Begini Gambaran Hancurnya Mental Warga Gaza yang Trauma Didera Serangan Israel
Kompas dunia | 19 Juli 2024, 06:25 WIBDEIR AL-BALAH, KOMPAS.TV - Nabila Hamada melahirkan bayi kembar di Gaza di awal perang, di sebuah rumah sakit yang dipenuhi bau mayat membusuk dan penuh dengan orang-orang terlantar.
Ketika pasukan Israel mengancam rumah sakit tersebut, dia dan suaminya melarikan diri dengan hanya membawa salah satu bayi, karena staf medis mengatakan bayi lainnya terlalu lemah untuk dibawa. Tak lama setelah itu, pasukan Israel menyerbu rumah sakit terbesar di Gaza tersebut, dan dia tak pernah melihat bayinya lagi.
Trauma kehilangan satu bayi membuat Hamada, yang berusia 40 tahun, sangat takut kehilangan anak lainnya sehingga dia menjadi kaku dan tidak mampu menghadapi beban sehari-hari untuk bertahan hidup.
"Saya tidak bisa merawat anak-anak saya yang lain atau memberikan cinta yang mereka butuhkan," katanya.
Dia adalah salah satu dari ratusan ribu warga Palestina yang berjuang dengan kesehatan mental setelah sembilan bulan perang. Trauma itu terjadi terus-menerus. Mereka telah kehilangan keluarga dan teman-teman dalam serangan bom Israel. Mereka terluka atau cacat. Mereka berlindung di rumah atau tenda saat pertempuran berkecamuk dan terus melarikan diri, tanpa tempat aman untuk pulih.
Kecemasan, ketakutan, depresi, kurang tidur, kemarahan, dan agresi adalah hal yang umum, kata para ahli dan praktisi kepada The Associated Press.
Anak-anak adalah yang paling rentan, terutama karena banyak orang tua hampir tidak bisa mengendalikan diri mereka sendiri.
Hanya ada sedikit sumber daya untuk membantu warga Palestina memproses apa yang mereka alami. Praktisi kesehatan mental mengatakan kekacauan dan sangat banyaknya jumlah orang yang trauma membatasi kemampuan mereka untuk memberikan dukungan sejati. Jadi mereka menawarkan bentuk "pertolongan pertama psikologis" untuk mengurangi gejala terburuk.
"Ada sekitar 1,2 juta anak yang membutuhkan dukungan kesehatan mental dan psikososial. Ini berarti hampir semua anak di Gaza," kata Ulrike Julia Wendt, koordinator perlindungan anak darurat Komite Penyelamatan Internasional. Wendt telah mengunjungi Gaza sejak perang dimulai.
Baca Juga: Rusia Sebut Korban Israel di Gaza dalam 10 Bulan Sudah Dua Kali Lipat Perang Ukraina dalam 10 Tahun
Dia mengatakan program sederhana, seperti waktu bermain dan kelas seni, dapat membuat perbedaan. "Tujuannya untuk menunjukkan kepada mereka bahwa tidak hanya hal buruk yang selalu terjadi," terangnya.
Pengungsian berulang memperparah trauma: diperkirakan 1,9 juta dari 2,3 juta penduduk Gaza telah terpaksa meninggalkan rumah mereka. Kebanyakan tinggal di kamp-kamp tenda yang kotor dan berjuang untuk menemukan makanan dan air.
Banyak penyintas serangan 7 Oktober oleh Hamas di selatan Israel yang memicu perang di Gaza juga mengalami trauma dan mencari cara untuk sembuh. Israel mengeklaim Hamas membunuh lebih dari 1.200 orang Israel dan menyandera sekitar 250 orang.
Berlindung di dekat kota Khan Younis, Jehad El Hams kehilangan mata kanan dan jari-jari di tangan kanannya saat mengambil sesuatu yang dia kira kaleng makanan. Ternyata itu adalah bahan peledak yang belum meledak. Anak-anaknya hampir terkena.
Sejak itu, dia mengalami sulit tidur dan kebingungan. "Saya menangis setiap kali melihat diri saya dan melihat apa yang telah terjadi pada saya," katanya.
Dia menghubungi salah satu dari sedikit inisiatif kesehatan mental di Gaza, yang dijalankan oleh badan PBB untuk pengungsi Palestina, UNRWA.
Fouad Hammad, seorang supervisor kesehatan mental UNRWA, mengatakan mereka biasanya menemui 10 hingga 15 orang dewasa setiap hari di tempat penampungan di Khan Younis dengan gangguan makan dan tidur, kemarahan yang ekstrem, dan masalah lainnya.
Mahmoud Rayhan melihat keluarganya hancur. Sebuah serangan Israel membunuh anak laki-laki dan perempuan kecilnya. Kaki istrinya diamputasi. Sekarang dia mengisolasi dirinya di dalam tenda dan tidur hampir sepanjang hari. Dia hampir tidak berbicara dengan siapa pun.
