> >

Palestina Peringati 76 Tahun Nakba di Tengah Pembantaian di Gaza

Kompas dunia | 14 Mei 2024, 19:37 WIB
Pengungsi Palestina tiba di Gaza tengah setelah melarikan diri dari kota Rafah di Gaza selatan di Deir al Balah, Jalur Gaza, pada Kamis, 9 Mei 2024. Warga Palestina pada Rabu, 15 Mei 2024, akan memperingati 76 tahun Nakba atau pengusiran ratusan ribu warga Palestina dari wilayah yang sekarang menjadi Israel. (Sumber: AP Photo)

Serangan Israel memaksa sekitar 1,7 juta warga Palestina, sekitar tiga perempat populasi Gaza, untuk melarikan diri dari rumah mereka, sering berkali-kali.

Jumlah tersebut lebih dari dua kali lipat jumlah warga Palestina yang melarikan diri sebelum dan selama perang 1948.

Israel telah menutup perbatasannya. Mesir hanya memperbolehkan sejumlah kecil warga Palestina untuk pergi, sebagian karena khawatir akan terjadi arus masif pengungsi Palestina yang dapat menyebabkan krisis pengungsi jangka panjang lainnya.

Masyarakat internasional sangat menentang setiap pengusiran massal warga Palestina dari Gaza, gagasan yang dianut oleh anggota sayap kanan jauh pemerintah Israel, yang menyebutnya sebagai "emigrasi sukarela."

Israel telah lama meminta agar para pengungsi tahun 1948 diserap negara-negara lain, dengan mengatakan tuntutan untuk kembali mereka tidak realistis dan akan membahayakan eksistensinya sebagai negara mayoritas Yahudi.

Israel merujuk pada ratusan ribu orang Yahudi yang datang ke Israel dari negara-negara Arab selama kekacauan yang terjadi setelah pendiriannya di atas tanah Palestina, meskipun sedikit dari mereka yang ingin kembali.

Baca Juga: Murka dengan Israel, Mesir Dukung Afrika Selatan dalam Gugatan di Mahkamah Internasional

Anak-anak Palestina, yang menjadi pengungsi akibat serangan udara dan darat Israel di Jalur Gaza, bermain bersama saat mereka berdiri di tenda darurat di Deir al Balah, Senin, 13 Mei 2024. (Sumber: AP Photo)

Bahkan jika warga Palestina tidak diusir secara massal dari Gaza, banyak yang khawatir mereka tidak akan pernah bisa kembali ke rumah mereka atau kehancuran yang ditimbulkan di wilayah itu akan membuatnya tidak mungkin untuk tinggal di sana.

Perkiraan PBB baru-baru ini mengatakan, dibutuhkan hingga tahun 2040 untuk membangun kembali rumah-rumah yang hancur di Gaza.

Pada 1948, ratusan desa Palestina yang ditinggalkan penduduknya dihancurkan setelah perang, sementara orang-orang Israel pindah ke rumah-rumah warga Palestina di Yerusalem, Jaffa, dan kota-kota lain.

Di Gaza, Israel melakukan serangan militer yang paling mematikan dan merusak dalam sejarah baru-baru ini, kadang-kadang menjatuhkan bom 900 kilogram di area permukiman yang padat.

Seluruh lingkungan telah menjadi tanah kosong yang dipenuhi puing-puing dan jalan-jalan berlubang, banyak di antaranya dipenuhi dengan bom yang belum meledak.

Bank Dunia memperkirakan nilai kerusakan di Gaza mencapai 18,5 miliar dolar Amerika Serikat, setara dengan produk domestik bruto seluruh wilayah Palestina pada tahun 2022.

Dan itu per Januari 2024, di hari-hari awal operasi darat Israel yang menghancurkan di Khan Younis dan sebelum masuk ke Rafah.

Yara Asi, asisten profesor Palestina di University of Central Florida yang telah melakukan penelitian tentang kerusakan infrastruktur sipil dalam perang, mengatakan "sangat sulit" membayangkan upaya internasional yang diperlukan untuk membangun kembali Gaza.

Bahkan sebelum perang, banyak orang Palestina berbicara tentang Nakba yang sedang berlangsung, di mana Israel secara bertahap memaksa mereka keluar dari Gaza, Tepi Barat, dan Yerusalem Timur.

Ketiga wilayah tersebut, yang diduduki Israel selama perang 1967 hingga sekarang,  diinginkan warga Palestina untuk menjadi wilayah negara masa depan mereka.

Mereka merujuk pada pembongkaran rumah, pembangunan permukiman khusus Yahudi di tanah-tanah Palestina yang diduduki Israel, dan kebijakan diskriminatif lainnya yang sudah lama ada sebelum perang.

Kelompok-kelompok hak asasi manusia menyebutnya sebagai apartheid, tuduhan yang dibantah Israel.

Asi dan lainnya khawatir jika Nakba terjadi lagi, itu akan berbentuk keberangkatan bertahap.

"Itu tidak akan disebut pemindahan paksa dalam beberapa kasus. Itu akan disebut emigrasi, itu akan disebut sesuatu yang lain," katanya.

"Tetapi pada intinya, ini adalah orang-orang yang ingin tinggal, yang telah melakukan segalanya untuk tinggal selama beberapa generasi dalam kondisi yang tidak mungkin, akhirnya mencapai titik di mana hidup tidak dapat ditinggali."

 

Penulis : Edwin Shri Bimo Editor : Edy-A.-Putra

Sumber : Associated Press


TERBARU