> >

Nakba Palestina, Bencana Besar yang Tak Kunjung Usai

Kompas dunia | 11 September 2024, 22:30 WIB
Warga Palestina mengungsi dari rumah mereka di tengah pertempuran antara pasukan Israel dan Arab pada 4 November 1948, setelah berdirinya Israel di atas tanah Palestina. Peristiwa pembersihan etnis atau pengusiran ratusan ribu warga Palestina tersebut disebut dengan nama Nakba yang bermakna bencana. (Sumber: AP Photo/Jim Pringle)

JAKARTA, KOMPAS.TV – Dalam sebuah pertemuan Dewan Keamanan PBB pada Rabu (5/9/2024) lalu, Riyad Mansour, Duta Besar Palestina untuk PBB, mengeluarkan tuduhan serius terhadap Israel. Ia menuduh negara tersebut berusaha memaksakan penyelesaian konflik Gaza melalui jalan militer.

"Israel tengah melancarkan serangan besar-besaran terhadap rakyat Palestina dengan tujuan melenyapkan sebuah bangsa," ujar Mansour dalam pidatonya.

Mansour juga menyebut Israel menggunakan taktik “genosida” dan “apartheid” untuk mencapai ambisi kolonialnya. Tuduhan tersebut sejalan dengan laporan Antara pada Rabu (11/9/2024).

Ia menekankan rakyat Palestina mengalami penderitaan seperti "penghinaan, pemindahan paksa, kehancuran, kerusakan, dan kematian" yang terjadi dalam skala yang belum pernah terlihat sejak peristiwa Nakba.

Baca Juga: Apa Itu Nakba? Pembersihan Etnis di Palestina yang Tidak Bermula atau Berakhir pada 1948

David Ben Gurion, tengah, seorang Yahudi Polandia, membacakan apa yang disebut Israel sebagai deklarasi kemerdekaan pada 14 Mei 1948. Sebuah foto Theodor Herzl tergantung di belakangnya. (Sumber: Al Jazeera)

Pada bulan Mei 1948, berdirinya negara Israel menyebabkan lebih dari 750.000 warga Palestina terusir dari tanah mereka dalam tragedi yang dikenal sebagai Nakba, atau "Bencana Besar."

Menurut Mansour, "Alih-alih mengakhiri Nakba, para pemimpin ekstremis fasis Israel sekarang berusaha membawanya ke puncak akhir: Palestina tanpa warga Palestina."

Serangan militer Israel di Tepi Barat dan Yerusalem Timur sejak Oktober tahun lalu telah mengakibatkan lebih dari 700 warga Palestina terbunuh, termasuk lebih dari 150 anak-anak. Selain itu, 6.000 warga Palestina lainnya mengalami luka-luka.

Sementara itu, di Jalur Gaza, lebih dari 41.000 warga Palestina, sebagian besar perempuan dan anak-anak telah tewas, dan hampir 94.400 lainnya terluka sejak serangan Israel dimulai pada 7 Oktober tahun lalu.

Save the Children, sebuah lembaga bantuan asal Inggris, mengungkapkan bahwa serangan tersebut juga menyebabkan lebih dari 15.000 anak-anak tewas di Gaza, dan 21.000 anak lainnya dinyatakan hilang. Banyak dari anak-anak yang hilang tersebut diyakini terkubur di bawah reruntuhan, tertahan di penjara Israel, atau terluka parah akibat bahan peledak.

Blokade Israel yang masih berlanjut hingga saat ini juga menyebabkan kelangkaan makanan, air bersih, serta obat-obatan, memperparah kondisi kehidupan warga Palestina di Gaza.

Baca Juga: 76 Tahun Peringatan Nakba: Mengenang Yasser Arafat, Mengetuk Hati Dunia

Warga Palestina meninggalkan sebuah desa di Galilee pada 1948 saat Nakba, lima bulan setelah berdirinya Israel. (Sumber: Al Jazeera)

Sejarah Panjang Nakba Palestina

Peristiwa Nakba yang terjadi pada tahun 1948 menjadi tonggak awal dari konflik panjang antara Palestina dan Israel. Kata Nakba, yang dalam bahasa Arab berarti "bencana," mengacu pada pengusiran massal warga Palestina yang terjadi bersamaan dengan deklarasi berdirinya negara Israel.

Sejak awal abad ke-20, ketegangan antara komunitas Yahudi dan Arab Palestina terus meningkat, terutama setelah Inggris mengeluarkan Deklarasi Balfour pada tahun 1917, yang menjanjikan dukungan bagi terbentuknya "tanah air nasional bagi orang Yahudi" di wilayah Palestina.

Arus imigrasi Yahudi yang meningkat memperburuk hubungan kedua komunitas ini. Gerakan Zionis yang semakin kuat pada akhirnya memicu terjadinya pemberontakan besar di Palestina antara 1936 hingga 1939.

Selama periode tersebut, ribuan warga Palestina tewas atau terluka akibat tindakan represif pasukan Inggris. Meski Inggris sempat mengeluarkan White Paper 1939 untuk membatasi imigrasi Yahudi, komunitas Yahudi tetap melanjutkan perjuangan mereka untuk mendirikan negara sendiri.

