> >

Cerita Rakyat Palestina yang Kesulitan Lakukan Pemakaman di Tengah Perang Gaza

Kompas dunia | 15 Agustus 2024, 22:19 WIB
Para pelayat Palestina membawa orang yang mereka cintai untuk dimakamkan di pemakaman di Deir al-Balah, Jalur Gaza, Jumat, 9 Agustus 2024. (Sumber: AP Photo/Abdel Kareem Hana)

GAZA, KOMPAS.TV - Pertempuran yang berkepanjangan antara Israel dan Hamas telah menyebabkan angka kematian di Gaza meningkat drastis, mencapai lebih dari 40.000 jiwa. 

Di tengah krisis kemanusiaan yang memburuk, para relawan penggali kubur di Gaza bekerja tanpa henti.

Mereka menyediakan tempat peristirahatan terakhir bagi korban-korban yang terus berjatuhan.

Di sebuah kuburan tua yang kini telah berusia 70 tahun di Deir al-Balah, Sa'di Baraka dan tim relawannya berjuang keras menggali tanah yang sudah penuh sesak. 

"Terkadang kami harus membuat kuburan di atas kuburan," ujar Baraka sambil terus mengayunkan cangkulnya dikutip dari Associated Press.

Kondisi ini membuat pemakaman di Gaza menjadi semakin rumit, dengan jenazah yang datang dari berbagai daerah, termasuk yang kuburannya telah hancur atau tidak dapat diakses lagi.

Kuburan tersebut kini penuh sesak dengan jenazah baru.

Sekitar seperempat dari kuburan yang ada adalah hasil dari konflik terbaru yang telah berlangsung selama 10 bulan ini. 

Dengan semakin terbatasnya lahan, banyak keluarga terpaksa memakamkan jenazah di tempat-tempat darurat, seperti halaman rumah, tempat parkir, bahkan di bawah tangga. 

Beberapa jenazah bahkan masih terkubur di bawah puing-puing bangunan, belum terhitung dalam jumlah korban tewas.

Menurut catatan Kementerian Kesehatan di wilayah yang dikuasai Hamas, jumlah korban tewas terus meningkat.

Namun, angka tersebut tidak membedakan antara warga sipil dan pejuang Hamas. 

Data ini hanya menambah kesuraman di Gaza yang kini dipenuhi dengan mayat yang menumpuk di kamar mayat dan kuburan yang sudah sesak.

Baca Juga: PBB: Israel Blokir Sepertiga Misi Bantuan ke Gaza Bulan Ini

Rakyat Palestina di Gaza kini hidup dalam bayang-bayang kematian yang seakan tiada henti.

Seorang penulis Palestina, Yousri Alghoul, menggambarkan situasi ini dengan mengatakan, "Gaza seolah ditakdirkan menjadi satu kuburan besar, dengan jalan-jalan, taman-taman, dan rumah-rumahnya menjadi tempat peristirahatan bagi yang hidup, yang hanya menunggu giliran mereka.

Sejak 7 Oktober lalu, ketika militan yang dipimpin Hamas menyerbu perbatasan Israel dan menewaskan sekitar 1.200 orang serta menyandera sekitar 250 lainnya, Israel merespons dengan serangan besar-besaran ke Gaza. 

Israel menyatakan bahwa serangannya hanya ditujukan pada militan, meskipun dampak yang dirasakan oleh warga sipil sangat besar.

Serangan Israel telah menghancurkan lebih dari 20 kuburan di Gaza, sebagaimana terlihat dari citra satelit yang dianalisis oleh investigasi independen. 

Banyak jenazah yang akhirnya dipindahkan atau dikuburkan kembali dengan terburu-buru untuk menghindari kehancuran lebih lanjut. 

Hal itu menambah penderitaan bagi keluarga korban yang sudah kehilangan banyak anggota keluarga akibat serangan udara dan pengeboman.

Haneen Salem, seorang fotografer dan penulis dari Gaza Utara, telah kehilangan lebih dari 270 anggota keluarga besarnya. 

"Saya tidak tahu bagaimana menjelaskan perasaan melihat tubuh orang-orang yang saya cintai tergeletak di tanah, terpisah-pisah, sepotong daging di sini, tulang di sana," katanya. 

Dalam situasi yang serba sulit ini, banyak keluarga Gaza hanya bisa berharap mereka masih hidup untuk menggali kuburan baru setelah perang berakhir, sebagai bentuk penghormatan terakhir.

Baca Juga: Hamas Mulai Kehilangan Kepercayaan pada AS sebagai Mediator Pembicaraan Gencatan Senjata Gaza

Di masa damai, pemakaman di Gaza adalah peristiwa besar yang melibatkan seluruh keluarga.

Jenazah dimandikan dan dibungkus kain kafan sesuai tradisi Islam, sebelum dibawa ke masjid untuk didoakan dan dimakamkan dengan layak.

Namun, dalam kondisi sekarang, ritual tersebut nyaris tidak ada lagi.

Bahkan, banyak keluarga yang harus menggali kuburan sendiri di tengah suara-suara perang yang terus bergema.

Seorang pekerja kamar mayat di Rumah Sakit Al-Aqsa Martyrs, Nawaf al-Zuriei, mengisahkan betapa sulitnya mempersiapkan jenazah dalam kondisi perang. 

"Kami membersihkan darah dari wajahnya agar keluarganya bisa mengucapkan selamat tinggal," ujarnya.

Di tengah kekacauan ini, banyak kuburan yang rusak atau tidak bisa diakses lagi karena perintah evakuasi Israel. 

Citra satelit menunjukkan bahwa banyak kuburan di Gaza yang hancur, dengan tanah yang rata tanpa bekas batu nisan, terkubur oleh jejak kendaraan berat militer Israel. 

Meskipun militer Israel mengeklaim tidak memiliki kebijakan untuk menghancurkan kuburan, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa pertempuran di daerah sipil yang padat telah merusak banyak kuburan.

Situasi di Gaza yang semakin tidak menentu ini tidak hanya menghancurkan kehidupan masyarakat, tetapi juga merusak penghormatan terakhir bagi mereka yang telah tiada. 

Bagi banyak keluarga, pencarian jenazah yang hilang atau terkubur di bawah puing-puing menjadi beban tambahan di tengah penderitaan yang sudah begitu berat. 

Mereka hanya bisa berharap bahwa suatu hari nanti, mereka dapat memberikan tempat peristirahatan terakhir yang layak bagi orang-orang tercinta yang telah pergi. 

Baca Juga: Israel Disebut Telah Bunuh 2.100 Bayi dan Balita Palestina di Gaza, Teranyar Dua Bayi Kembar

Penulis : Rizky L Pratama Editor : Deni-Muliya

Sumber : Associated Press


TERBARU