> >

PM Thailand Dicopot dari Jabatan oleh Mahkamah Konstitusi karena Pelanggaran Etika

Kompas dunia | 14 Agustus 2024, 17:37 WIB
PM Thailand Srettha Thavisin resmi dicopot dari jabatannya oleh Mahkamah Konstitusi, Rabu (14/8/2024), karena dianggap terbukti melakukanpelanggaran etika, yaitu mengangkat menteri yang pernah dipenjara karena menyuap pejabat pengadilan. (Sumber: AP Photo)

BANGKOK, KOMPAS.TV - Perdana Menteri Thailand Srettha Thavisin resmi dicopot dari jabatannya oleh Mahkamah Konstitusi, Rabu (14/8/2024). 

Keputusan ini diambil setelah Mahkamah Konstitusi menganggap PM Srettha terbukti melakukan pelanggaran etika, yang semakin memanaskan situasi politik di Thailand. 

Sebelumnya, Mahkamah juga membubarkan partai oposisi utama di negara tersebut.

Masalah yang menimpa Srettha bermula ketika ia mengangkat seorang menteri dalam kabinetnya yang pernah dipenjara karena berusaha menyuap pejabat pengadilan. 

Pengadilan memutuskan dengan suara 5:4 untuk mencopot Srettha dari jabatannya, dan keputusan ini berlaku langsung, seketika.

Untuk sementara, kabinet akan tetap bekerja sebagai pemerintahan sementara hingga parlemen Thailand memilih perdana menteri yang baru. Namun, belum ada batas waktu yang ditetapkan untuk pemilihan tersebut.

Srettha sebelumnya menunjuk Pichit Chuenban sebagai menteri di Kantor Perdana Menteri pada bulan April lalu. 

Baca Juga: Senat Thailand dengan Suara Mayoritas Setujui RUU Pernikahan Sesama Jenis, Tunggu Persetujuan Raja

Mantan Perdana Menteri Thailand Thaksin Shinawatra (kiri) dan putrinya, Paetongtarn Shinawatra, tiba di Bandara Don Muang, Bangkok, Thailand, Selasa, 22 Agustus 2023. (Sumber: AP Photo/Sakchai Lalit)

Pichit sendiri pernah dipenjara selama enam bulan pada tahun 2008 karena mencoba menyuap seorang hakim dengan uang tunai 2 juta baht (sekitar Rp800 juta) yang dimasukkan dalam tas belanja. 

Kasus ini terkait dengan mantan Perdana Menteri Thaksin Shinawatra.

Setelah penunjukannya menuai kontroversi, Pichit mengundurkan diri dari posisinya beberapa minggu kemudian. 

Pengadilan menegaskan bahwa meskipun Pichit telah menjalani hukumannya, tindakannya dianggap tidak jujur, dan Srettha dinilai bertanggung jawab atas pemilihan menteri-menterinya. Karena itu, Srettha dianggap melanggar aturan etika.

Petisi untuk mencopot Srettha diajukan oleh mantan anggota Senat yang ditunjuk oleh militer. 

Sebelumnya, mereka juga menolak calon perdana menteri dari Partai Move Forward, partai yang memenangkan pemilu namun gagal membentuk pemerintahan.

Banyak yang melihat langkah ini sebagai upaya untuk mendukung partai politik yang pro-militer dalam koalisi pemerintahan Srettha.

Di Thailand, Pengadilan Konstitusi sering dianggap sebagai lembaga yang melindungi kepentingan kelompok kerajaan.

Baca Juga: Seekor Kerbau Albino Tampan Terjual dengan Rekor Harga Rp7,8 miliar di Pameran Ternak di Thailand

Raja Thailand Vajiralongkorn dan Selir Sineenat Wongvajirapakdi. (Sumber: AP)

Pengadilan ini dan beberapa lembaga negara lainnya sering kali mengeluarkan keputusan yang melemahkan atau menjatuhkan lawan-lawan politik.

Srettha diangkat menjadi perdana menteri pada Agustus tahun lalu, meskipun partainya, Pheu Thai, hanya menempati posisi kedua dalam pemilu. 

Setelah Partai Move Forward gagal membentuk pemerintahan karena ditolak oleh Senat yang masa jabatannya berakhir pada Mei, Pheu Thai, yang sebelumnya bersekutu dengan Move Forward, memutuskan untuk berkoalisi dengan partai-partai pro-militer. 

Dengan dukungan tersebut, mereka berhasil mendapatkan cukup suara untuk menyetujui Srettha sebagai perdana menteri.

Minggu lalu, Pengadilan Konstitusi juga memerintahkan pembubaran Partai Move Forward.

Partai ini dibubarkan dengan alasan melanggar konstitusi karena mengusulkan perubahan undang-undang terkait penghinaan terhadap keluarga kerajaan. Kini, partai tersebut telah berganti nama menjadi Partai Rakyat.

 

 

Penulis : Edwin Shri Bimo Editor : Vyara-Lestari

Sumber : Associated Press


TERBARU