Ratusan Warga Rohingya Dilaporkan Tewas dalam Satu Serangan Drone saat Berusaha Lari dari Myanmar
Kompas dunia | 10 Agustus 2024, 23:03 WIBBANGKOK, KOMPAS TV - Ratusan warga Rohingya, termasuk anak-anak, menjadi korban tewas dalam serangan drone saat mereka mencoba melarikan diri dari Myanmar.
Saksi mata menggambarkan suasana yang memilukan, di mana para penyintas terpaksa mencari di antara tumpukan tubuh tak bernyawa untuk menemukan anggota keluarga mereka yang tewas atau terluka, seperti laporan Straits Times, Sabtu (10/8/2024).
Serangan yang terjadi pada 5 Agustus itu menghantam keluarga-keluarga yang sedang bersiap menyeberang ke Bangladesh, menurut keterangan empat saksi mata, aktivis, dan seorang diplomat.
Di antara para korban, ada seorang perempuan tengah hamil besar dan anak perempuannya yang baru berusia dua tahun.
Ini menjadi serangan paling mematikan terhadap warga sipil di negara bagian Rakhine dalam beberapa pekan terakhir, di tengah konflik antara pasukan junta dan kelompok pemberontak.
Tiga saksi mata menyatakan, seperti dikutip oleh Straits Times pada 9 Agustus, bahwa serangan ini didalangi oleh Arakan Army, meski kelompok tersebut membantah tuduhan itu. Baik milisi maupun militer Myanmar saling menyalahkan atas serangan ini.
Video yang beredar di media sosial memperlihatkan pemandangan memilukan: tubuh-tubuh tergeletak di tanah berlumpur, dikelilingi oleh koper dan ransel yang berserakan. Tiga orang yang selamat memperkirakan lebih dari 200 orang tewas, sementara seorang saksi lainnya mengatakan ia melihat setidaknya 70 jenazah.
Straits Times mengutip bahwa lokasi video tersebut telah diverifikasi berada di luar kota pesisir Maungdaw, Myanmar. Namun, mereka belum bisa memastikan kapan video itu direkam.
Baca Juga: Junta Militer Myanmar dan Kelompok Etnis Bersenjata Saling Klaim Kuasai Markas Militer Regional Shan
Seorang saksi mata, Mohammed Eleyas yang berusia 35 tahun, menceritakan bagaimana istri dan anak perempuannya yang berusia dua tahun terluka parah dalam serangan itu dan akhirnya meninggal.
Saat itu, ia berdiri bersama mereka di tepi pantai ketika serangan drone terjadi. “Saya mendengar suara ledakan yang sangat keras berkali-kali,” katanya dari kamp pengungsi di Bangladesh.
Eleyas juga menceritakan bagaimana ia berusaha melindungi diri dengan berbaring di tanah, dan ketika bangkit, ia melihat istri dan anaknya sudah terluka parah, sementara banyak kerabatnya sudah tidak bernyawa.
Saksi lain, Shamsuddin yang berusia 28 tahun, berhasil selamat bersama istri dan anaknya yang baru lahir. Dari kamp pengungsi di Bangladesh, ia menggambarkan betapa mengerikannya suasana setelah serangan itu, di mana banyak orang tergeletak tak bernyawa dan beberapa lainnya berteriak kesakitan karena luka-luka mereka.
Selain itu, perahu-perahu yang membawa pengungsi Rohingya juga tenggelam di Sungai Naf yang memisahkan Myanmar dan Bangladesh pada 5 Agustus, menewaskan puluhan orang lainnya, menurut dua saksi mata dan media di Bangladesh.
Organisasi Medecins Sans Frontieres dalam pernyataannya mengatakan mereka telah merawat 39 orang yang melintasi perbatasan dari Myanmar ke Bangladesh sejak 3 Agustus dengan luka-luka akibat kekerasan, termasuk luka dari mortir dan tembakan. Para pasien menggambarkan bagaimana mereka melihat orang-orang dibom saat mencoba mencari perahu untuk menyeberangi sungai, menurut pernyataan tersebut.
Seorang juru bicara UNHCR, badan pengungsi PBB, mengatakan pihaknya mengetahui adanya pengungsi yang tewas akibat perahu yang terbalik di Teluk Benggala, dan mendengar laporan mengenai kematian warga sipil di Maungdaw, namun belum dapat memastikan jumlah korban atau kondisi yang terjadi.
Selama beberapa pekan terakhir, banyak warga minoritas muslim Rohingya yang meninggalkan Rakhine seiring dengan keberhasilan Arakan Army, salah satu kelompok bersenjata, dalam menguasai wilayah utara yang dihuni oleh banyak Rohingya muslim.
Baca Juga: Junta Militer Myanmar Paksa Warga Rohingya Wamil, Padahal Sempat Bantai Ribuan Orang Etnis Itu
Sebelumnya, Straits Times mengutip laporan bahwa milisi telah membakar kota Rohingya terbesar pada Mei lalu, meninggalkan Maungdaw, yang saat ini dikepung oleh pemberontak, sebagai pemukiman besar Rohingya terakhir selain kamp-kamp pengungsi yang menyedihkan di bagian selatan. Namun, Arakan Army membantah tuduhan tersebut.
Kelompok-kelompok aktivis mengecam serangan ini. Seorang diplomat senior Barat mengatakan ia telah mengonfirmasi laporan tersebut. "Laporan tentang ratusan Rohingya yang tewas di perbatasan Bangladesh/Myanmar ini, dengan berat hati, adalah benar," kata Bob Rae, Duta Besar Kanada untuk PBB dan mantan utusan khusus untuk Myanmar, dalam sebuah unggahan di X pada 7 Agustus.
Junta Myanmar menuding Arakan Army dalam sebuah unggahan di saluran Telegram mereka.
Milisi tersebut membantah keterlibatan mereka. "Menurut penyelidikan kami, anggota keluarga dari teroris mencoba pergi ke Bangladesh dari Maungdaw, dan junta menjatuhkan bom karena mereka pergi tanpa izin," kata juru bicara Arakan Army, Khine Thu Kha, merujuk pada muslim yang bergabung dengan kelompok bersenjata Rohingya yang melawan Arakan Army.
Mohammed Eleyas menceritakan bagaimana istri dan putrinya meninggal setelah serangan itu, dan upaya putus asanya untuk menemukan perahu yang bisa membawa mereka ke Bangladesh.
Sebelum istrinya meninggal, "Kami saling meminta maaf atas kesalahan yang mungkin telah kami lakukan selama hidup," katanya.
Sekitar tengah malam, Eleyas akhirnya menemukan sebuah perahu kecil dan berhasil menyeberang ke Bangladesh.
Penulis : Edwin Shri Bimo Editor : Vyara-Lestari
Sumber : Straits Times