> >

Uni Eropa Siap Hadapi Perang Ukraina Tanpa Amerika Serikat, Pinjaman Rp600 Triliun Sudah Disiapkan

Kompas dunia | 27 September 2024, 21:00 WIB
Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden, Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy, Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen, PM Inggris Keir Starmer, Presiden Polandia Andrzej Duda, dan pemimpin dunia lainnya berfoto bersama dalam peluncuran Deklarasi Dukungan untuk Pemulihan Ukraina, 25 September 2024, di New York. (Sumber: AP Photo)

BRUSSELS, KOMPAS TV – Saat perang di Ukraina memasuki periode kritis, Uni Eropa (UE) memutuskan untuk mengambil tanggung jawab atas ancaman besar yang mereka anggap mengancam keamanan di wilayah mereka sendiri. 

Kali ini, Uni Eropa bersiap menanggung beban finansial, bahkan mungkin tanpa bantuan Amerika Serikat.

Para utusan Uni Eropa telah bekerja di Brussels, Belgia, pekan ini untuk mengusulkan paket pinjaman besar bagi Ukraina senilai hingga 35 miliar euro atau sekitar Rp600 triliun. 

Presiden Komisi Eropa, Ursula von der Leyen, mengumumkan rencana ini saat berkunjung ke Kiev pada Jumat lalu.

“Yang terpenting, pinjaman ini akan langsung masuk ke anggaran nasional Anda,” kata von der Leyen kepada Presiden Ukraina, Volodymyr Zelenskyy. 

“Ini akan memberi ruang fiskal yang besar dan sangat dibutuhkan. Anda akan bebas menentukan bagaimana menggunakan dana ini sesuai kebutuhan Anda.”

Zelenskyy berencana menggunakan dana tersebut untuk membeli senjata, membangun tempat perlindungan bom, dan memperbaiki jaringan energi Ukraina yang rusak, mengingat musim dingin segera tiba.

Biasanya, dalam urusan internasional, terutama yang melibatkan konflik besar, Uni Eropa  jarang bergerak tanpa Amerika Serikat. Namun kali ini, mereka berharap keputusan ini bisa mendorong pihak lain untuk ikut serta.

Baca Juga: Uni Eropa Janji Pinjamkan Ukraina hingga Rp 590 Triliun untuk Bangun Kembali Ekonomi dan Listrik

Presiden Joe Biden menyelenggarakan acara bersama Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy, Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen, kiri, dan para pemimpin dunia lainnya untuk meluncurkan Deklarasi Bersama Dukungan bagi Pemulihan dan Rekonstruksi Ukraina, Rabu, 25 September 2024, di New York. (Sumber: AP Photo)

Pasukan Rusia Maju dan Pemilu AS Semakin Dekat

Hampir 1.000 hari setelah invasi besar-besaran dimulai, pasukan Rusia terus bergerak maju di bagian timur Ukraina. 

Tentara Ukraina memang menguasai sebagian wilayah Kursk di Rusia, yang sementara ini memberi dorongan moral. Namun dengan jumlah korban yang terus meningkat, mereka tetap kekurangan pasukan dan persenjataan.

Dari sisi politik, Zelenskyy berharap bisa mendapatkan dukungan untuk “rencana kemenangan” yang mungkin memaksa Presiden Rusia Vladimir Putin mau berunding. 

Zelenskyy berusaha meyakinkan Presiden AS Joe Biden dan sekutu lainnya agar mendukung Ukraina lebih kuat dalam perundingan di masa depan.

Namun, pemilihan umum di Amerika Serikat semakin mendekat, dan survei menunjukkan kemungkinan Donald Trump kembali ke Gedung Putih pada Januari nanti. 

Trump selama ini mengkritik bantuan AS untuk Ukraina. Pada Rabu (25/9), dia bahkan mengatakan bahwa Zelenskyy seharusnya membuat konsesi kepada Putin sebelum invasi dimulai pada Februari 2022.

Sebagian besar dari 27 negara anggota Uni Eropa  khawatir bahwa kemenangan Putin akan menciptakan ketidakpastian besar di masa depan. 

Meskipun angkatan bersenjata Rusia sudah banyak terkuras dan saat ini tidak sanggup memulai perang baru, potensi perebutan wilayah di negara-negara Baltik seperti Estonia, Latvia, Lithuania, atau bahkan Polandia tetap ada.

Baca Juga: Trump: Ukraina Sekarang Hancur, Harusnya Menyerah pada Tuntutan Rusia sebelum Serangan 2022

Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy, kanan, dan Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen saling menyapa di Kyiv, Ukraina, Jumat, 20 September 2024. (Sumber: AP Photo)

Memperbarui Rencana Pinjaman G7

Pinjaman dari Uni Eropa ini adalah bagian dari rencana negara-negara G7 yang ingin memanfaatkan bunga dari sekitar $250 miliar atau sekitar Rp3.800 triliun aset Rusia yang dibekukan. 

Sebagian besar aset ini dipegang di Eropa. Bunga yang dihasilkan dari aset tersebut diperkirakan mencapai 4,5 hingga 5,5 miliar euro, atau sekitar Rp75 triliun hingga Rp91 triliun per tahun.

Keuntungan dari bunga ini menjadi dasar rencana G7. Uni Eropa akan menyumbang sekitar Rp300 triliun, Amerika Serikat Rp300 triliun, dan Kanada, Jepang, serta Inggris sekitar Rp150 triliun secara bersama-sama, dengan total mencapai Rp750 triliun. Rencana ini akan berakhir pada akhir tahun, sebelum presiden AS yang baru menjabat.