Pasca-Perang Dunia II, situasi semakin memanas dengan meningkatnya arus imigrasi Yahudi ke Palestina, terutama setelah tragedi Holocaust. Kelompok Zionis memperkuat jaringan paramiliter mereka seperti Haganah dan Irgun, sebagai persiapan pembentukan negara Yahudi.

Pada tahun 1947, Inggris menyerahkan masalah ini kepada PBB, yang kemudian mengeluarkan Resolusi 181, membagi wilayah Palestina menjadi dua negara. Komunitas Yahudi menerima resolusi tersebut, tetapi warga Arab Palestina dan negara-negara Arab menolaknya. Hal ini memicu Perang Arab-Israel 1948, yang menyebabkan ratusan ribu warga Palestina terusir dari tanah mereka dalam peristiwa yang dikenal sebagai Nakba.

Hingga saat ini, jutaan pengungsi Palestina masih tersebar di wilayah Tepi Barat, Jalur Gaza, serta negara-negara tetangga. Hak para pengungsi untuk kembali ke tanah asal mereka tetap menjadi isu penting yang belum terselesaikan dalam konflik ini.

Baca Juga: Palestina Peringati 76 Tahun Nakba di Tengah Pembantaian di Gaza

Warga Palestina melihat kerusakan yang diakibatkan serangan bom Israel ke kamp pengungsi Al Mawasi di Jalur Gaza pada Selasa (10/9/2024). Serangan udara Israel pada Selasa dini hari itu menewaskan sedikitnya 40 orang dan melukai 60 lainnya. (Sumber: AP Photo/Abdel Kareem Hana)

Strategi Demografi Israel

Nakba tidak hanya merupakan tragedi masa lalu. Israel secara sistematis menerapkan strategi demografi untuk mengubah lanskap wilayah Palestina, terutama di Yerusalem Timur dan Tepi Barat. Metode yang mereka gunakan mencakup pembongkaran rumah, perampasan tanah, dan pembangunan permukiman ilegal.

Selama Perang Enam Hari 1967, Israel berhasil menguasai wilayah Tepi Barat, Jalur Gaza, dan Yerusalem Timur, memperluas kontrol mereka atas wilayah-wilayah strategis tersebut. Pendudukan ini mendapat kecaman dari berbagai pihak internasional, termasuk PBB, karena dianggap melanggar hukum internasional, terutama Konvensi Jenewa Keempat.

Undang-Undang Properti Absen 1950 digunakan oleh Israel untuk merampas properti warga Palestina yang meninggalkan tanah mereka pada 1948. Hingga saat ini, sekitar 70 persen properti warga Palestina telah diambil alih melalui undang-undang tersebut.

Baca Juga: Buka Sidang Genosida Gaza, Afrika Selatan: Kejahatan Israel di Palestina Dimulai sejak 1948

Pengungsi Palestina di Gaza yang dipaksa oleh Israel untuk menggunakan alat tradisional untuk mengungsi. Israel berulang kali menuduh Hamas mengalihkan bantuan, termasuk bahan bakar, setelah masuk ke Gaza, klaim yang dibantah oleh lembaga bantuan PBB. (Sumber: AP Photo)

Pengusiran Diam-Diam di Yerusalem Timur

Selain kekerasan di Gaza, Yerusalem Timur juga mengalami perubahan signifikan melalui pengusiran warga Palestina secara diam-diam. Kawasan ini dihuni oleh lebih dari 350.000 warga Palestina dan sekitar 230.000 pemukim Israel.

Pengusiran ini dilakukan secara sistematis melalui jaringan hukum yang mendukung kolonisasi Israel. Menurut Tamara Tamimi, peneliti di lembaga Al-Shabaka, pengusiran paksa warga Palestina semakin meningkat sejak Oktober 2023.

Kebijakan ini juga melibatkan pembongkaran rumah dan perluasan permukiman ilegal. Osama Risheq, pengamat hukum di Universitas Al-Quds, mencatat bahwa tingkat pembongkaran di Tepi Barat dan Yerusalem Timur saat ini mencapai titik tertinggi dalam 10 tahun terakhir.

Kantor HAM PBB melaporkan bahwa sejak 7 Oktober 2023 hingga Agustus 2024, otoritas Israel telah membongkar lebih dari 1.400 bangunan Palestina di Tepi Barat, menggusur lebih dari 3.300 warga, termasuk sekitar 1.430 anak-anak.

Strategi demografi Israel di wilayah pendudukan terus mengubah kenyataan di lapangan, menegaskan bahwa Nakba masih berlangsung hingga hari ini. Pengusiran dan perampasan tanah semakin memperparah penderitaan warga Palestina, sementara tekanan internasional untuk menyelesaikan konflik ini kian mendesak.

Nakba bukanlah sekadar peristiwa sejarah. Dampaknya masih terasa dalam kehidupan sehari-hari warga Palestina, yang terus berjuang mempertahankan eksistensi mereka di tengah pendudukan.

 

 

Penulis : Edwin Shri Bimo Editor : Vyara-Lestari

Sumber : Antara


TERBARU