Tuntutan Kemerdekaan dari Wilayah Jajahan Prancis Semakin Menggema, Paris Mumet
Kompas dunia | 9 Juni 2024, 03:15 WIBANKARA, KOMPAS.TV - Prancis makin menghadapi gerakan kemerdekaan dari berbagai wilayah jajahannya, yang mencakup 18% wilayah Prancis dan dihuni oleh 2,6 juta orang.
Koloni Prancis punya status politik yang berbeda-beda, termasuk Guadeloupe, Martinique, Saint-Martin, Saint-Barthélemy, Saint Pierre dan Miquelon di Samudra Atlantik; Reunion, Mayotte, dan Wilayah Selatan dan Antartika Prancis di Samudra Hindia; sementara Polinesia Prancis, Kaledonia Baru, Wallis dan Futuna berada di Samudra Pasifik; serta Guyana Prancis di Amerika Selatan.
Sebanyak 12 koloni Prancis, yang terdekat sekitar 4.000 kilometer dari Prancis dan yang terjauh 17.000 kilometer, jauh dari induknya, Prancis, dalam urusan standar hidup.
Menghadapi berbagai masalah sosial ekonomi dan mengeluhkan ketidakcukupan infrastruktur serta layanan keamanan yang disediakan oleh pemerintahan Prancis, koloni-koloni ini menuntut lebih banyak otonomi, bahkan kemerdekaan.
Gerakan Kemerdekaan Ditekan di Kaledonia Baru
Di Kaledonia Baru, yang berjarak sekitar 17.000 kilometer dari daratan Prancis, gerakan kemerdekaan memobilisasi dukungan namun dihajar dengan inisiatif reformasi konstitusi pemerintah Prancis untuk mengurangi pengaruh penduduk asli dalam pemilihan umum.
Upaya pemerintah Prancis membuka jalan bagi orang Prancis yang tinggal di pulau itu setidaknya selama 10 tahun untuk memberikan suara dalam pemilihan, bertentangan dengan Perjanjian Noumea yang ditandatangani dengan penduduk setempat pada tahun 1988, akhirnya memunculkan protes dan unjuk rasa besar-besaran.
Pemerintah Prancis mengirim polisi dan gendarmerie ke pulau itu untuk menekan protes yang berlangsung sekitar sebulan. Tujuh orang tewas dalam insiden yang terjadi di pulau itu. Keadaan darurat, yang diumumkan pada 13 Mei, dicabut pada 27 Mei ketika situasi terkendali di ibu kota, Noumea.
Presiden Prancis Emmanuel Macron tidak menarik RUU reformasi konstitusi selama kunjungannya ke pulau itu dan memberi waktu untuk dialog antara pendukung dan penentang.
Baca Juga: Pemimpin Pro-Kemerdekaan Kaledonia Baru Serukan Pendukung untuk Tetap Melawan Prancis
Guyana Prancis Ingin Lebih Banyak Otonomi
Guyana Prancis di Amerika Selatan, 7.000 kilometer dari Prancis, mengalami masalah keamanan. Imigrasi ilegal dan penambangan emas ilegal di perbatasan Brasil adalah salah satu masalah utama koloni berpenduduk 300.000 orang ini, di mana tingkat pembunuhan 10 kali lebih tinggi dari induknya di Prancis.
Tingkat kemiskinan dan pengangguran tinggi, dengan penduduk mengeluhkan pemerintah tidak cukup investasi sektor infrastruktur dan kesehatan.
Hampir 40% populasi muda di Guyana Prancis pergi ke luar negeri untuk mencari pendidikan dan atau pekerjaan.
Pemerintah setempat bereaksi terhadap fakta bahwa Macron menjanjikan lebih banyak otonomi ke pulau Prancis di Mediterania, Korsika, sementara langkah serupa tidak diambil untuk Guyana.
Gabriel Serville, Ketua Parlemen Guyana Prancis, mengkritik "standar ganda" pemerintah dalam memberikan lebih banyak otonomi, menyatakan keanekaragaman budaya pulau Korsika, yang berjarak 160 kilometer dari Prancis, didahulukan tetapi Guyana Prancis, yang berjarak 7.000 kilometer, tidak diperlakukan sama.
