> >

5 Fakta Afghanistan selama 3 Tahun Taliban Berkuasa: Berhasil Jalin Hubungan dengan China dan Rusia

Kompas dunia | 15 Agustus 2024, 01:30 WIB
Pemimpin tertinggi Taliban, Hibatullah Akhundzada. (Sumber: Ariana News)

KABUL, KOMPAS.TV – Sudah tiga tahun sejak Taliban mengambil alih Afghanistan. Mereka telah beralih dari gerakan pemberontakan menjadi penguasa, menerapkan interpretasi mereka terhadap hukum Islam, dan berusaha memperkuat klaim legitimasi mereka sebagai penguasa sah negara itu.

Meskipun belum ada pengakuan internasional sebagai pemerintah resmi Afghanistan, Taliban berhasil menjalin pertemuan tingkat tinggi dengan kekuatan regional l seperti China dan Rusia. 

Mereka bahkan menghadiri pembicaraan yang disponsori oleh PBB, sementara perempuan Afghanistan dan masyarakat sipil tidak diberikan tempat. Bagi Taliban, ini adalah kemenangan besar karena mereka melihat diri mereka sebagai satu-satunya wakil sah negara itu.

Tidak ada tantangan dalam negeri yang berarti terhadap kekuasaan mereka, dan tidak ada minat dari luar negeri untuk mendukung perlawanan. Perang di Ukraina dan Gaza menyita perhatian komunitas internasional, dan Afghanistan tidak lagi dianggap sebagai ancaman teror yang sama seperti dulu. Namun, tantangan tetap ada.

Berikut adalah lima hal yang perlu diketahui tentang Taliban saat berkuasa.

Baca Juga: Taliban Tolak Akui Keabsahan Sederet Misi Diplomatik dan Konsuler Afghanistan di Luar Negeri

Pejuang Taliban menguasai istana kepresidenan Afghanistan setelah Presiden Afghanistan Ashraf Ghani meninggalkan negara itu, di Kabul, Afghanistan, pada 15 Agustus 2021. (Sumber: AP Photo)

Perang Budaya dan Imbalan

Pemimpin tertinggi Taliban berada di puncak sistem pemerintahan yang menyerupai piramida sebagai teladan kebajikan. Di satu sisi, ada masjid dan ulama. Di sisi lain, ada pemerintahan Kabul yang melaksanakan keputusan para ulama dan bertemu dengan pejabat asing.

"Ada berbagai tingkatan ekstremisme, dan Taliban adalah koalisi yang tidak nyaman antara garis keras dan pragmatis politik. Ini membuat mereka terjebak dalam perang budaya," kata Javid Ahmad, seorang peneliti di Middle East Institute.

Kebijakan yang paling kontroversial kecil kemungkinannya untuk diubah selama pemimpin tertinggi Hibatullah Akhundzada masih berkuasa, sementara pemimpin tertinggi biasanya memimpin sampai meninggal dunia.

Menurut Ibraheem Bahiss dari Crisis Group's South Asia Program, harapan bahwa perbedaan pendapat bisa memecah Taliban adalah angan-angan belaka.

"Taliban bersatu dan akan tetap menjadi kekuatan politik selama bertahun-tahun. Mereka memerintah sebagai satu kelompok, mereka berperang sebagai satu kelompok."

Untuk menjaga kohesi dan memastikan disiplin, Taliban yang sudah berpengalaman dipindahkan dari medan perang ke birokrasi, mendapatkan posisi tinggi di pemerintahan dan provinsi.

"Kita harus memberi mereka imbalan atas peran penting yang mereka mainkan dalam perlawanan," kata Ahmad. Imbalan lainnya bisa berupa kendali penuh atas pengelolaan suatu provinsi, izin untuk memiliki istri ketiga atau keempat, mobil pikap baru, bagian dari pungutan bea cukai, atau kunci rumah.

Baca Juga: Rusia Bakal Hapus Taliban dari Daftar Teroris, Kabul Sambut Baik

Peta Afghanistan. (Sumber: Associated Press)

Mengelola Negara

Bahiss menyebut pemerintahan Taliban sebagai "pemerintahan Afghanistan terkuat dalam sejarah modern. Mereka bisa menerbitkan dekret sampai ke tingkat desa."

