini, di mana Israel mencoba menguasai dan mengendalikan wilayah Gaza, menambah tantangan baru. “Anda berada dalam situasi di mana mayoritas penduduk di lapangan tidak ingin bekerja sama dengan Anda. Mereka ingin menyerang dan membunuh Anda,” ucap Krieg. “Itulah jelas skenario mimpi buruk bagi pasukan militer mana pun, karena mustahil bagi militer untuk menguasai wilayah di mana penduduknya tidak ingin diperintah.”

Penulis : Edwin Shri Bimo Editor : Desy-Afrianti

Sumber : Anadolu


TERBARU