Kongres Guyana Prancis memilih pada tahun 2020 untuk meminta otonomi yang lebih besar dengan status khusus. Meskipun ada permintaan dari penduduk, setelah hampir empat tahun, tidak ada kemajuan dalam negosiasi dengan Paris mengenai regulasi konstitusional.
Baca Juga: Macron Terbang ke Kaledonia Baru di Tengah Kerusuhan Penduduk Asli Menentang Penjajahan Prancis
Tuntutan Otonomi Meningkat Setelah Protes Covid-19 di Guadeloupe dan Martinique
Pulau Karibia Guadeloupe, dengan populasi 400.000 orang yang berjarak sekitar 7.000 kilometer dari Prancis, mengalami masalah keamanan karena tingkat kejahatan yang enam kali lebih tinggi dari rata-rata nasional Prancis dan tingkat perampokan bersenjata yang 20 kali lebih tinggi.
Karena semakin banyaknya anak muda yang terlibat dalam kejahatan, jam malam diberlakukan pada bulan April untuk Pointe-a-Pitre, ibu kota komersial pulau itu, bagi mereka yang berusia di bawah 18 tahun.
Ada protes intens di pulau itu akibat langkah-langkah lockdown yang diterapkan oleh pemerintah Prancis selama pandemi Covid-19. Prancis mengirim pasukan keamanan ke wilayah tersebut untuk menekan protes yang menyebar di Martinique dari koloni lain.
Karena itu, sementara diskusi otonomi kembali mencuat, Menteri Wilayah Seberang Laut Prancis saat itu, Sebastien Lecornu, mengatakan Paris "siap untuk negosiasi otonomi."
Setelah protes akibat wabah Covid-19., tuntutan otonomi juga mendapatkan momentum di koloni tetangga, Martinique.
Presiden Dewan Eksekutif Martinique, Serge Letchimy, mencari dukungan dari mitra regional untuk memberikan status otonomi kepada pulau itu tanpa memisahkan diri dari Prancis.
Pada bulan November, Kongres Martinique memilih untuk menambahkan pasal dalam Konstitusi Prancis yang memungkinkan undang-undang disesuaikan dengan realitas sosial dan ekonomi pulau itu.
Baca Juga: Fakta-Fakta Kaledonia Baru: Bekas Koloni Hukuman Prancis di Pasifik, Banyak Keturunan Jawa di Sana
Masalah Keamanan dan Air di Mayotte, Wilayah Termiskin Prancis
Dalam beberapa tahun terakhir, terdapat masalah keamanan di Mayotte, koloni di Samudra Hindia, sekitar 8.000 kilometer dari Prancis di Eropa.
Kekurangan air minum, yang telah berlangsung selama bertahun-tahun, mencapai tingkat krisis di pulau berpenduduk 310.000 ini, yang menghadapi "kekeringan terburuk abad ini." Pada bulan November, pemerintah Prancis membuat 82 titik suplai air di pulau itu dan mulai mendistribusikan air minum kepada penduduk dengan bantuan tentara.
Di pulau yang mengalami masuknya imigran ini, pemerintah memutuskan untuk membuat perubahan konstitusional untuk membatasi "kewarganegaraan yang diperoleh melalui kelahiran."
Menteri Dalam Negeri Prancis Gerald Darmanin mengumumkan pada bulan Februari bahwa anak-anak imigran yang lahir di pulau itu tidak akan "otomatis" menjadi warga negara Prancis.
Dengan regulasi baru ini, anak-anak yang lahir di Pulau tersebut diharuskan memiliki orang tua berkewarganegaraan Prancis untuk menjadi warga negara Prancis. Pembatasan kewarganegaraan ini diambil terhadap imigran dari Kepulauan Komoro yang disalahkan atas memburuknya kondisi hidup di Pulau tersebut.
Di pulau yang lebih dari 90% penduduknya Muslim ini, wabah kolera, yang umumnya ditularkan melalui air kotor, makin parah dalam beberapa bulan terakhir.