Pegawai negeri sipil menjaga negara tetap berjalan dan lebih mungkin memiliki pendidikan formal atau teknis. Namun, Taliban yang memimpin lembaga-lembaga sipil tidak memiliki pengetahuan yang cukup tentang cara menjalankan institusi-institusi tersebut.

"Kualifikasi mereka berasal dari Tuhan," kata Ahmad.

Legitimasi Taliban untuk memerintah tidak berasal dari rakyat Afghanistan, tetapi dari interpretasi mereka terhadap agama dan budaya, kata Leena Rikkila Tamang dari International Institute for Democracy and Electoral Assistance.

Jika sebuah pemerintahan didefinisikan oleh kepercayaan dan dukungan warganya, pengakuan dari kekuatan internasional, serta legitimasi melalui proses seperti pemilihan umum, maka Taliban tidak memenuhi syarat sebagai pemerintah, tambahnya.

Baca Juga: Usai Kekeringan 3 Tahun, Afghanistan Diterpa Banjir akibat Musim Hujan Tak Biasa, 300 Tewas

Daftar kekayaan tambang Afghanistan dan nilai duitnya. (Sumber: Deutsche Welle/USGS)

Menjaga Perekonomian Tetap Berjalan

Ekonomi Afghanistan semakin melemah. Pada tahun 2023, bantuan asing masih menyumbang sekitar 30% dari PDB negara ini.

PBB telah mengirimkan setidaknya $3,8 miliar atau setara Rp59 triliun untuk mendanai organisasi bantuan internasional selama tiga tahun terakhir. 

Amerika Serikat (AS) tetap menjadi donor terbesar, mengirimkan lebih dari $3 miliar atau Rp46 triliun dalam bentuk bantuan sejak Taliban mengambil alih. 

Namun, pengawas AS yang bertugas memantau dana tersebut mengatakan bahwa banyak yang dikenakan pajak atau dialihkan.

"Semakin jauh uang tunai dari sumbernya, semakin sedikit transparansi yang ada," kata Chris Borgeson, wakil inspektur jenderal untuk audit dan inspeksi di Special Inspector General for Afghanistan Reconstruction.

Taliban juga menerapkan pajak yang ketat. Pada tahun 2023, mereka mengumpulkan sekitar $2,96 miliar atau sekitar Rp46 triliun. Namun, jumlah itu tidak banyak di negara dengan kebutuhan besar dan kompleks, dan Taliban tidak memiliki sarana untuk mendorong perekonomian.

Bank sentral Afghanistan tidak bisa mencetak uang sendiri. Uang tunai dicetak di luar negeri. Transaksi berbasis bunga dilarang karena riba dilarang dalam Islam, dan bank-bank tidak memberikan pinjaman. Taliban juga tidak bisa meminjam uang karena mereka tidak diakui sebagai pemerintah, dan perbankan internasional terputus.

Bencana alam dan arus warga Afghanistan yang kembali dari Pakistan di bawah tekanan menyoroti ketergantungan Afghanistan pada bantuan asing untuk memenuhi kebutuhan pokok.

Ini adalah risiko besar jika komunitas internasional tidak dapat terus mengirim bantuan tersebut di masa depan. "Kita tahu Afghanistan akan mulai menerima lebih sedikit uang dari komunitas internasional," kata Muhammad Waheed, ekonom senior Bank Dunia untuk Afghanistan.

Pukulan besar lainnya bagi perekonomian adalah larangan Taliban terhadap pendidikan dan sebagian besar pekerjaan bagi perempuan, yang menghilangkan setengah dari populasi Afghanistan dari pengeluaran dan pembayaran pajak yang bisa memperkuat ekonomi.

Selain itu, kebijakan anti-narkotika Taliban "telah menghancurkan mata pencaharian ribuan petani," kata Bahiss, yang memperingatkan bahwa "hanya karena populasi saat ini patuh, bukan berarti akan terus seperti itu."

