Bekas PM Israel Ehud Barak Sebut Hamas Masih Kuat di Gaza Utara dan Selatan: Netanyahu Harus Dipecat
Kompas dunia | 30 November 2023, 23:00 WIBJERUSALEM, KOMPAS.TV - Mantan Perdana Menteri Israel, Ehud Barak menyebut gerakan Hamas jauh dari kehancuran di Selatan Gaza dan tetap mempertahankan kapabilitasnya di bagian Gaza Utara, Kamis (30/11/2023).
Dalam sebuah artikel yang dipublikasikan surat kabar Israel Haaretz pada Selasa (28/11) seperti dilaporkan Anadolu, Kamis, (30/11/2023), Ehud Barak menulis, "Sekitar dua bulan setelah perang dimulai, Israel mendekati persimpangan penting. Pasukan Israel membuat kemajuan yang cukup di Utara Jalur Gaza, tetapi Hamas masih jauh dari kehancuran di selatan Gaza dan mempertahankan kapabilitas di utara juga."
Dia menambahkan, "untuk bertahan dalam situasi sulit, sangat penting untuk menyelesaikan misi membongkar kemampuan militer dan pemerintahan Hamas, meskipun menghadapi tekanan eksternal."
Namun, dia juga menyadari mencapai hal tersebut memerlukan waktu berbulan-bulan bahkan mungkin lebih.
Meski begitu, Ehud Barak mengingatkan, legitimasi internasional "anjlok cepat, dan ketegangan di belakang pintu tertutup, termasuk dengan Amerika Serikat, bisa mencapai titik ledak."
Dalam pernyataan ini, Ehud Barak mengindikasikan kekhawatirannya terhadap berkurangnya dukungan dan pengakuan internasional untuk tindakan yang diambil oleh pihak Israel.
Ia merujuk pada fakta bahwa opini dan dukungan dunia terhadap suatu konflik dapat berubah dengan cepat, dan adanya ketegangan yang tidak terlihat dengan Amerika Serikat (AS) dan pihak lain dapat mencapai titik kritis yang berpotensi merugikan Israel secara internasional.
"Adalah tanggung jawab Perdana Menteri Benjamin Netanyahu untuk menyinkronkan jam-jam ini dan mendapatkan waktu yang diperlukan. Tetapi dia gagal dalam tugas ini, dan sekarang kita berada di persimpangan yang menentukan," tegasnya.
Baca Juga: Israel Akui 2.005 Tentaranya Luka dan 28 Kritis selama Operasi Militer, yang Tewas Tidak Diumumkan
Barak menyoroti bahwa "Netanyahu mengabaikan kenyataan bahwa hubungan saling percaya dengan Gedung Putih sangat penting agar Israel mencapai tujuannya."
Dia mengatakan, "Kegagalan Netanyahu dalam memimpin perang terletak pada penolakannya untuk memahami bahwa, dalam hal ini, kemenangan tidak dapat dicapai tanpa posisi yang jelas mengenai 'hari esok' pasca-perang dan rencana untuk mewujudkan visi tersebut."
Barak melanjutkan, "Memiliki posisi seperti itu memungkinkan identifikasi elemen-elemen kritis yang terlibat dan bagaimana bekerja dengan mereka saat ini sehingga mereka akan ada di sana ketika tiba 'hari setelah'."
"Siapa pun yang mengenal Netanyahu dan mengamatinya hari ini pasti akan meragukan dengan serius kemampuannya untuk memimpin kampanye yang begitu kompleks," tandasnya.
Terkait dengan "hari esok," Barak mengungkapkan, "AS membayangkan kehadiran pasukan penjaga perdamaian Arab, dari negara-negara poros moderat, yang, setelah kejatuhan Hamas dan setelah langkah-langkah keamanan diambil, akan mengambil alih kendali dari Israel untuk jangka waktu terbatas di mana 'Otoritas Palestina 2.0 (otoritas yang direvitalisasi) akan diperkenalkan. Pasukan Arab akan membantu Otoritas Palestina mengonsolidasikan kendali atas Jalur Gaza."
Dia menjelaskan, "Joe Biden melihat ini sebagai langkah pertama menuju solusi dua negara, dan oleh karena itu bersedia mendukung Israel secara militer dan ekonomi, dengan angkutan udara dan dengan payung diplomasi di Dewan Keamanan PBB dan Den Haag."
Namun, dia mencatat, "Netanyahu terikat dalam aliansi yang tidak suci dengan Itamar Ben-Gvir dan Bezalel Smotrich, para piromania yang cenderung menyalakan api di Tepi Barat, yang pada gilirannya melindungi dia dari tuntutan penggusuran. Tetapi terutama, mereka memanfaatkannya untuk menegakkan ideologi mereka bahwa Gaza harus kembali sepenuhnya berada di bawah kendali dan tanggung jawab Israel."
Baca Juga: Presiden Xi Jinping Angkat Suara Desak Palestina Merdeka, Batas 1967, Ibu Kota Yerusalem Timur
Barak mengatakan, "Jika itu terjadi, Israel kemungkinan besar akan terperangkap dalam rawa Gaza dan menyebabkan konflik berkepanjangan, krisis dengan pemerintahan Amerika Serikat, dan risiko nyata terhadap hubungan Israel dengan Mesir dan Yordania, Perjanjian Abraham, dan normalisasi dengan Arab Saudi."
Dia menganggap "pertimbangan ini mungkin berada di cakrawala yang jauh, tetapi 'hari esok' harus dianggap sudah dekat, kita harus mengoordinasikan dan membangun hubungan kepercayaan, baik di balik layar maupun dengan AS dan tetangga kita."
Dia menyimpulkan, "Hubungan semacam itu tidak dapat terwujud dengan pemerintah yang saat ini berkuasa, karena, seperti halnya di antara mayoritas publik Israel, di Washington dan ibu kota regional, tidak ada yang percaya sepatah kata pun yang dikatakan Netanyahu."
"Kesimpulan pentingnya adalah pemerintahan Netanyahu menyebabkan kerusakan serius pada posisi strategis Israel dan memimpin perang yang tidak berujung. Kepemimpinan Netanyahu harus diakhiri sebelum konsekuensi dari kelemahannya menjadi tidak dapat diubah," tambah Ehud Barak.
Barak menekankan, "Apa yang (Israel) dibutuhkan saat ini adalah pemerintahan persatuan nasional tanpa Netanyahu dan tanpa Smotrich dan Ben-Gvir."
"Hanya pemerintahan yang bertindak secara bertanggung jawab dan tegas, bebas dari pertimbangan eksternal dan terdistorsi, yang akan mampu membimbing Israel sampai akhir perang dan kemenangan," tambahnya.
Penulis : Edwin Shri Bimo Editor : Vyara-Lestari
Sumber : Anadolu / Haaretz