> >

Penantian Dramatis Iwao Hakamada, Kakek yang Diputuskan Bebas Usai 58 Tahun Berstatus Dihukum Mati

Kompas dunia | 26 September 2024, 20:26 WIB
Iwao Hakamada, mantan petinju berusia 88 tahun yang telah dijatuhi hukuman mati selama hampir enam dekade setelah divonis bersalah atas tuduhan pembunuhan yang menurut pengacaranya didasarkan pada pengakuan paksa dan bukti yang direkayasa, berjalan-jalan di Hamamatsu, prefektur Shizuoka, Jepang bagian tengah pada Kamis, 26 September 2024. (Sumber: Kyodo News)

TOKYO, KOMPAS TV - Iwao Hakamada, mantan petinju Jepang yang kini berusia 88 tahun, baru saja dibebaskan dari hukuman mati dalam persidangan ulang atas tuduhan pembunuhan tahun 1966. 

Pengadilan Distrik Shizuoka memutuskan Hakamada tidak bersalah, membalikkan keputusan sebelumnya yang membuatnya menjadi narapidana terlama di dunia yang menjalani hukuman mati.

Putusan ini menjadikan Hakamada narapidana kelima yang dibebaskan dalam persidangan ulang setelah Perang Dunia II di Jepang. Kasus ini berpotensi memicu kembali perdebatan tentang hukuman mati di negara tersebut. 

Hakim ketua, Koshi Kunii, menyatakan bahwa terdapat banyak bukti yang direkayasa, dan Hakamada bukan pelakunya, demikian menurut pengacara Hakamada, seperti laporan Associated Press hari Kamis, 26 September 2024. 

Setelah putusan dibacakan selama dua jam penuh, Hideko Hakamada, kakak perempuan Iwao yang kini berusia 91 tahun, keluar dari ruang sidang dengan senyum lebar. 

Riuh sambutan hangat dan dua karangan bunga besar menyambutnya, merayakan kemenangan setelah 58 tahun perjuangan hukum. "Terima kasih semua, (kemenangan ini) berkat dukungan kalian," ucap Hideko. "Terima kasih banyak sudah mendukung kami selama ini."

Hakamada divonis bersalah atas pembunuhan seorang manajer perusahaan dan tiga anggota keluarganya, serta pembakaran rumah mereka di Jepang tengah. 

Pada 1968, ia dijatuhi hukuman mati, namun eksekusinya tertunda karena serangkaian banding dan proses persidangan ulang dalam sistem peradilan pidana Jepang yang terkenal lambat, di mana tingkat keyakinan mencapai 99%.

Selama 48 tahun, Hakamada mendekam di balik jeruji, lebih dari 45 tahun di antaranya ia habiskan di hukuman mati. Menurut Amnesty International, ini menjadikannya narapidana hukuman mati terlama di dunia.

Baca Juga: Bakar Studio Anime di Kyoto hingga 36 Orang Tewas, Pelaku Dijatuhi Hukuman Mati

Iwao Hakamada, kiri, mantan petinju berusia 88 tahun yang telah dijatuhi hukuman mati selama hampir enam dekade setelah divonis bersalah atas tuduhan pembunuhan yang menurut pengacaranya didasarkan pada pengakuan paksa dan bukti yang direkayasa, dibantu oleh seorang pendukungnya saat berjalan-jalan di Hamamatsu, prefektur Shizuoka, Jepang bagian tengah, Rabu, 25 September 2024. (Sumber: Kyodo News)

Perjalanan Banding yang Panjang

Butuh 27 tahun bagi pengadilan tertinggi Jepang untuk menolak banding pertamanya untuk persidangan ulang. Banding kedua diajukan oleh kakaknya pada tahun 2008. 

Pada 2014, Hakamada dibebaskan dari penjara setelah pengadilan memerintahkan persidangan ulang berdasarkan bukti bahwa tuduhannya didasarkan pada tuduhan palsu dari penyidik. 

Meski demikian, dia tidak langsung dinyatakan bebas dari vonis bersalah. Ia diizinkan menunggu persidangan ulang di rumah karena kondisi kesehatannya yang lemah dan usia lanjut, sehingga dianggap tidak berisiko melarikan diri. 

Akhirnya, pada 2023, pengadilan memutuskan untuk mendukungnya, membuka jalan bagi persidangan ulang yang dimulai pada Oktober.

"Saya tidak ada kaitannya dengan kasus ini... Saya tidak bersalah," tulis Hakamada dalam surat kepada ibunya selama persidangan pada tahun 1967. Dia meminta maaf karena menyusahkan keluarganya, namun yakin akan membuktikan dirinya tidak bersalah.

Setelah vonis mati, dia merasakan ketakutan akan kematian dan kemarahan atas tuduhan yang salah. "Setiap kali saya tidur di sel isolasi yang sunyi, saya kadang tidak bisa menahan diri untuk mengutuk Tuhan. Saya tidak melakukan apa-apa yang salah," tulisnya kepada keluarganya. 

"Betapa kejamnya memberikan kekejaman seperti ini padaku. Kita tidak butuh Tuhan seperti itu. Saya ingin meneriakkan ini kepada Tuhan," tulisnya dalam salah satu surat.