Pemerintah Prancis mengirim 1.700 polisi dan tentara pada bulan April dan meluncurkan operasi 11 minggu untuk mengendalikan situasi keamanan di pulau yang mengalami arus masuk imigran yang tidak teratur. Menurut data, standar hidup penduduk Mayotte tujuh kali lebih rendah dari Prancis dan 77% penduduk hidup di bawah garis kemiskinan.
Baca Juga: Harga Nikel Dunia Naik ke Harga Tertinggi akibat Kerusuhan Kaledonia Baru, Ini Sebabnya
Partai Pro-Kemerdekaan Berkuasa di Polinesia Prancis
Polinesia Prancis, yang terdiri dari lebih dari 100 pulau di Pasifik Selatan dengan populasi sekitar 300.000 jiwa dan berjarak sekitar 16.000 kilometer dari Prancis, memprotes dampak dari sekitar 200 uji coba nuklir yang dilakukan Prancis antara tahun 1966 dan 1996.
Partai Pro-Kemerdekaan Tavini Huiraatira memenangkan pemilihan tahun lalu di Polinesia, yang menuntut permintaan maaf dari Prancis atas uji coba yang berdampak serius pada masyarakat.
Sementara pemerintahan Polinesia ingin maju kemerdekaan dan kedaulatan penuh, pemerintah Prancis tidak tertarik dalam negosiasi kemerdekaan dan berargumen pulau tersebut harus bekerja untuk mandiri dalam pertanian, ekonomi, dan pangan sebelum kemerdekaan politiknya.
Reunion
Reunion, yang berjarak sekitar 9.000 kilometer dari Prancis, menandatangani seruan "Fort-de-France" dengan enam koloni pengiringnya pada akhir tahun 2022, menuntut lebih banyak otonomi dari Prancis.
Penandatanganan oleh Presiden Dewan Regional Reunion, Huguette Bello, menciptakan perdebatan di Senat Reunion, dan pihak sayap kanan menyatakan mereka akan berjuang untuk "menjaga pulau tetap menjadi bagian dari Prancis."
Baca Juga: Kerusuhan Berdarah di Kaledonia Baru karena Perubahan Konstitusi, Prancis Malah Salahkan Azerbaijan
Janji Otonomi Unik untuk Korsika
Pulau Korsika di Mediterania, yang lebih dikenal karena kedekatannya dengan Italia daripada Prancis, memiliki sejarah yang berbeda dari wilayah jajahan Prancis yang lain namun dikenal ingin mendapatkan lebih banyak otonomi.
Selama kunjungan pada bulan September ke pulau itu, di mana pendukung kemerdekaan memiliki mayoritas di parlemen, Macron menyerukan "otonomi unik untuk Korsika" dan memberi waktu enam bulan bagi pihak sayap kanan dan pendukung kemerdekaan untuk menyetujui teks umum tentang otonomi.
Pada bulan Maret, para pihak setuju pada teks yang memberikan lebih banyak otonomi ke pulau tersebut. Kemajuan dalam negosiasi otonomi di Korsika, yang punya identitas budaya dan sejarah yang berbeda, disambut dengan reaksi di wilayah jajahan Prancis yang lain, di mana pemerintah tidak menunjukkan pendekatan yang sama.
Dukungan untuk Macron Menurun di Wilayah Seberang Laut
Macron, yang mencapai kesuksesan luar biasa melawan sayap kanan Marine Le Pen dengan 66% suara dalam pemilihan tahun 2017, tidak dapat mencapai kesuksesan yang sama dalam pemilihan tahun 2022.
Macron terpilih untuk kedua kalinya dengan 58%, sementara Le Pen menerima sekitar 42% suara.
Le Pen memenangkan sekitar 60% suara di wilayah seberang laut Guadeloupe, Martinique, Guyana Prancis, Mayotte, dan Reunion, yang memberikan suara untuk Macron dalam pemilihan sebelumnya.
Le Pen juga menerima sekitar 51% suara di Saint Pierre dan Miquelon, serta 48% di Polinesia Prancis.
Penulis : Edwin Shri Bimo Editor : Vyara-Lestari
Sumber : Anadolu