> >

Kisah Pilu Dokter-dokter Gaza, Memutuskan Siapa yang Diutamakan di Tengah Pengeboman Israel

Kompas dunia | 22 Oktober 2023, 16:11 WIB
Petugas medis Palestina mengelilingi seorang bayi yang luka parah akibat pemboman Israel di Khan Younis, Gaza, Sabtu, (21/10/2023). Kekurangan serius pasokan medis, termasuk ventilator, memaksa tim medis memprioritaskan nyawa yang masih dapat diselamatkan daripada yang perlu perawatan intensif. (Sumber: AP Photo)

"Kami mengalami kekurangan segala sesuatu, sementara kami harus menangani operasi yang sangat rumit," kata Abed, yang bekerja dengan Medecins sans Frontieres kepada Associated Press dari Rumah Sakit Al Quds.

Meskipun militer Israel memberikan perintah evakuasi hari Jumat, rumah sakit ini tetap beroperasi dan masih merawat ratusan pasien. Selain itu, sekitar 10.000 warga Palestina yang terusir akibat serangan juga mencari perlindungan di kompleks rumah sakit ini, "Semua orang ini sangat ketakutan, dan saya juga," kata Abed, "Tetapi tidak mungkin bagi kami untuk evakuasi."

Kekurangan persediaan medis memaksa sebagian staf menggunakan jarum jahit untuk menjahit luka, yang dapat merusak jaringan. Kekurangan perban memaksa petugas medis membungkus luka bakar dengan pakaian, yang bisa menyebabkan infeksi.

Kekurangan implan ortopedi memaksa Abed menggunakan sekrup yang tidak sesuai dengan tulang pasien. Antibiotik pun semakin langka, sehingga dia memberikan satu tablet alih-alih serangkaian dosis kepada pasien yang menderita infeksi bakteri yang serius.

Baca Juga: Bagaimana Hukum Internasional Berlaku dalam Perang? Kenapa Hamas dan Israel Dituduh Melanggar?

Seorang ibu warga Palestina di Khan Younis menggendong jasad keluarganya yang sudah terbungkus kafan usai menjadi korban serangan udara Israel hari Sabtu, (21/10/2023) (Sumber: AP Photo)

Rumah Sakit Shifa, dengan kapasitas maksimal 700 orang, sekarang merawat 5.000 orang, kata direktur umum Mohammed Abu Selmia.

Antrian pasien, sebagian dalam kondisi kritis, mengular keluar dari ruang operasi. Para korban serangan berbaring di lantai atau di tempat tidur roda, yang terkadang masih terkena noda darah dari pasien sebelumnya. Dokter melakukan operasi di koridor yang penuh dengan jeritan pasien.

Adegan-adegan seperti ini, bayi yang datang sendiri ke unit perawatan intensif karena tidak ada anggota keluarga lain yang selamat, pasien yang sadar dan merintih kesakitan selama operasi, membuat Abed merasa mati rasa.

Namun, yang masih membuatnya merasa kesakitan adalah saat dia harus memilih pasien mana yang harus diutamakan. "Kami harus memutuskan," katanya. "Karena kami tahu banyak dari mereka tidak akan selamat."

Organisasi Kesehatan Dunia mengatakan Kementerian Kesehatan Gaza melaporkan bahwa penggunaan harian bahan medis selama perang setara dengan penggunaan bulanan mereka sebelum perang.

Penulis : Edwin Shri Bimo Editor : Desy-Afrianti

Sumber : Associated Press


TERBARU