Baca Juga: 10 Oktober: Memperingati Hari Menentang Hukuman Mati Sedunia, Begini Sejarahnya

Hideko Hakamada, saudara perempuan mantan petinju berusia 88 tahun Iwao Hakamada yang telah dijatuhi hukuman mati selama hampir enam dekade setelah vonis pembunuhan yang menurut pengacaranya didasarkan pada pengakuan paksa dan bukti yang direkayasa, berbicara kepada wartawan menjelang persidangan ulang atas kasus pembunuhan empat orang pada tahun 1966, di Hamamatsu, prefektur Shizuoka, Kamis, 26 September 2024. (Sumber: Kyodo News)

Dampak Penahanan Terhadap Kesehatan Mental

Setelah hampir  setengah abad dipenjara, para pendukung Hakamada mengatakan penahanan panjang tersebut berdampak buruk pada kesehatan mentalnya. 

Selama dua bulan pertama setelah dibebaskan, Hakamada terus berjalan mondar-mandir di dalam apartemennya, tanpa mencoba keluar rumah, ujar kakaknya. Sebagian besar dari 48 tahun penahanannya ia habiskan dalam isolasi, di bawah bayang-bayang eksekusi.

Suatu hari, kakak perempuannya meminta bantuannya membeli bahan makanan untuk mendorongnya agar mau meninggalkan rumah. 

Sejak saat itu, berjalan-jalan menjadi rutinitas hariannya, meskipun saat ini ia kurang mampu dan harus dibantu menggunakan mobil oleh para pendukungnya.

Baca Juga: Singapura akan Melanjutkan Eksekusi Hukuman Mati Setelah Jeda 6 Bulan, Kini ke Penyelundup Ganja

Bukti yang Direkayasa

Dalam sidang terakhir di Pengadilan Shizuoka pada Mei sebelum keputusan Kamis, jaksa kembali menuntut hukuman mati, memicu kritik dari kelompok hak asasi manusia yang menyebut jaksa mencoba memperpanjang persidangan. 

Bukti pakaian bernoda darah yang diperdebatkan, ditemukan di dalam tangki miso setahun setelah penangkapan Hakamada, menjadi titik kunci dalam persidangan. 

Pengadilan Tinggi Tokyo pada 2023 mengakui eksperimen ilmiah yang menunjukkan pakaian yang direndam dalam miso selama lebih dari setahun berubah terlalu gelap untuk menunjukkan noda darah, menandakan kemungkinan rekayasa oleh penyidik.

Pengacara Hakamada dan keputusan persidangan sebelumnya menyatakan bahwa sampel darah tersebut tidak cocok dengan DNA Hakamada, dan celana yang dijadikan bukti oleh jaksa terlalu kecil untuk Hakamada, serta tidak muat ketika ia mencobanya.

Pada Kamis, hakim di pengadilan Shizuoka menyimpulkan bahwa pakaian yang direndam dalam miso lebih dari setahun tidak akan menunjukkan noda darah merah, mendukung eksperimen yang diserahkan oleh pengacara pembela dan menyebut penyelidikan tersebut sebagai "tidak manusiawi" karena menghasilkan pengakuan paksa.

Ogawa, pengacara Hakamada, memuji putusan tersebut sebagai "terobosan" karena secara jelas menyatakan bahwa jaksa merekayasa bukti kunci sejak awal. "Saya percaya keputusan ini menutup kasus ini... Sekarang kita harus mencegah jaksa mengajukan banding bagaimanapun caranya," katanya.

Baca Juga: Hukuman Matinya Gagal Dilaksanakan, Napi Ini Takut dengan Metode Eksekusi Baru yang Dinilai Kejam

Penutupan Kasus?

Ogawa berencana mendatangi jaksa distrik untuk meminta mereka tidak mengajukan banding, meskipun secara teknis hal tersebut masih mungkin dilakukan meski mereka tidak punya bukti lagi untuk mendukung kasus tersebut.

Jepang dan Amerika Serikat adalah dua negara di antara negara maju anggota G7 yang masih menerapkan hukuman mati. Survei oleh pemerintah Jepang menunjukkan mayoritas publik mendukung eksekusi mati.

Eksekusi mati di Jepang dilakukan secara rahasia, dan para narapidana baru diberitahu nasib mereka pada pagi hari ketika mereka digantung. Pada 2007, Jepang mulai mengungkapkan nama-nama orang yang dieksekusi dan beberapa detail kejahatan mereka, tetapi pengungkapan ini masih terbatas.

Hideko Hakamada telah menghabiskan sekitar separuh hidupnya untuk membuktikan bahwa adiknya tidak bersalah. 

Sebelum putusan Kamis, ia berkata bahwa pertempuran ini terasa tak ada habisnya. "Sangat sulit memulai persidangan ulang," katanya kepada wartawan di Tokyo. "Tidak hanya Iwao, saya yakin ada orang lain yang juga dituduh salah dan menangis... Saya ingin hukum pidana direvisi agar persidangan ulang lebih mudah dilakukan."

 

Penulis : Edwin Shri Bimo Editor : Iman-Firdaus

Sumber : Associated Press


TERBARU