Muhammad Yunus Akan Dilantik Jadi PM Bangladesh Sementara Hari Ini, Minta Masyarakat Tenang
Kompas dunia | 8 Agustus 2024, 07:15 WIBDHAKA, KOMPAS.TV - Muhammad Yunus, penerima Nobel Perdamaian yang akan jadi pemimpin sementara Bangladesh, meminta rakyat untuk tetap tenang dan bersiap membangun kembali negara.
Permintaan itu disampaikan setelah berminggu-minggu kekerasan yang menewaskan ratusan orang, yang berujung pada pengunduran diri Perdana Menteri Sheikh Hasina yang melarikan diri ke India.
Dalam pernyataan pertamanya sejak ditunjuk sebagai kepala pemerintahan sementara, Rabu (7/8/2024), Yunus mengucapkan selamat kepada mahasiswa atas "kepemimpinan mereka dalam mewujudkan Hari Kemenangan Kedua kita."
Dia juga mengimbau kepada mahasiswa, anggota partai politik, dan masyarakat untuk tetap tenang.
"Kerusuhan adalah musuh kita. Tolong jangan buat musuh baru. Tetap tenang dan siap membangun negara," kata Yunus.
Panglima militer Bangladesh, Jenderal Waker-Uz-Zaman, mengatakan pemerintahan sementara yang dipimpin Yunus akan dilantik pada Kamis (8/8/2024) malam.
Dalam pidato yang disiarkan televisi, Zaman menegaskan mereka yang bertanggung jawab atas kekerasan sejak pengunduran diri Hasina, akan diadili.
"Saya tidak sabar untuk pulang dan melihat apa yang terjadi di sana, serta bagaimana kita bisa mengorganisasi diri untuk keluar dari masalah ini," kata Yunus kepada wartawan di Paris, Prancis.
Ketika ditanya kapan pemilu akan digelar, dia mengangkat tangan seolah-olah menunjukkan bahwa masih terlalu dini untuk mengatakannya.
"Saya akan pulang dan berbicara dengan mereka. Saya masih baru di bidang ini."
Baca Juga: Profil Presiden Sementara Bangladesh Muhammad Yunus: Bankir Kaum Miskin Peraih Nobel
Pada Rabu, pengadilan di Dhaka membebaskan Yunus dalam kasus pelanggaran hukum ketenagakerjaan yang melibatkan perusahaan telekomunikasi yang ia dirikan, yang sebelumnya membuatnya dihukum enam bulan penjara.
Dia dibebaskan dengan jaminan dalam kasus tersebut.
Sementara pemimpin oposisi, Khaleda Zia, yang sedang sakit, juga meminta masyarakat untuk tidak melakukan kekerasan.
Berbicara dari ranjang rumah sakit melalui video dalam sebuah rapat umum di Dhaka, Zia mengimbau pendukungnya untuk mengedepankan cinta dan perdamaian dalam membangun kembali negara.
Rapat umum Partai Nasionalis Bangladesh diadakan sehari setelah Zia dibebaskan dari tahanan rumah.
Putranya, Tarique Rahman, yang juga pemimpin sementara partai tersebut, menyampaikan pidato secara daring dari London, tempat dia tinggal dalam pengasingan sejak 2008.
Pada Rabu, jalanan Dhaka tenang setelah dua hari kekerasan menyusul kepergian Hasina.
Mahasiswa terlihat membersihkan jalanan dan mengatur lalu lintas di beberapa bagian Dhaka karena polisi menghilang setelah serangan terhadap kantor polisi di berbagai tempat di negara tersebut.
Presiden Bangladesh Mohammed Shahabuddin yang saat ini bertindak sebagai kepala eksekutif, meminta aparat keamanan untuk mengambil tindakan tegas terhadap para perusuh.
Kepala kepolisian yang baru, Mainul Islam, memerintahkan para polisi untuk kembali bertugas pada Kamis malam untuk melindungi nyawa dan harta benda masyarakat.
Presiden membubarkan parlemen pada Selasa (6/8/2024), membuka jalan bagi pemerintahan sementara yang diharapkan akan menjadwalkan pemilu baru. Namun, belum jelas kapan pemilu tersebut akan dilaksanakan.
Shahabuddin menunjuk Yunus sebagai kepala pemerintahan sementara, bekerja sama dengan militer dan pemimpin mahasiswa.
Yunus, seorang ekonom dan bankir, dianugerahi Hadiah Nobel Perdamaian pada 2006 atas usahanya mengembangkan pasar mikro kredit.
Kekerasan yang terjadi di sekitar pengunduran diri Hasina telah menewaskan setidaknya 109 orang, termasuk 14 polisi, dan melukai ratusan lainnya, menurut laporan media yang belum bisa dikonfirmasi secara independen.
Baca Juga: Peraih Nobel Muhammad Yunus Ditunjuk Memimpin Pemerintahan Sementara Bangladesh Usai Hasina Lengser
United News of Bangladesh melaporkan, di distrik Satkhira, 596 tahanan kabur setelah penyerangan penjara pada Senin (5/8/2024) malam.
Rumah-rumah mantan menteri dan anggota parlemen dari partai Hasina dirusak dan dijarah. Orang-orang terlihat mengambil barang-barang berharga dari rumah adik perempuan Hasina di daerah Gulshan, Dhaka.
Media lokal juga melaporkan banyak korban tewas dalam dua hari kekerasan sejak pengunduran diri Hasina adalah pejabat-pejabat partai berkuasa, terutama di luar Dhaka.
Ada juga laporan kekerasan terhadap pemimpin Hindu dan minoritas lainnya, meski belum bisa dikonfirmasi.
Politisi oposisi secara terbuka mengimbau masyarakat untuk tidak menyerang kelompok minoritas, sementara pemimpin-pemimpin mahasiswa meminta pendukungnya menjaga kuil Hindu dan tempat ibadah lainnya.
Kekacauan dimulai pada Juli dengan protes menentang sistem kuota pekerjaan pemerintah, yang menurut kritikus menguntungkan orang-orang yang berhubungan dengan partai Hasina.
Protes ini berkembang menjadi tantangan lebih besar terhadap pemerintahan Hasina selama 15 tahun, yang ditandai dengan pelanggaran hak asasi manusia, korupsi, tuduhan pemilu curang, dan penindasan brutal terhadap lawan-lawan politiknya.
Lebih dari 300 orang tewas dalam beberapa minggu saja.
Pemilihan Yunus dengan cepat setelah pengunduran diri Hasina menciptakan kekosongan kekuasaan dan masa depan yang tidak pasti bagi Bangladesh, yang memiliki sejarah pemerintahan militer dan politik yang kacau.
Militer memiliki pengaruh besar di negara yang telah mengalami lebih dari 20 kudeta atau upaya kudeta sejak kemerdekaannya dari Pakistan pada 1971.
Jenderal Waker-uz-Zaman mengatakan pada Senin bahwa dia mengambil alih kendali sementara saat pemerintahan baru dibentuk.
Banyak yang khawatir kepergian Hasina bisa memicu ketidakstabilan lebih lanjut di negara berpenduduk sekitar 170 juta orang yang sudah menghadapi angka pengangguran yang tinggi, korupsi, dan perubahan iklim.
Hasina (76 tahun) terpilih untuk periode keempat berturut-turut pada Januari lalu dalam pemilu yang diboikot oleh lawan-lawan politik utamanya. Ribuan anggota oposisi dipenjara sebelum pemilu.
Penulis : Edwin Shri Bimo Editor : Edy-A.-Putra
Sumber : Associated Press