> >

Sudan Tuduh UEA Pasok Senjata ke RSF, Begini Respons Abu Dhabi

Kompas dunia | 12 September 2024, 11:20 WIB
Tentara Sudan dari unit Rapid Support Forces (RSF) yang dipimpin Jenderal Mohammed Hamdan Dagalo, deputi kepala dewan militer, berada di Provinsi Nil Timur, Sudan, 22 Juni 2019. (Sumber: AP Photo/Hussein Malla)

 

NEW YORK, KOMPAS.TV – Pemerintah Sudan, Rabu (11/11/2024), menuduh Uni Emirat Arab (UEA) memasok senjata kepada pasukan paramiliter, Rapid Support Forces (RSF), sehingga menyebabkan perang yang sudah berlangsung 17 bulan semakin berkepanjangan. 

Dilansir Associated Press, konflik antara Sudan dan UEA ini muncul dalam pertemuan Dewan Keamanan PBB, di mana 15 anggotanya dengan suara bulat sepakat untuk memperpanjang embargo senjata di wilayah Darfur di bagian barat Sudan, yang menjadi medan pertempuran utama, hingga 12 September 2025.

Kepala Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengatakan lebih dari 20.000 orang telah tewas akibat konflik di Sudan.

Duta Besar Sudan Al-Harith Mohamed secara langsung menuduh UEA memasok senjata berat, rudal, dan amunisi kepada RSF. 

Ia juga menuduh UEA mengambil keuntungan dari perang di Sudan dengan mengeksploitasi emas negaranya secara ilegal.

Al-Harith menyampaikan bukti berupa pengiriman senjata terbaru yang melewati Chad yang ditujukan bagi RSF. 

Ia mengatakan perbatasan Adre di Chad, yang baru saja dibuka kembali untuk bantuan kemanusiaan, disalahgunakan untuk mengirim senjata kepada pasukan paramiliter tersebut.

Baca Juga: Serangan Brutal RSF di Sudan, 85 Warga Tewas Termasuk Wanita dan Anak-Anak

Peta Sudan. (Sumber: AP Photo)

Al-Harith juga mengatakan pasar emas Eropa telah mengonfirmasi bahwa UEA mengambil keuntungan dari emas Sudan.

Duta Besar Sudan itu meminta agar kebijakan ekspor senjata ke UEA ditinjau ulang dan mendesak pemberlakuan sanksi khusus terhadap RSF serta negara-negara yang mendukung pasukan paramiliter tersebut.

Menanggapi tuduhan ini, UEA menyebut klaim tersebut "sepenuhnya salah" dan "tidak berdasar". UEA balik menuduh Sudan menolak melakukan negosiasi damai dengan RSF.

Duta Besar UEA Mohamed Abushahab dengan cepat menyatakan tuduhan Sudan adalah "upaya sinis untuk mengalihkan perhatian dari kegagalan Angkatan Bersenjata Sudan (SAF)." 

Ia juga menuduh militer Sudan tidak menunjukkan "keberanian politik," menggunakan kelaparan sebagai senjata perang, dan menolak ajakan untuk mengakhiri perang serta melakukan negosiasi.

"Untuk mengakhiri konflik ini, SAF harus mengambil langkah penting dengan berpartisipasi dalam pembicaraan damai dan menunjukkan keberanian politik untuk bernegosiasi dengan musuh mereka," kata Abushahab.

Militer Sudan menolak menghadiri negosiasi di Jenewa, Swiss, bulan lalu, yang bertujuan untuk mendorong bantuan kemanusiaan dan memulai pembicaraan damai, meskipun ada seruan internasional agar mereka terlibat. Sebaliknya, RSF mengirim delegasi ke Jenewa.

Pada Juli lalu, para ahli global mengungkapkan kelaparan di kamp pengungsi besar di Darfur telah berkembang menjadi bencana kelaparan.

Baca Juga: Wabah Kolera Menyapu Sudan di Tengah Perang Saudara, 22 Meninggal dan Ratusan Terinfeksi

Jenderal Abdel Fattah Burhan (kiri), komandan resmi Angkatan Bersenjata Sudan, dan Jenderal Mohammed Hamdan Dagalo, pemimpin Pasukan Pendukung Cepat atau Rapid Support Forces (RSF) yang tumbuh dari milisi kejam Janjaweed. (Sumber: Mwanzo TV)

Para ahli dari Komite Peninjau Kelaparan memperingatkan, sekitar 25,6 juta orang—lebih dari separuh populasi Sudan—akan menghadapi kelaparan akut.

