> >

Fenomena Alam "Dzud", Salju Tebal Sekaligus Kekeringan, yang bunuh Lebih 7 Juta Ternak di Mongolia

Kompas dunia | 13 Juni 2024, 09:30 WIB
Seorang penggembala Mongolia berdiri di dekat ternaknya di Ulaangom Soum, provinsi Uvs, Mongolia, pada 1 Maret 2024. Fenomena cuaca ekstrem yang dikenal sebagai dzud telah membunuh lebih dari 7,1 juta hewan di Mongolia tahun ini, mengancam mata pencaharian para penggembala. (Sumber: Mongolian Red Cross / AP Photo)

HANOI, KOMPAS.TV - Fenomena cuaca ekstrem yang dikenal sebagai dzud membunuh lebih dari 7,1 juta hewan ternak di Mongolia tahun ini, atau lebih sepersepuluh seluruh populasi ternak negara itu. Hal ini mengancam mata pencaharian dan cara hidup para penggembala.

Dzud adalah kombinasi dari kekeringan berkepanjangan dan musim dingin yang bersalju lebat. Fenomena ini semakin parah dan sering terjadi karena perubahan iklim. Dzud paling sering terjadi di Mongolia, tetapi juga dapat terjadi di bagian lain Asia Tengah.

Banyak kematian terjadi selama musim semi, terutama pada hewan betina yang kurang gizi dan anak-anaknya. Musim semi adalah musim kelahiran hewan ternak. Penggembalaan adalah pusat ekonomi dan budaya Mongolia, menyumbang 80% dari produksi pertanian dan 11% dari PDB negara itu.

Dalam bahasa Mongolia, kata dzud berarti bencana. Dzud terjadi ketika salju yang sangat tebal menciptakan lapisan salju dan es yang tidak bisa ditembus, sehingga hewan tidak bisa merumput dan akhirnya kelaparan hingga mati.

Kekeringan pada waktu lain dalam setahun berarti tidak ada cukup pakan bagi hewan untuk menambah berat badan mereka untuk menghadapi musim dingin.

Dzud dulunya terjadi sekali dalam satu dekade, tetapi sekarang semakin parah dan sering terjadi karena perubahan iklim. Dzud tahun ini adalah yang keenam dalam dekade terakhir dan yang terburuk sejauh ini. Dzud ini terjadi setelah peristiwa alam serupa tahun lalu dan musim panas yang kering. Curah salju tahun ini adalah yang terberat sejak 1975.

Jumlah ternak yang mati melonjak, dari 2,1 juta sapi, domba, dan kambing mati pada Februari, menjadi 7,1 juta pada Mei, menurut media pemerintah.

"Ribuan keluarga kehilangan lebih dari 70% dari seluruh ternak mereka. Jumlah kematian total dapat meningkat menjadi 14,9 juta hewan, atau hampir 24% dari total ternak Mongolia," kata Wakil Perdana Menteri S. Amarsaikhan, menurut media pemerintah.

Penggembalaan nomaden sangat penting bagi 3,3 juta orang Mongolia yang kaya sumber daya sehingga konstitusi negara itu menyebutkan 65 juta unta, yak, sapi, domba, kambing, dan kuda sebagai kekayaan nasional.

Ternak dan produk ternak adalah ekspor terbesar kedua Mongolia setelah pertambangan, menurut Bank Pembangunan Asia ADB.

Baca Juga: MUI Keluarkan Fatwa Cegah Krisis Iklim: Haram Deforestasi, Membakar Hutan dan Lahan

Seorang penggembala Mongolia menyiapkan kayu untuk memanaskan ger keluarga dekat anggota Palang Merah Mongolia di Ulaangom Soum, provinsi Uvs, Mongolia, pada 1 Maret 2024. Fenomena cuaca ekstrem yang dikenal sebagai dzud telah membunuh lebih dari 7,1 juta hewan di Mongolia tahun ini, mengancam mata pencaharian para penggembala. (Sumber: Mongolian Red Cross / AP Photo)

“Kerugian ternak memberikan pukulan yang tidak dapat dipulihkan terhadap stabilitas ekonomi dan memperburuk situasi masyarakat yang sudah sulit,” kata Olga Dzhumaeva, kepala delegasi Asia Timur di Federasi Internasional Palang Merah dan Bulan Sabit Merah (IFRC), dalam wawancara dengan The Associated Press.

Mahalnya bahan bakar, makanan, dan pakan memperburuk situasi Gantomor, seorang penggembala berusia 38 tahun di provinsi pegunungan Arkhangai. Seperti banyak orang Mongolia, dia hanya menggunakan satu nama.

Peringatan dzud mendorong Gantomor menjual seluruh kawanan sekitar 400 dombanya.

"Dia hanya menyimpan yak dan kuda yang lebih kuat, berharap bisa membawa mereka ke padang rumput yang tidak terlalu terpengaruh," kata adik iparnya, Gantuya Batdelger, 33 tahun, seorang mahasiswa pascasarjana.