Dia mengatakan tidak tahu bagaimana mengekspresikan apa yang terjadi padanya. Dia gemetar. Dia berkeringat. "Saya terus menangis dan hanya merasa berat di hati."
Seorang kerabat, Abdul-Rahman Rayhan, kehilangan ayah, dua saudara, dan empat sepupu dalam serangan. Sekarang ketika dia mendengar pengeboman, dia gemetar dan pusing, jantungnya berdebar. "Saya merasa seperti dalam mimpi buruk, menunggu Tuhan membangunkan saya," kata pemuda 20 tahun itu.
Baca Juga: Trump Dinilai Akan Lanjutkan Kebijakan Pro-Israel jika Terpilih, Pendukungnya Anggap Palestina Musuh
Bagi anak-anak, dampak mental perang dapat terjadi jangka panjang dan memengaruhi pertumbuhan dan perkembangan, kata Wendt. Anak-anak di Gaza mengalami mimpi buruk dan mengompol karena stres, kebisingan, kerumunan, dan perubahan yang konstan, katanya.
Nashwa Nabil di Deir al-Balah mengatakan tiga anaknya kehilangan semua rasa aman. Anak tertuanya berusia 13 tahun dan yang termuda berusia 10 tahun.
"Mereka tidak bisa lagi mengontrol buang air kecil, mereka mengunyah pakaian mereka, mereka berteriak dan menjadi agresif secara verbal dan fisik," katanya. "Ketika anak saya Moataz mendengar pesawat atau tank, dia bersembunyi di tenda."
Di kota tengah Deir al-Balah, tim psikososial dengan Asosiasi Al Majed bekerja dengan puluhan anak, mengajarkan mereka bagaimana merespons realitas perang dan memberi mereka ruang untuk bermain.
"Dalam kasus serangan, mereka menempatkan diri dalam posisi janin dan mencari keselamatan jauh dari bangunan atau jendela. Kami memperkenalkan skenario, tetapi apa pun bisa terjadi di Gaza," kata manajer proyek Georgette Al Khateeb.
Bahkan bagi mereka yang berhasil keluar dari Gaza, beban mental tetap tinggi.
Mohamed Khalil, istrinya, dan tiga anak mereka terpaksa pindah tujuh kali sebelum sampai ke Mesir. Istrinya dan anak-anaknya tiba bulan Januari dan dia bergabung dengan mereka bulan Maret. Anak perempuan mereka yang berusia 8 tahun akan bersembunyi di kamar mandi saat ada penembakan seraya mengatakan, "Kita akan mati."
Anak laki-laki mereka yang berusia 6 tahun hanya bisa tidur setelah ibunya mengatakan bahwa mati sebagai syahid adalah kesempatan untuk bertemu Tuhan dan meminta buah dan sayuran yang tidak mereka miliki di Gaza yang dilanda kelaparan.
Khalil mengenang ketakutan mereka saat melarikan diri dengan berjalan kaki di koridor 'aman' yang ditunjuk dengan tembakan Israel di dekatnya.
Baca Juga: Bikin Gaduh, Menteri Sayap Kanan Israel Datangi Masjid Al-Aqsa, Bakal Ganggu Negosiasi dengan Hamas
Bahkan setelah tiba di Mesir, anak-anak masih introver dan takut, kata Khalil.
Mereka mendaftar dalam inisiatif baru di Kairo, Layanan Psikologis dan Akademis untuk Palestina, yang menawarkan sesi terapi seni dan bermain serta kelas matematika, bahasa, dan pendidikan jasmani.
"Kami melihat kebutuhan anak-anak ini yang melihat lebih banyak kengerian daripada yang pernah kita lihat," kata pendirinya, psikolog Rima Balshe.
Dalam perjalanan lapangan baru-baru ini, dia mengenang sepasang kembar berusia 5 tahun dari Gaza yang sedang bermain dan tiba-tiba membeku saat mendengar helikopter.
"Apakah ini pesawat perang Israel?" tanya mereka. Rima menjelaskan itu adalah pesawat Mesir.
"Jadi orang Mesir menyukai kami?" tanya mereka. "Ya," sahut Rima meyakinkan mereka.
Mereka telah meninggalkan Gaza, tetapi rupanya Gaza belum meninggalkan mereka.
Ada harapan anak-anak yang trauma oleh perang bisa sembuh, tetapi mereka memiliki jalan yang panjang untuk dilalui, kata Balshe.
"Saya tidak akan mengatakan 'sembuh', tetapi saya pasti melihat bukti awal pemulihan. Mereka mungkin tidak akan pernah pulih sepenuhnya dari trauma yang mereka alami, tetapi kami sekarang sedang bekerja pada penanganan kehilangan dan kesedihan," katanya.
"Ini adalah proses yang panjang."
Penulis : Edwin Shri Bimo Editor : Vyara-Lestari
Sumber : Associated Press