> >

Presiden Prancis Bantah Penangkapan CEO Telegram Pavel Durov Bermotif Politik

Kompas dunia | 27 Agustus 2024, 07:27 WIB
CEO Telegram, Pavel Durov, tersenyum setelah pertemuannya dengan Menkominfo RI Rudiantara di Jakarta, Indonesia pada 1 Agustus 2017. Presiden Prancis Emmanuel Macron, Senin (26/8/2024), mengeklaim penangkapan Durov di Prancis tidak bermotif politik, melainkan bagian dari penyelidikan independen yang sedang berlangsung. (Sumber: AP Photo)

PARIS, KOMPAS.TV - Presiden Prancis Emmanuel Macron, Senin (26/8/2024), mengeklaim penangkapan CEO Telegram, Pavel Durov, di Prancis tidak bermotif politik, melainkan bagian dari penyelidikan independen yang sedang berlangsung.

Durov yang ditahan di bandara Paris pada Sabtu (24/8/2024), dituding Prancis terlibat dalam kasus pencucian uang, perdagangan narkoba, dan pelanggaran lainnya melalui platform Telegram. 

Durov, yang memegang kewarganegaraan Rusia, Prancis, Uni Emirat Arab, dan St. Kitts dan Nevis, ditangkap berdasarkan surat perintah internasional.

Macron mengatakan dalam pernyataan di platform media sosial X bahwa Prancis "sangat berkomitmen" terhadap kebebasan berbicara dan kebebasan informasi. 

Namun, ia juga menekankan "kebebasan tersebut harus dijalankan dalam kerangka hukum, baik di media sosial maupun di dunia nyata, untuk melindungi warga dan menghormati hak-hak fundamental mereka."

Macron membantah tuduhan bahwa penangkapan Durov bermotif politik.

"Penangkapan ini bukanlah keputusan politik. Masalah ini sepenuhnya berada di tangan para hakim."

Reaksi keras datang dari pemerintah Rusia, yang menuduh penangkapan Durov sebagai langkah politis dan bukti standar ganda Barat terkait kebebasan berbicara.

Baca Juga: Telegram Akhirnya Buka Suara Usai CEO Pavel Durov Ditangkap, Lakukan Pembelaan Diri

Namun, reaksi ini memicu tanda tanya, terutama mengingat pada 2018, Rusia sendiri pernah mencoba memblokir Telegram, meskipun akhirnya mencabut larangan tersebut pada 2020.

Durov dan saudaranya mendirikan Telegram, yang kini memiliki hampir satu miliar pengguna di seluruh dunia, setelah dia menghadapi tekanan dari pemerintah Rusia.

Pada 2013, Durov menjual sahamnya di VKontakte, situs jejaring sosial yang didirikannya pada 2006, setelah menghadapi tekanan pemerintah Rusia pasca-protes pro-demokrasi besar-besaran di Moskow pada 2011 dan 2012.

Durov mengungkapkan pihak berwenang Rusia meminta VKontakte untuk menutup komunitas online aktivis oposisi dan menyerahkan data pribadi pengguna yang terlibat dalam pemberontakan Ukraina pada 2013, yang akhirnya menggulingkan presiden pro-Kremlin. Durov menolak tuntutan tersebut dan memilih meninggalkan Rusia.

Telegram kemudian menjadi alat komunikasi penting di Rusia dan Ukraina, di mana aplikasi ini digunakan oleh media dan pejabat untuk menyampaikan informasi, termasuk peringatan serangan rudal dan udara.

Dalam pernyataan resmi via Telegram setelah penangkapan Durov, perusahaan tersebut menegaskan mereka mematuhi hukum Uni Eropa dan menerapkan moderasi yang "sesuai dengan standar industri dan terus ditingkatkan." 

Telegram juga menambahkan, menuduh platform atau pemiliknya bertanggung jawab atas penyalahgunaan adalah hal yang "absurd."

Baca Juga: CEO Telegram Pavel Durov Ditangkap Saat Baru Mendarat di Bandara Prancis, Hal Ini Diyakini Alasannya

Aplikasi Telegram. (Sumber: Kompas.com)

Seorang hakim investigasi Prancis memperpanjang masa penahanan Durov hingga empat hari untuk keperluan interogasi lebih lanjut.

Menurut hukum Prancis, setelah periode ini, hakim harus memutuskan apakah Durov akan didakwa atau dibebaskan.

Kedutaan Besar Rusia di Paris mengeluh akses konsuler terhadap Durov ditolak karena otoritas Prancis menganggap kewarganegaraan Prancis sebagai kewarganegaraan utamanya. 

Sementara juru bicara Kremlin, Dmitry Peskov, mengatakan "Kami masih belum tahu apa yang sebenarnya dituduhkan kepada Durov. Mari kita tunggu sampai tuduhan itu diumumkan, jika memang ada."

Elon Musk, pemilik platform X yang dikenal sebagai pendukung absolut kebebasan berbicara, menyuarakan dukungan untuk Durov dengan tagar "#freePavel" setelah penangkapan tersebut.

Telegram sering mendapat kritik dari pemerintah negara-negara Barat karena dituding tidak menerapkan moderasi konten yang mencukupi, yang menurut para ahli membuka peluang penyalahgunaan, termasuk pencucian uang, perdagangan narkoba, dan penyebaran materi eksploitasi seksual anak. 

Pada 2022, Jerman mendenda operator Telegram sebesar 5 juta dolar AS (sekitar Rp77,4 miliar, kurs Rp15.485 per dolar) karena gagal mematuhi aturan pelaporan konten ilegal dan tidak menunjuk perwakilan resmi di Jerman. 

Brasil juga sempat menangguhkan Telegram karena gagal menyerahkan data terkait aktivitas neo-Nazi dalam penyelidikan penembakan di sekolah.

 

Penulis : Edwin Shri Bimo Editor : Edy-A.-Putra

Sumber : Associated Press


TERBARU