Meskipun telah menghabiskan lebih dari Rp30 juta untuk mengangkut sekitar 200 hewan yang tersisa sejauh 200 kilometer ke tempat yang dianggapnya lebih aman, Gantomor tetap tidak lolos dari dzud.

Tujuh puluh yak mati dan 40 kuda meninggalkan kawanan, meninggalkannya dengan kurang dari 100 ekor.

“Dengan menjual domba, (keluarga) ingin menyimpan uang. Tapi mereka menghabiskan semuanya,” kata Batdelger.

Saudaranya lebih beruntung dibandingkan yang lain. Seorang teman kehilangan hampir semua dari 250 yak, hanya tersisa 15 ekor.

"Pedalaman Mongolia dipenuhi ratusan bangkai hewan, menumpuk di salju yang mencair," imbuhnya lagi.

Mengurus bangkai hewan dengan cepat agar tidak menyebarkan penyakit adalah tantangan besar lainnya. Pada awal Mei, 5,6 juta atau hampir 80% dari hewan yang mati telah dikubur.

Suhu yang lebih hangat dapat menyebabkan kebakaran hutan atau badai debu. Aliran air yang deras dari salju yang mencair meningkatkan risiko banjir bandang, terutama di daerah perkotaan.

"Banyak hewan ternak yang hamil, yang lemah akibat musim dingin, kehilangan anak mereka, kadang-kadang karena tidak dapat memberi makan dengan cukup," sambung Matilda Dimovska, perwakilan UNDP di Mongolia,

Dzud adalah contoh sempurna bagaimana perubahan iklim terkait dengan kemiskinan dan ekonomi, katanya. Penggembala yang kehilangan ternak mereka sering pindah ke kota-kota seperti Ulaanbaatar, tetapi menemukan sedikit kesempatan kerja.

“Mereka memasuki siklus kemiskinan,” katanya.

Baca Juga: Gelombang Panas Ekstrem di Asia dan Timur Tengah Dipicu Perubahan Iklim yang Disebabkan Manusia

Emisi karbon dari pembangkit listrik tenaga batu bara berkontribusi terhadap polusi udara di Ulaanbaatar, Mongolia, dipandang berkontribusi pada krisis iklim. (Sumber: ADB/Ariel Javellana via UN News)

"Semakin seringnya dzud membuat Mongolia mengembangkan sistem peringatan dini yang lebih baik untuk bencana alam," kata Mungunkhishig Batbaatar, direktur negara dari organisasi nirlaba People in Need.

Menggabungkan teknologi dengan pendekatan tingkat komunitas bekerja dengan baik.

“Diperkirakan negara-negara dengan cakupan peringatan dini yang terbatas mencatat kematian akibat bencana delapan kali lebih tinggi daripada negara-negara dengan cakupan yang substansial hingga komprehensif,” tambah dia.

"Sementara itu, bantuan internasional sangat tidak memadai," kata Dzhumaeva.

Seruan IFRC yang diluncurkan pada pertengahan Maret belum mencapai 20% dari targetnya sebesar 5,5 juta Franc Swiss (Rp93 miliar).

Mongolia butuh bantuan

"Anggaran yang ketat karena tanggapan mendesak terhadap krisis seperti Ukraina atau Gaza menjadi faktor. Tetapi ini menyisakan sedikit ruang untuk mengatasi dampak menghancurkan dzud di Mongolia,” paparnya.

Mongolia membutuhkan bantuan tetapi juga perlu beradaptasi dengan dzud dengan strategi seperti peramalan cuaca yang lebih baik dan langkah-langkah untuk menghentikan penggembalaan berlebihan. Penggembala perlu mendiversifikasi pendapatan mereka untuk membantu mengurangi dampak kerugian ternak.

Khandaa Byamba, 37 tahun, seorang penggembala unta yang tinggal di provinsi Dundgobi di Gurun Gobi Mongolia mengatakan dalam wawancara online bahwa dia belajar dari orangtua dan juga dari pengalaman sulit menghadapi dzud yang berulang.

Melihat tanda-tanda awal dari dzud lain, dia membiarkan untanya berkeliaran, mengandalkan naluri mereka sendiri untuk mencari padang rumput. Keluarganya sebelumnya memutuskan hanya menggembala unta untuk menghadapi perubahan iklim, kekeringan, dan padang rumput yang semakin memburuk yang berubah menjadi gurun.

Suami Khandaa Byamba mengikuti unta selama 100 kilometer pertama sementara dia tinggal di belakang dengan beberapa hewan muda.

Saat salju menumpuk, keluarga lain melaporkan kehilangan banyak hewan. Tetapi setelah musim dingin, sebagian besar untanya kembali. Mereka hanya kehilangan tiga unta dewasa dan 10 unta muda dari kawanan mereka yang berjumlah lebih dari 200 ekor.

“Tahun ini adalah yang terberat,” tandas dia.

 

Penulis : Edwin Shri Bimo Editor : Gading-Persada

Sumber : Associated Press


TERBARU