Kini, di tengah perbedaan pendapat soal berapa lama aset Rusia harus dibekukan, Uni Eropa memutuskan untuk bergerak sendiri. 

Tawaran mereka sebesar Rp600 triliun dalam bentuk pinjaman hampir mencakup seluruh bagian yang seharusnya disumbang oleh Amerika Serikat.

Amerika Serikat ingin memastikan aset-aset Rusia dibekukan setidaknya selama tiga tahun untuk menjamin pendapatan yang dihasilkan. Namun, Hungarian, anggota Uni Eropa, bersikeras bahwa pembekuan hanya dilakukan setiap 6 bulan sekali. 

Perdana Menteri Hungaria, Viktor Orbán, menganggap dirinya sebagai pembawa damai, tetapi kedekatannya dengan Putin membuat beberapa negara anggota Uni Eropa merasa tidak nyaman.

Namun, 26 negara anggota Uni Eropa lainnya merasa harus bertindak sekarang karena waktu terus berjalan.

Baca Juga: AS Akan Kirim Bantuan Senjata Senilai Rp5,7 Triliun ke Ukraina, Termasuk Bom Klaster Jarak Menengah

Bom layang berpemandu FAB-3000 Rusia. Rusia kini semakin sering menggunakan bom berpemandu dalam serangan ke Ukraina yang sudah berlangsung lebih dari dua setengah tahun di Ukraina.  (Sumber: Russian MOD)

Aliansi yang Terus Berkembang dengan Amerika Serikat

Pemilihan umum AS tinggal beberapa minggu lagi, dan negara-negara Eropa waspada terhadap ketidakpastian yang dibawa Trump. 

Mereka mulai mempersiapkan diri untuk menghadapi berbagai skenario, seperti kenaikan tarif yang pernah memukul ekonomi Eropa saat Trump berkuasa dulu. 

Namun, mereka juga melihat Partai Demokrat yang saat ini lebih fokus pada masalah dalam negeri.

Undang-Undang Pengurangan Inflasi (Inflation Reduction Act) yang dibuat Biden membuat para pemimpin Eropa marah karena kebijakan tersebut lebih menguntungkan produk-produk Amerika. 

Baik Demokrat maupun Republik, fokus kebijakan luar negeri AS saat ini lebih tertuju pada China dan perang di Timur Tengah, sementara mereka sibuk dengan kampanye pemilu.

Uni Eropa berharap jika Kamala Harris, yang saat ini menjabat Wakil Presiden AS, terpilih sebagai presiden, dia akan melanjutkan program pinjaman seperti yang telah direncanakan. Ini diharapkan dapat mengurangi beban keuangan Uni Eropa. 

Namun hal itu masih belum pasti, dan para anggota UE merasa posisi Ukraina terlalu rapuh untuk menunda tindakan.

Tahun lalu, penundaan politik di Kongres AS terkait paket bantuan senilai $60 miliar atau sekitar Rp912 triliun menyebabkan tentara Ukraina kekurangan senjata dan amunisi selama berbulan-bulan, yang berdampak langsung di medan perang, menurut Sekretaris Jenderal NATO, Jens Stoltenberg.

Baca Juga: Uni Eropa Desak Negara Pemasok Senjata Izinkan Ukraina Menyerang Jauh ke dalam Wilayah Rusia

Rudal SCALP Prancis. Ukraina meminta senjata jarak jauh seperti Storm Shadow yang dipimpin oleh Inggris, SCALP buatan Prancis, dan ATACMS buatan AS.  (Sumber: Newsweek)

Bergerak untuk Kebutuhan Mendesak

Membantu Ukraina secara militer adalah tantangan besar bagi negara-negara Eropa. Mereka tidak bisa melakukannya sendiri, dan tidak bisa menandingi superioritas AS dalam hal transportasi, logistik, dan peralatan, meski ada kemajuan dalam memperkuat industri pertahanan untuk memasok senjata dan amunisi.

Namun, Uni Eropa sebagai blok perdagangan terbesar di dunia memiliki kekuatan ekonomi yang signifikan. 

Mereka telah memberikan bantuan sekitar Rp2.200 triliun kepada Ukraina sejak invasi skala penuh dimulai. 

Dalam beberapa minggu ke depan, tampaknya mereka siap memberikan puluhan triliun rupiah lagi, meskipun bergerak sendirian bukanlah kebiasaan mereka.

“Saya tidak tahu apa yang akan dilakukan Amerika Serikat dengan presiden barunya nanti,” kata Kepala Kebijakan Luar Negeri UE, Josep Borrell, Selasa lalu. Namun, dia menegaskan, “Selama Ukraina ingin bertahan, kita harus mendukung mereka. Jika tidak, kita akan membuat kesalahan sejarah.”

Pemerintahan Biden mengumumkan pada hari Rabu bahwa AS akan mengirimkan paket bantuan militer besar-besaran kepada Ukraina, termasuk bom tandan, berbagai roket, artileri, dan kendaraan lapis baja. 

Seorang pejabat AS juga mengatakan miliaran dolar bantuan tambahan akan dikirim dalam beberapa bulan mendatang.

Sementara itu, pembahasan mengenai kontribusi UE dalam paket pinjaman G7 akan menjadi agenda utama dalam pertemuan puncak para pemimpin blok tersebut di Brussels pada 17-18 Oktober mendatang.

 

Penulis : Edwin Shri Bimo Editor : Gading-Persada

Sumber : Associated Press


TERBARU