Warga Gaza Utara Pilih Pulang ke Rumah karena di Selatan Juga Sama: Terbunuh Serangan Israel
Kompas dunia | 26 Oktober 2023, 15:14 WIBDEIR AL BALAH, KOMPAS.TV - Ratusan ribu warga Palestina memutuskan untuk tetap tinggal di rumah mereka di Gaza utara, mengatakan meninggalkan rumah di Gaza Utara sama saja sengaja menemui ajal, baik di rumah mereka atau di tempat lain di Gaza.
Mahmoud Shalabi tidak mengungsi dari rumahnya di utara Gaza meskipun peringatan Israel yang menakutkan tentang serangan lebih brutal yang akan datang saat Israel akan melanjutkan perang mereka melawan kelompok Hamas.
Pekerja bantuan Palestina ini adalah salah satu dari ratusan ribu orang yang memilih untuk tetap tinggal di Gaza Utara. Orang lain yang awalnya mengikuti peringatan Israel untuk pergi ke selatan juga telah kembali ke wilayah utara, di mana Israel menganggap semua orang yang tetap tinggal sebagai "kaki tangan" Hamas, seperti yang dilaporkan oleh Associated Press, Kamis, (26/10/2023).
Shalabi mengatakan, meninggalkan rumahnya di Beit Lahia tidak masuk akal mengingat serangan bom yang terus menerus di selatan Gaza, di mana Israel beberapa kali mendesak lebih dari 1 juta penduduk utara seperti dia untuk mencari perlindungan. Kemacetan di tempat penampungan dan kekurangan air dan makanan di selatan turut berperan dalam keputusan mereka, kata Shalabi dan orang lain yang tetap tinggal.
Mereka mengatakan meninggalkan rumah di Gaza Utara sama saja sengaja menemui ajal, baik di rumah mereka atau di tempat lain di Gaza.
Meninggalkan rumah hanya akan masuk akal jika Israel berhenti menyerang selatan, kata Shalabi, yang bekerja untuk Medical Aid for Palestinians, sebuah badan amal berbasis di Inggris yang menyediakan layanan kesehatan, "Bagi saya, tidak masuk akal jika saya harus meninggalkan rumah saya untuk pergi dan mati di dalam tenda di selatan Gaza," katanya.
Risiko bagi mereka yang tetap tinggal di utara kemungkinan akan meningkat secara eksponensial jika serangan darat Israel yang diperkirakan segera terjadi, setelah dua setengah minggu pengeboman besar-besaran Israel membunuh lebih dari 6.500 nyawa di Gaza, menurut Kementerian Kesehatan Gaza yang dikelola Hamas.
Baca Juga: Israel Disebut Gunakan Kelaparan Warga Palestina di Gaza Sebagai Senjata Perang
Dengan puluhan ribu tentara berkumpul di sepanjang perbatasan Israel dengan Gaza, Perdana Menteri Benjamin Netanyahu pada Rabu, (25/10/2023) mengatakan Israel sedang mempersiapkan invasi darat. Dia enggan mengungkapkan kapan akan dimulai.
Pejabat militer Israel mengatakan mereka bertekad menghancurkan Hamas sebagai respons terhadap serangan 7 Oktober terhadap komunitas perbatasan Israel dan fokusnya akan ada di utara, termasuk Kota Gaza, di mana Israel mengatakan wilayah itu adalah lokasi aset kunci Hamas seperti terowongan dan bunker.
Menurut perkiraan Israel, sekitar 350.000 warga Palestina masih berada di utara Gaza. Pejabat Israel berkali-kali mendorong penduduk Palestina untuk pindah ke selatan, tetapi belum mengatakan apakah kehadiran sejumlah besar warga sipil akan menjadi faktor dalam keputusan untuk mengirimkan tank dan pasukan darat.
Israel mengatakan mereka ingin melancarkan serangan terhadap Hamas dan tidak mengincar warga sipil, tetapi pejabat kesehatan Gaza mengatakan banyak dari yang tewas adalah perempuan dan anak-anak.
Angka-angka itu diperkirakan akan melonjak dengan serangan darat, yang kemungkinan akan melibatkan pertempuran sengit di dalam wilayah perkotaan yang padat.
