> >

Mantan PM Bangladesh Tuduh AS Dalang Penggulingannya karena Tolak Beri Pulau Kecil di Teluk Benggala

Kompas dunia | 12 Agustus 2024, 23:20 WIB
Mantan Perdana Menteri Bangladesh, Sheikh Hasina, hari Minggu, 11/8/2024, menuduh Amerika Serikat dalang penggulingannya karena menolak menyerahkan pengelolaan Pulau Saint Martin, yang dianggap bisa memberikan Washington pengaruh atas Teluk Bengal atau Teluk Benggala. (Sumber: AP Photo)

ISTANBUL, KOMPAS TV - Mantan Perdana Menteri Bangladesh, Sheikh Hasina, hari Minggu, 11/8/2024, menuduh Amerika Serikat berada di balik penggulingannya karena menolak menyerahkan pengelolaan Pulau Saint Martin, yang dianggap bisa memberikan Washington pengaruh atas Teluk Bengal atau Teluk Benggala, dikutip Anadolu, Senin, 12/8/2024.

Hasina menyatakan AS "berniat menggulingkannya dari kekuasaan karena ia menolak menyerahkan" kendali atas Pulau Saint Martin, "yang memungkinkan AS untuk memiliki pengaruh di Teluk Bengal," lapor harian India, The Economic Times, hari Minggu, dikutip Anadolu, Senin, 12/8/2024.

Mengutip pesan yang disampaikan melalui "rekan-rekan dekatnya," laporan tersebut mengatakan bahwa Hasina, yang kini berusia 76 tahun, "bisa saja tetap berkuasa" jika ia menyerahkan kedaulatan atas Pulau Saint Martin.

Pulau Saint Martin, yang dikenal secara lokal sebagai Narikel Zinzira atau Pulau Kelapa, adalah sebidang tanah kecil yang hanya seluas tiga kilometer persegi. Pulau ini terletak di bagian timur laut Teluk Bengal, sekitar 9 kilometer di selatan ujung semenanjung Cox's Bazar-Teknaf. Pulau ini menandai titik paling selatan Bangladesh.

Namun, laporan tersebut menambahkan, "Dia memilih tidak mengorbankan kedaulatan pulau tersebut, menyoroti pentingnya arti strategis pulau itu dan potensi pengaruh geopolitik yang dimilikinya di kawasan."

Menjelang penggulingannya yang mengakhiri 15 tahun pemerintahannya, Hasina sempat mengklaim pada bulan Mei bahwa ada rencana untuk "membentuk negara Kristen seperti Timor Leste" dengan mengambil bagian dari Bangladesh dan Myanmar.

Tanpa menyebut nama negara tertentu, Hasina mengatakan ia "ditawari pemilihan ulang yang bebas hambatan dalam pemilu 7 Januari jika ia mengizinkan sebuah negara asing membangun pangkalan udara di wilayah Bangladesh," menurut Daily Star yang berbasis di Dhaka.

Hasina juga mengungkapkan "kesedihannya" terkait kerusuhan politik yang berlangsung di Bangladesh setelah pengunduran dirinya pada 5 Agustus, yang diawali dengan protes menuntut penghapusan sistem kuota kontroversial dalam pekerjaan publik.

Baca Juga: Peraih Nobel Muhammad Yunus Ditunjuk Memimpin Pemerintahan Sementara Bangladesh Usai Hasina Lengser

Peraih nobel Muhammad Yunus menjadi pemimpin pemerintahan sementara Bangladesh. (Sumber: AP Photo/Mahmud Hossain Opu, File)

Putra Hasina yang berbasis di AS, Sajeeb Wazed, mengatakan di X: "Pernyataan pengunduran diri yang baru-baru ini dikaitkan dengan ibu saya yang diterbitkan di sebuah surat kabar sepenuhnya tidak benar dan dibuat-buat."

"Saya baru saja mendapat konfirmasi dari ibu saya bahwa dia tidak membuat pernyataan apapun sebelum atau setelah meninggalkan Dhaka," kata Wazed, yang sebelumnya menjabat sebagai pengusaha IT dan penasihat TIK untuk perdana menteri Bangladesh.

Hasina melarikan diri dari Bangladesh pada 5 Agustus ke negara tetangga India, di mana dia saat ini berada "untuk sementara waktu," menurut pejabat India.

Menurut harian Prothom Alo, setidaknya 580 kematian dilaporkan sejak 16 Juli selama protes menentang pemerintahan Hasina, dengan 326 pembunuhan dilaporkan dalam tiga hari antara 4 dan 6 Agustus.

Segera setelah ia melarikan diri pada 5 Agustus, Kepala Angkatan Darat Bangladesh Jenderal Waker-uz-Zaman mengatakan Hasina telah mengundurkan diri. Zaman juga mengumumkan pembentukan pemerintahan transisi.

Sehari kemudian, Presiden Bangladesh Mohammed Shahabuddin membubarkan parlemen, yang dipilih pada bulan Januari ketika Hasina menjadi perdana menteri untuk keempat kalinya.

Pemenang Nobel Muhammad Yunus mengucapkan sumpah jabatan sebagai "penasihat utama" pada 8 Agustus untuk memimpin pemerintahan transisi beranggotakan 17 orang di Bangladesh.

Partai oposisi utama, Partai Nasionalis Bangladesh, telah menuntut pemilihan nasional dalam waktu tiga bulan untuk menyerahkan kekuasaan kepada wakil-wakil rakyat.

Penulis : Edwin Shri Bimo Editor : Desy-Afrianti

Sumber : Anadolu


TERBARU