Dunia Arkeologi Heboh, Fosil Ungkap Hobbit yang Lebih Kecil Pernah Hidup di Flores
Kompas dunia | 7 Agustus 2024, 16:15 WIBWASHINGTON, KOMPAS.TV - Dua puluh tahun lalu di Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT), para ilmuwan menemukan fosil spesies manusia purba yang tingginya sekitar 1,07 meter, sehingga mereka diberi julukan hobbit.
Sekarang, sebuah studi baru menunjukkan nenek moyang hobbit ini bahkan sedikit lebih pendek. Sebuah tulang lengan berusia 700.000 tahun yang ditemukan di sebuah pulau di Indonesia memberikan wawasan baru tentang evolusi Homo floresiensis — kerabat purba manusia modern yang dijuluki hobbit karena tubuhnya yang kecil.
Dengan panjang hanya 88 milimeter, fragmen tulang lengan ini milik hominin dewasa terkecil yang pernah ditemukan. Penemuan ini, yang diterbitkan pada 6 Agustus di Nature Communications, mendukung gagasan bahwa nenek moyang Homo floresiensis berevolusi menjadi spesies yang jauh lebih kecil hanya beberapa ribu tahun setelah tiba di pulau terpencil Flores yang sekarang menjadi bagian dari Indonesia.
Ukuran tulang humerus menunjukkan bahwa pemiliknya sangat kecil, tetapi bisa saja milik seorang anak. Dalam studi terbaru, peneliti Yousuke Kaifu dan timnya memeriksa potongan tulang di bawah mikroskop untuk menyelidiki kemungkinan ini. Struktur tulang menunjukkan bahwa tulang ini milik orang dewasa yang sudah dewasa sepenuhnya.
Tulang lengan ini 9-16% lebih kecil dan lebih tipis daripada tulang milik spesimen Homo floresiensis yang berusia 60.000 tahun, mengonfirmasi bahwa pemiliknya “setidaknya seukuran” anggota spesies yang lebih muda. Para peneliti memperkirakan bahwa individu ini tidak lebih dari 108 sentimeter tingginya.
Temuan ini menunjukkan bahwa Homo floresiensis telah berevolusi menjadi lebih pendek dalam waktu 300.000 tahun setelah nenek moyang spesies tersebut tiba di pulau tersebut.
Fosil kranial Homo floresiensis juga menunjukkan otak mereka menyusut selama waktu itu. Munculnya jenis tubuh baru dengan cepat mengungkap banyak jalur yang dapat diambil oleh evolusi manusia, kata Kaifu.
“Kami berpikir itu adalah takdir [bagi manusia] untuk menjadi pintar,” katanya. “Flores memberi tahu kita bahwa ada cara lain bagi manusia untuk berkembang.”
Baca Juga: Terungkap, Virus Purba Berusia Jutaan Tahun Ternyata Mampu Lawan Kanker
“Kami tidak menduga akan menemukan individu yang lebih kecil dari situs yang begitu tua,” kata Yousuke Kaifu, salah satu penulis studi dari Universitas Tokyo, dalam sebuah surel.
Fosil hobbit asli diperkirakan berasal dari antara 60.000 hingga 100.000 tahun yang lalu. Fosil baru ini ditemukan di Mata Menge, sekitar 72 kilometer dari gua tempat sisa-sisa hobbit pertama kali ditemukan.
Pada tahun 2016, para peneliti menduga kerabat hobbit yang lebih awal mungkin lebih pendek setelah mempelajari tulang rahang dan gigi yang dikumpulkan dari situs baru tersebut.
Analisis lebih lanjut dari fragmen tulang lengan kecil dan gigi menunjukkan nenek moyang hobbit ini lebih pendek 6 sentimeter dan hidup 700.000 tahun yang lalu.
“Analisa menunjukkan dengan meyakinkan bahwa individu-individu ini sangat kecil,” kata Dean Falk, seorang antropolog evolusi di Universitas Negeri Florida yang tidak terlibat dalam penelitian ini.
Para peneliti berdebat tentang bagaimana hobbit, yang diberi nama Homo floresiensis karena ditemukan di Pulau Flores di Indonesia, berevolusi menjadi begitu kecil dan di mana mereka berada dalam cerita evolusi manusia. Mereka dianggap sebagai salah satu spesies manusia purba terakhir yang punah.
Para ilmuwan belum tahu apakah hobbit mengecil dari spesies manusia yang lebih tinggi sebelumnya yang disebut Homo erectus yang hidup di daerah tersebut, atau dari pendahulu manusia yang lebih primitif.
Penelitian lebih lanjut dan fosil tambahan diperlukan untuk menentukan tempat hobbit dalam evolusi manusia, kata Matt Tocheri, seorang antropolog di Universitas Lakehead Kanada.
“Pertanyaan ini masih belum terjawab dan akan terus menjadi fokus penelitian untuk beberapa waktu mendatang,” kata Tocheri, yang tidak terlibat dalam penelitian ini, dalam sebuah surel.
Penulis : Edwin Shri Bimo Editor : Vyara-Lestari
Sumber : Associated Press / Nature Communications Journal