Kelompok hak asasi manusia internasional sangat mengkritik perintah evakuasi Israel, mengatakan mereka tidak dapat dianggap sebagai peringatan yang efektif bagi warga sipil, menurut aturan hukum internasional, karena kurangnya pilihan yang realistis bagi mereka yang menyelamatkan diri.
Baca Juga: Netanyahu Umumkan Serangan Darat Israel ke Gaza Akan Segera Diluncurkan, Menolak Ungkap Waktunya
Mereka yang memilih untuk tinggal di utara bersiap menghadapi masa-masa yang lebih sulit, tinggal di antara reruntuhan yang dulunya adalah lingkungan yang ramai sementara menghadapi kekurangan bahan bakar, makanan, dan air yang parah di tengah ancaman penutupan rumah sakit yang mengintai.
Pelayanan di utara semakin memburuk sejak perintah evakuasi Israel mendorong setidaknya 700.000 warga Palestina untuk melarikan diri ke selatan. Sebagian besar rumah tidak memiliki listrik, air, atau bahan bakar.
Lebih dari 1,4 juta penduduk Gaza sekarang menjadi pengungsi di seluruh daerah yang sempit ini, dari populasi 2,3 juta orang, dan tempat penampungan PBB sudah penuh tiga kali lipat kapasitasnya, kata badan-badan PBB.
Di utara, seluruh lingkungan telah hancur menjadi puing-puing, "Di mana-mana ada puing, ada mobil yang hancur, ada rumah-rumah yang hancur. Dan sangat sulit untuk berpindah dari satu lokasi ke lokasi lain karena tidak ada bahan bakar," kata Shalabi.
Shalabi mengatakan dia berjalan selama dua jam untuk menemukan sebuah toko roti yang masih menjual roti untuk memberi makan keluarganya yang beranggotakan 10 orang. Rak toko kosong; penduduk hidup dengan kacang kaleng, nanas, dan jagung.
Bahan bakar yang masih tersedia, seringkali dari simpanan pribadi, dijual dengan harga yang mahal. Beberapa menyewakan mesin pompa air kecil, menuntut 50 shekel per jam, jumlah yang besar bagi penduduk Gaza rata-rata.
Baca Juga: Malangnya Jurnalis Al-Jazeera Ini, Serangan Israel ke Gaza Membuat Seluruh Keluarganya Tewas
Pekan ini Shalabi kehabisan uang tunai, dan dia menyusuri blok-blok jalan yang rusak untuk menemukan ATM yang masih berfungsi. Tidak ada satu pun.
Sekitar 50.000 orang tinggal di halaman Rumah Sakit Shifa, rumah sakit terbesar di Gaza, di Kota Gaza. Rumah sakit itu kewalahan dengan aliran terus menerus dari korban luka akibat serangan udara sambil memperingatkan bahwa kekurangan bahan bakar, yang diperlukan untuk menghidupkan generator, dapat menyebabkan pemadaman. Tidak ada bahan bakar baru yang diizinkan masuk ke Gaza sejak serangan 7 Oktober.
Namun, banyak warga Palestina memilih untuk kembali ke utara, lelah berpindah-pindah di bawah tembakan Israel sambil tempat penampungan menjadi sesak dan tidak layak huni. Pengawas PBB memperkirakan bahwa 30.000 orang telah kembali.
Ekhlas Ahmed, 24 tahun dan delapan bulan hamil, adalah salah satunya.
Sepekan yang lalu, dia melarikan diri dari Kota Gaza setelah berulang kali diingatkan oleh Israel untuk pindah ke selatan. Dia kembali setelah rumah tempat dia berlindung bersama 14 anggota keluarganya di selatan dihantam serangan udara Israel. "Itu adalah bangunan hunian dan mereka menghancurkannya," katanya.
Ahmed, yang memiliki seorang anak laki-laki berusia 4 tahun, berharap adanya gencatan senjata, "Saya sangat ketakutan. Kami semua sangat ketakutan," katanya.
Penulis : Edwin Shri Bimo Editor : Desy-Afrianti
Sumber : Associated Press