> >

Biden Setujui Strategi Rahasia untuk Hadapi Ancaman Nuklir dari China, Korea Utara, dan Rusia

Kompas dunia | 21 Agustus 2024, 15:41 WIB
Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden berpidato di Gedung Putih, Rabu (24/7/2024). (Sumber: AP News)

WASHINGTON, KOMPAS.TV — Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden telah menyetujui strategi rahasia baru untuk menghadapi ancaman nuklir yang terus berkembang dari China, Korea Utara, dan Rusia. 

Menurut laporan The New York Times pada Selasa (20/8/2024), strategi baru yang dinamakan "Nuclear Employment Guidance" ini disetujui oleh Biden pada Maret 2024. 

Keputusan tersebut diambil di tengah ancaman misil dan nuklir yang terus berkembang dari Korea Utara, perluasan pesat arsenal nuklir China, serta sinyal ancaman nuklir yang ditunjukkan oleh Rusia.

Dokumen ini sangat rahasia, dengan hanya sejumlah kecil salinan fisik yang didistribusikan kepada beberapa pejabat keamanan dan komandan Pentagon. 

Dokumen ini juga diperbarui setiap empat tahun sekali untuk menyesuaikan dengan dinamika ancaman global yang terus berubah.

Dalam sebuah forum yang diadakan oleh Arms Control Association pada Juni lalu, Pranay Vaddi, Direktur Senior untuk Pengendalian Senjata, Perlucutan Senjata, dan Non-proliferasi di Dewan Keamanan Nasional, mengungkapkan bahwa panduan baru ini menekankan pentingnya mempertimbangkan pertumbuhan dan keragaman arsenal nuklir China. 

Selain itu, panduan ini juga menekankan perlunya mencegah ancaman dari Rusia, China, dan Korea Utara secara simultan.

"(Panduan) tersebut menekankan perlunya memperhitungkan pertumbuhan dan keragaman persenjataan nuklir China dan perlunya menghalangi Rusia, China, dan Korea Utara secara bersamaan," ujar Vaddi.

Lebih lanjut, Vaddi memperingatkan bahwa AS perlu menyesuaikan postur dan kapabilitasnya untuk memastikan kemampuan dalam mencegah ancaman yang semakin meningkat dari Korea Utara, China, dan Rusia, terutama jika ketiga negara tersebut tidak mengubah kebijakan nuklir mereka.

Baca Juga: AS Tuntut Denuklirisasi di Semenanjung Korea, Minta Korut Kembali ke Meja Diplomasi

Senada dengan Vaddi, Vipin Narang, mantan Penjabat Asisten Sekretaris Pertahanan untuk Kebijakan Luar Angkasa, juga menekankan perlunya AS untuk menyesuaikan ukuran dan postur kekuatan yang dikerahkan jika ancaman nuklir dari ketiga negara tersebut terus berkembang.

"Belum ada kebutuhan untuk menambah stok senjata nuklir, tetapi penyesuaian terhadap jumlah kapabilitas yang dikerahkan mungkin diperlukan jika musuh-musuh kita melanjutkan jalur yang sekarang," kata Narang.

Narang juga mengingatkan agar AS tidak meremehkan ancaman dari Korea Utara. 

"Kita tidak bisa mengabaikan Korea Utara, yang juga terus memperluas, mendiversifikasi, dan meningkatkan kemampuan rudal balistik nuklir dan non-nuklirnya," katanya.

"Meskipun bukan pesaing kekuatan besar seperti RRC dan Rusia, peningkatan dan diversifikasi kemampuan rudal nuklir dan balistik Korea Utara yang berkelanjutan menghadirkan dilema pencegahan bagi AS dan sekutu regional," ujar Narang.

Ancaman nuklir dari ketiga negara ini semakin mendapat perhatian setelah Rusia memperdalam kerja sama strategisnya dengan Korea Utara dan China, terutama di tengah isolasi diplomatik yang dihadapi Moskow akibat perang di Ukraina.

Sebagai tanda dari meningkatnya kerja sama tersebut, Rusia dan Korea Utara menandatangani perjanjian "kemitraan strategis komprehensif" pada Juni lalu.

 Sementara itu, hubungan "tanpa batas" antara Rusia dan China juga semakin menguat, meskipun AS mengecam dukungan Beijing terhadap industri pertahanan Rusia.

Namun, hingga kini, upaya Washington untuk memulai pembicaraan pengendalian senjata atau dialog lainnya guna meredakan ketegangan dan meningkatkan keamanan global masih belum menunjukkan kemajuan berarti. 

Baca Juga: Makin Panas, AS Kirim Kapal Selam Nuklir dan Kapal Induk Tambahan ke Timur Tengah untuk Bela Israel

 

 

Penulis : Rizky L Pratama Editor : Vyara-Lestari

Sumber : New York Times/Yonhap


TERBARU