> >

Dampak Pembunuhan Ismail Haniyeh, Pengamat: Timteng Akan Memanas, tapi Barat Tidak Mau Perang Meluas

Kompas dunia | 1 Agustus 2024, 07:00 WIB
Para anggota Hamas menggelar demonstrasi untuk mengecam pembunuhan pemimpin politik Hamas, Ismail Haniyeh, di kamp pengungsi Palestina al-Bass di Tyre, Lebanon, Rabu (31/7/2024). (Sumber: AP Photo/Mohammed Zaatari)

JAKARTA, KOMPAS.TV - Pembunuhan terhadap pemimpin politik Hamas, Ismail Haniyeh, dinilai akan memperpanas suhu geopolitik di kawasan Timur Tengah.

Haniyeh dibunuh lewat serangan udara di Teheran, Iran, pada Rabu (31/7/2024) dini hari waktu setempat. Iran dan Hamas menyebut Israel berada di balik pembunuhan pemimpin politik Hamas tersebut.

Namun, hingga berita ini ditulis, Israel belum menyatakan bertanggung jawab atas pembunuhan Haniyeh.

Dosen ilmu politik Universitas Bakrie, Jakarta, Aditya Batara Gunawan, mengatakan ada tiga konsekuensi logis dari pembunuhan Haniyeh.

“Pertama, tentunya akan ada upaya retaliasi (pembalasan) dari Hamas terhadap kejadian tersebut,” kata Aditya kepada Kompas.tv, Rabu malam.

Baca Juga: Kementerian Luar Negeri RI Kecam Pembunuhan Ismail Haniyeh: Merusak Negosiasi Damai

Pembunuhan Haniyeh juga dinilai akan menghancurkan proses negosiasi gencatan senjata di Gaza, di mana Israel telah melancarkan serangan besar-besaran sejak 7 Oktober tahun lalu.

“Retaliasi tentunya memicu eskalasi kekerasan kembali di Gaza. Ketika eskalasi terjadi, maka proses pra-negosiasi yang selama ini dilakukan pasti akan mengalami kemunduran,” ungkapnya.

Selain dua hal itu, Aditya juga memperkirakan suhu geopolitik di kawasan Timur Tengah akan memanas sebagai dampak dari pembunuhan Haniyeh. Terlebih, serangan udara yang menewaskan Haniyeh itu dilakukan di Iran.

“Ketiga, suhu geopolitik di kawasan Timteng sudah pasti akan memanas. Tentunya pihak Iran akan bereaksi keras terhadap kejadian ini juga.”

Aditya berpendapat pembunuhan itu akan membuat posisi tawar Israel di Gaza menjadi lebih kuat karena Haniyeh selama ini menjadi simbol perlawanan Palestina terhadap pendudukan Israel.

Baca Juga: Menlu AS Ngaku Tak Tahu-menahu apalagi Terlibat Pembunuhan Ismail Haniyeh

“Saya pikir dari sisi Israel, melenyapkan Ismail akan membuat posisi tawar Israel dalam kekerasan di Gaza agak lebih kuat ketimbang Palestina. Selain pemimpin Hamas, Ismail selama ini merepresentasikan simbol perlawanan Palestina atas pendudukan Israel,” kata lulusan School of International Relations, University of St Andrews, Inggris itu.

Menurutnya, saat ini, Israel ingin mewujudkan “zero-sum game”, situasi di mana satu pihak menang dan pihak lainnya kalah. Bahkan, kata Aditya, Israel sudah tidak peduli jika perang akan meluas dan mendapat sanksi internasional.

“Israel sekarang sudah percaya diri dengan skenario endgame yang mereka percayai untuk Gaza, yaitu tidak ada negosiasi. Tujuannya sebatas zero-sum game, pilihannya hanya satu, yaitu jadi pemenang dengan segala cara.”

“Jadi mereka sepertinya sudah siap dengan risiko perang meluas atau sanksi hukum internasional sekalipun.”

Namun, berbeda dengan Israel, Amerika Serikat (AS) dan negara-negara Barat lain yang menjadi sekutunya justru dinilai tidak ingin perang meluas di Timur Tengah.

Baca Juga: Ismail Haniyeh Dibunuh, Jusuf Kalla Sampaikan Dukacita: Cita-Cita Beliau Adalah Perdamaian

“Kalau mereka (negara-negara Barat) dianggap menginginkan meluasnya perang, saya rasa tidak. Kalaupun terjadi perang meluas, saya rasa mereka akan coba menjadi fasilitator perdamaian,” kata Aditya.

Ia mengatakan Barat tidak menginginkan perang merembet ke negara-negara lainnya di Timur Tengah karena Iran dan organisasi politik dan paramiliter Lebanon yang didukungnya, Hizbullah, memiliki kekuatan militer lebih besar ketimbang Hamas.

Israel dan Hizbullah telah saling serang sejak serangan ke Gaza dimulai pada Oktober tahun lalu. 

Selain itu, menurut Aditya, Barat mengkhawatirkan dampak perang terhadap ekonomi global.

“Jika Iran dan Hizbullah melakukan serangan terbuka kembali ke Israel, bisa jadi Israel akan meminta dukungan dari AS dan ini akan merepotkan,” ucapnya.

“Dan yang lebih krusial, eskalasi perang akan menghantam pertumbuhan ekonomi global yang makin melamban saat ini.”

Meski demikian, dia menilai Barat memandang pembunuhan Haniyeh sebagai potensi “endgame” atau akhir permainan yang ideal untuk kemenangan Israel dan menyurutkan perlawanan Palestina.

Baca Juga: Hamas Tegaskan Pembunuhan Ismail Haniyeh Tak Akan Ubah Syarat Negosiasi dengan Israel

Respons Negara-Negara Arab jika Perang Meluas

Jika perang yang lebih luas benar-benar terjadi, Aditya menilai negara-negara Arab lainnya yang selama ini dekat dengan AS dan bahkan beberapa memiliki hubungan diplomatik dengan Israel seperti Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Mesir, serta Yordania, akan bersikap pragmatis. 

“Saya rasa mereka akan lebih concern (khawatir) kepada keselamatan negara masing-masing dan cenderung akan pragmatis menyikapinya. Posisi mereka terhadap konflik akan ditentukan dalam koridor dinamika politik domestik, utamanya tekanan publik masing-masing,” paparnya.

Ia pun menilai negara-negara Arab akan diam saja seperti halnya saat Israel melancarkan serangan besar-besaran ke Jalur Gaza yang telah menewaskan sedikitnya 39.000 orang termasuk 15.000 lebih anak-anak.

“Saya prediksi demikian, posisinya akan keras ke Israel ketika efek samping dari konflik seperti gelombang pengungsi melonjak atau menjadi 'buffer' wilayah perang seperti yang dialami Yordania.”

 

Penulis : Edy A. Putra Editor : Vyara-Lestari

Sumber : Kompas TV


TERBARU