Hamas: Tidak Ada yang Tahu, Termasuk Kami, Berapa Banyak Sandera Israel yang Masih Hidup
Kompas dunia | 16 Juni 2024, 16:02 WIBBEIRUT, KOMPAS.TV - Pejabat senior Hamas yang bermarkas di London, Inggris, Osama Hamdan, mengatakan kelompoknya tidak tahu berapa banyak sandera Israel yang mereka tahan di Gaza dan masih hidup. Pernyataan ini muncul di tengah posisi yang diambil oleh Israel dan Hamas yang bisa menghambat kesepakatan gencatan senjata.
Menurut Hamdan dalam wawancara dengan CNN bahwa tidak ada yang tahu berapa banyak dari 120 sandera yang masih hidup. Estimasi Israel menunjukkan setidaknya sepertiga meninggal dalam tahanan atau tewas saat ditangkap.
Brigade Izz ad-Din al-Qassam, sayap militer Hamas, di Telegram hari Jumat mengklaim dua sandera Israel tewas dalam serangan udara Israel beberapa hari terakhir.
Hamdan juga menyampaikan posisi Hamas terhadap proposal gencatan senjata yang didukung Amerika Serikat (AS) dan didukung oleh resolusi Dewan Keamanan PBB.
"Hamas perlu kepastian soal posisi jelas dari Israel untuk menerima gencatan senjata, penarikan total dari Gaza, dan membiarkan Palestina menentukan masa depan mereka sendiri," kata Hamdan, Jumat (14/6/2024).
Dia juga menekankan perlunya rekonstruksi dan diakhirinya blokade Israel yang sudah berlangsung bertahun-tahun di Gaza.
"Setelah itu, kami siap untuk membicarakan kesepakatan pertukaran tahanan yang adil," ujarnya.
Komentar Hamdan ini adalah sinyal publik paling jelas dari posisi Hamas, yang sebagian besar tidak berubah dalam negosiasi yang gagal sebelumnya. Negosiasi itu berisi bahwa persetujuan Hamas bergantung pada kesediaan Israel untuk mengakhiri konflik dan menarik pasukannya dari Gaza.
Di sisi lain, pejabat Israel mengatakan mereka melihat respons Hamas, meskipun sebelumnya menyatakan positif tentang proposal gencatan senjata, sebagai penolakan terhadap kesepakatan yang diusulkan, yang akan menukar sandera dengan tahanan Palestina yang ditahan di penjara Israel.
Baca Juga: Pejabat AS Khawatir Perang Total Pecah antara Israel dan Hizbullah
Sementara itu, Presiden AS Joe Biden menyebut Hamas sebagai hambatan terbesar untuk gencatan senjata. Hingga saat ini, tidak ada bukti bahwa pemerintah Israel atau Hamas tertarik untuk kompromi terkait gencatan senjata yang bermakna. Pejabat Israel melihat setiap kesepakatan sebagai waktu terbatas yang memungkinkan Israel melanjutkan serangannya terhadap Hamas.
"Saya telah mengajukan pendekatan yang didukung oleh Dewan Keamanan PBB, oleh G7, oleh Israel, dan hambatan terbesar sejauh ini adalah Hamas menolak menandatanganinya meskipun mereka telah mengajukan sesuatu yang serupa. Apakah itu akan terwujud masih harus dilihat," kata Biden saat berbicara pada KTT G7 di Italia.
Sebuah laporan pada hari Jumat di surat kabar Israel Haaretz, mengutip seorang pejabat senior yang tidak disebutkan namanya, mengatakan Israel tidak akan mengirim delegasi untuk melanjutkan pembicaraan gencatan senjata.
"Hamas telah memperkenalkan "uluhan modifikasi [terhadap rencana gencatan senjata yang didukung Biden] yang mengubahnya menjadi tidak dikenali," tulis laporan tersebut.
Optimisme bahwa resolusi PBB bisa mendorong pembicaraan yang lebih berarti kini menguap seiring gagalnya upaya AS untuk mengakhiri pertempuran.
Sejak mundurnya menteri senior Benny Gantz dan partainya yang lebih moderat, Partai Persatuan Nasional (NU), dari pemerintah koalisi darurat Israel, Benjamin Netanyahu menjadi lebih bergantung pada partai-partai sayap kanan yang menyatakan tidak akan menerima kesepakatan gencatan senjata.
Sejak pengunduran diri Gantz, dilaporkan mendapat peningkatan dukungan, menurut jajak pendapat terbaru.
Jajak pendapat, dari harian kiri Ma’ariv dan surat kabar kanan Israel Hayom, menunjukkan partai Likud Netanyahu memenangkan 21 kursi jika pemilihan diadakan, di belakang NU dengan 24 kursi, yang turun tajam dari awal perang ketika NU memperoleh dukungan di angka hampir 40 kursi.
Baca Juga: Israel Larang Calon Jemaah Haji Palestina dari Gaza Pergi ke Makkah, Imbas Rafah Dikuasai Zionis
Seperti diketahui, serangan balasan Israel di Gaza menewaskan setidaknya 37.300 orang, sebagian besar warga sipil, menurut kementerian kesehatan wilayah yang dikuasai Hamas tersebut. Perang telah menyebabkan kehancuran besar di Gaza, dengan rumah sakit tidak berfungsi dan PBB memperingatkan terjadinya wabah kelaparan.
Badan utama PBB untuk pengiriman bantuan pangan, Program Pangan Dunia WFP, menghentikan penggunaan dermaga yang dibangun AS untuk pengiriman bantuan maritim ke Gaza karena masalah keamanan.
Israel juga dituduh menyalahgunakan zona keamanan di sekitar dermaga bantuan darurat untuk meluncurkan misi penyelamatan sandera baru-baru ini yang membantai sekitar 270 warga Palestina di kamp pengungsi Nuseirat.
Baca Juga: Blinken di Qatar: Hamas Ajukan Beberapa Amandemen Draft Gencatan Senjata, AS Berupaya Menjembatani
"Kita harus sangat berhati-hati dengan apa yang kita nilai dan simpulkan," kata kepala kemanusiaan PBB, Martin Griffiths.
Kebuntuan yang berlanjut mengenai isu gencatan senjata terjadi di tengah pertempuran yang makin sengit di utara Israel ketika kelompok Hezbollah Lebanon menembakkan puluhan drone dan roket ke Israel selama tiga hari berturut-turut setelah Israel membunuh komandan Hezbollah, yang paling senior dalam delapan bulan konflik, awal pekan ini.
Menteri pertahanan Israel hari Jumat menolak inisiatif Prancis untuk komisi tripartit dengan AS dan Israel untuk meredakan ketegangan. Kekhawatiran internasional meningkat atas eskalasi yang terus berlanjut dengan Hezbollah.
"Prancis mengadopsi kebijakan yang bermusuhan terhadap Israel. Dengan melakukan itu, Prancis mengabaikan kekejaman yang dilakukan oleh Hamas terhadap anak-anak, perempuan, dan pria Israel. Israel tidak akan menjadi pihak dalam kerangka trilateral yang diusulkan oleh Prancis," papar Yoaf Gallant dalam sebuah pernyataan.
Gallant tampaknya merujuk pada keputusan terbaru Prancis untuk melarang perusahaan Israel berpartisipasi dalam pameran senjata bergengsi.
Penulis : Edwin Shri Bimo Editor : Gading-Persada
Sumber : Guardian