Baca Juga: Provinsi di Afghanistan Berlakukan Larangan Memotret dan Merekam Video Mahluk Hidup bagi Pejabatnya

Pelajar perempuan Afghanistan berfoto di sebuah ruang kelas di Kabul, Afghanistan, Kamis, 22 Desember 2022. Taliban, pekan ini, memerintahkan seluruh perempuan untuk tidak menghadiri kuliah di kampus swasta maupun negeri hingga pemberitahuan lebih lanjut. Sebelumnya, Taliban telah melarang siswi SMP dan SMA belajar ke sekolah. Mereka juga melarang perempuan bekerja di kebanyakan sektor pekerjaan, serta datang ke taman dan pusat kebugaran. (Sumber: AP Photo/Ebrahim Noroozi)

Diplomasi dan Panggung Global

Afghanistan adalah negara kecil di kawasan raksasa, kata Bahiss, dan ada kesepakatan regional bahwa lebih baik memiliki Afghanistan yang stabil.

Namun, dukungan dari Barat, terutama AS, sangat penting untuk membuka miliaran aset yang dibekukan dan mencabut sanksi.

Hubungan Taliban dengan China dan Rusia sangat penting karena mereka adalah anggota tetap Dewan Keamanan PBB. Mereka juga menduduki kursi di Komite Kredensial PBB, yang memutuskan apakah akan memberikan atau menahan legitimasi suatu pemerintah.

Untuk saat ini, negara-negara Teluk menjalin hubungan dengan Taliban sebagai bentuk antisipasi.

"Qatar suka dilihat sebagai pemimpin dalam upaya mediasi dan (Uni Emirat Arab) telah mengambil alih peran itu, terutama melalui dukungan penerbangan internasional," kata Bahiss.

Pertemuan tahun ini antara pemimpin UEA dan seorang pejabat Taliban yang menghadapi ancaman dari AS atas serangan menyoroti semakin dalamnya perpecahan global tentang bagaimana menangani Taliban.

Taliban ingin menekankan seberapa efektif mereka sebagai pemerintahan dan menunjukkan bahwa negara ini damai serta layanan disediakan, kata Weeda Mehran, dosen hubungan internasional di University of Exeter, Inggris.

Meskipun Afghanistan telah kehilangan puluhan media akibat penindasan Taliban, para penguasa negara ini telah memahami dampak media sosial. Konten mereka bertujuan untuk menormalkan pendekatan mereka terhadap hukum Islam, di mana pesan berbahasa Arab sangat penting.

"Ini adalah gambaran yang sudah dipoles dan dilunakkan dari apa yang sebenarnya terjadi di negara ini," kata Mehran.

Baca Juga: Marak Penembakan dan Penjualan Senjata ke Anak saat Idulfitri, Taliban Jamin Keamanan Afghanistan

Pasukan Taliban menduduki istana presiden Afghanistan di Kabul yang telah ditinggalkan Ashraf Ghani, Minggu (15/8/2021). (Sumber: AP PHOTO/ZABI KARIMI)

Aman, meski Tidak Sepenuhnya

Taliban telah mengamankan Afghanistan dengan pos pemeriksaan, kendaraan lapis baja, dan ratusan ribu pejuang. Namun, negara ini tidak sepenuhnya aman, terutama bagi perempuan dan minoritas, karena korban sipil akibat bom bunuh diri dan serangan lainnya masih terjadi.

Kelompok Negara Islam (ISIS) telah berulang kali menyerang lingkungan Dasht-e-Barchi yang sebagian besar dihuni oleh komunitas Syiah di Kabul. 

Polisi, yang lambat mengonfirmasi serangan dan jumlah korban, memberi tahu media bahwa penyelidikan sedang dilakukan, tetapi tidak menyebutkan apakah ada yang ditangkap.

Fenomena baru adalah kecemasan yang dialami perempuan Afghanistan saat Taliban menerapkan dekret tentang pakaian, pekerjaan, perjalanan, dan kewajiban memiliki pendamping pria saat bepergian.

"Pesan untuk media arus utama adalah bahwa keamanan di Afghanistan di bawah Taliban baik-baik saja," kata Mehran. "Tapi saya berpendapat, keamanan siapa yang kita bicarakan?"

 

Penulis : Edwin Shri Bimo Editor : Vyara-Lestari

Sumber : Associated Press


TERBARU