Wakil Duta Besar Amerika Serikat Robert Wood mengatakan kepada Dewan Keamanan PBB bahwa masyarakat di Darfur "hidup dalam bahaya, keputusasaan, dan penderitaan" setiap hari, serta menghadapi banjir hebat, pembatasan bantuan kemanusiaan, pelanggaran hak asasi manusia, dan pengungsian massal.

Adopsi resolusi untuk memperpanjang embargo senjata di Darfur "mengirimkan sinyal penting bahwa komunitas internasional tetap fokus pada penderitaan mereka dan berkomitmen untuk memajukan perdamaian serta keamanan di Sudan dan kawasan sekitarnya," ujar Wood.

Beberapa negara berupaya memperluas embargo senjata untuk mencakup seluruh wilayah Sudan, tetapi upaya ini gagal.

Jean-Baptiste Gallopin dari organisasi HAM, Human Rights Watch, menyebut kegagalan Dewan Keamanan memperluas sanksi sebagai "kesempatan yang terlewatkan" dan mendesak agar masalah ini segera diperbaiki untuk membatasi aliran senjata dan mengurangi kekejaman yang meluas di Sudan.

Pertemuan Dewan Keamanan ini menyusul laporan pertama dari penyelidik hak asasi manusia yang didukung PBB, yang dirilis pada Jumat (6/9/2024). 

Laporan tersebut juga menyerukan perluasan embargo senjata ke seluruh Sudan serta pembentukan "kekuatan independen dan tidak memihak" untuk melindungi warga sipil dalam perang di Sudan.

Tim pencari fakta yang dibentuk oleh Dewan Hak Asasi Manusia di Jenewa menyalahkan kedua belah pihak atas kejahatan perang, termasuk pembunuhan, mutilasi, dan penyiksaan.

Baca Juga: Hampir 100 Orang Tewas usai RSF Serang Desa di Sudan, Warga Minta Dipersenjatai

Asap membubung di langit Khartoum, Sudan, di dekat Rumah Sakit Internasional Doha pada Jumat, 21 April 2023. (Sumber: Maheen S via AP)

Mereka memperingatkan, pemerintah asing yang mempersenjatai dan mendanai pihak-pihak yang bertikai dapat terlibat dalam kejahatan tersebut. 

Tim ini juga menuduh RSF dan sekutunya melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan, termasuk pemerkosaan, perbudakan seksual, serta penganiayaan berdasarkan etnis atau gender.

Dua dekade lalu, Darfur menjadi terkenal sebagai wilayah genosida dan kejahatan perang, terutama oleh milisi Janjaweed, terhadap populasi yang mengidentifikasi diri sebagai Afrika Tengah atau Timur. Sekitar 300.000 orang tewas dan 2,7 juta lainnya terpaksa mengungsi.

Jaksa Mahkamah Pidana Internasional (ICC), Karim Khan, pada Januari lalu menyatakan ada alasan untuk percaya bahwa kedua belah pihak melakukan kejahatan perang, kejahatan terhadap kemanusiaan, atau bahkan genosida di Darfur.

"Kami mendesak negara-negara untuk tidak meningkatkan kemampuan tempur salah satu pihak," kata Wakil Duta Besar Inggris James Kariuki di depan Dewan Keamanan PBB.

"Sebaliknya, mereka yang memiliki pengaruh dengan pihak-pihak yang bertikai harus menggunakannya untuk membawa mereka ke meja perundingan."

Sudan terjebak dalam konflik sejak April 2023, ketika ketegangan lama antara pemimpin militer dan paramiliter meletus di ibu kota Khartoum, menyebar ke Darfur dan wilayah lainnya. 

Lebih dari 13 juta orang terpaksa mengungsi, dan negara tersebut kini berada dalam krisis kemanusiaan. 

 

Penulis : Edwin Shri Bimo Editor : Edy-A.-Putra

Sumber : Associated Press


TERBARU