Musim Panas 2023 Mencatat Rekor Suhu Terpanas dalam Sejarah Catatan NASA
Kompas dunia | 15 September 2023, 15:49 WIBJAKARTA, KOMPAS TV - Musim panas tahun 2023 mencatat rekor sebagai musim terpanas dalam sejarah di Bumi sejak catatan global yang dimulai tahun 1880. Hal ini diumumkan oleh peneliti di Institut Studi Angkasa NASA Goddard Institute of Space Studies (GISS) pada Kamis (14/9/2023).
GISS merupakan laboratorium NASA yang dikelola oleh Divisi Ilmu Bumi dari Goddard Space Flight Center di Greenbelt, Maryland. Laboratorium ini juga bekerja sama dengan Earth Institute dan School of Engineering and Applied Science di Universitas Columbia, New York.
Gabungan suhu antara bulan Juni, Juli, dan Agustus mengalami peningkatan sebesar 0,41 derajat Fahrenheit (0,23 derajat Celsius) lebih tinggi daripada musim panas lainnya yang tercatat dalam catatan NASA, bahkan 2,1 derajat F (1,2 C) lebih hangat daripada rata-rata musim panas antara tahun 1951 dan 1980.
Musim panas meteorologi di Belahan Bumi Utara berlangsung dari Juni hingga Agustus. Bulan Agustus sendiri mengalami peningkatan suhu sebesar 2,2 F (1,2 C) lebih tinggi dari rata-rata.
Rekor panas ini terjadi seiring dengan suhu panas yang luar biasa melanda sebagian besar dunia, yang memperburuk kebakaran hutan mematikan di Kanada dan Hawaii, dan gelombang panas yang melanda di Amerika Selatan, Jepang, Eropa, dan Amerika Serikat, serta berkontribusi terhadap curah hujan yang tinggi di Italia, Yunani, dan Eropa Tengah.
Baca Juga: Musim Panas Tahun Ini Catat Rekor Suhu Panas Tinggi Bumi Sepanjang Masa!
NASA mengumpulkan data suhunya yang dikenal sebagai GISTEMP, dari data suhu udara permukaan yang diperoleh dari puluhan ribu stasiun meteorologi, serta data suhu permukaan laut dari instrumen berbasis kapal dan pelampung.
Data ini kemudian dianalisis menggunakan metode yang memperhitungkan variasi jarak dari stasiun suhu di seluruh dunia dan dampak pemanasan perkotaan yang dapat memengaruhi perhitungan suhu.
Analisis ini menghasilkan anomali suhu, bukan suhu absolut. Anomali suhu menunjukkan sejauh mana perubahan suhu dari rata-rata dasar antara tahun 1951 hingga 1980.
Data lengkap mengenai suhu dari NASA beserta metodologi yang digunakan untuk perhitungan suhu dan ketidakpastiannya tersedia secara daring.
Adanya Faktor El Nino
Salah satu penyebab meningkatnya musim panas tahun ini adalah El Nino. Peristiwa El Nino di Pasifik sering kali berkontribusi pada tahun-tahun terpanas dalam catatan sejarah.
El Nino adalah fenomena iklim alami yang ditandai dengan suhu permukaan laut yang lebih hangat dari biasanya, dan peningkatan permukaan laut di Samudra Pasifik tropis bagian tengah dan timur.
"Perubahan suhu permukaan laut yang sangat signifikan, sebagian besar disebabkan oleh peristiwa El Nino yang kembali menjadi penyebab utama dari musim panas yang mencetak rekor ini," kata Josh Willis, seorang ilmuwan iklim dan ahli kelautan di Jet Propulsion Laboratory NASA di California Selatan
Data dan analisis ilmiah selama beberapa dekade oleh NASA, National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA), serta lembaga internasional lainnya telah menunjukkan bahwa pemanasan ini sebagian besar disebabkan oleh emisi gas rumah kaca yang dihasilkan oleh manusia.
"Selain pemanasan yang berkelanjutan, gelombang panas laut yang semakin intens juga telah berlangsung selama beberapa dekade. El Nino ini membantu kita mencetak rekor suhu yang lebih tinggi," kata Willis.
Willis juga menambahkan bahwa gelombang panas yang dialami kita saat ini lebih panas, dan lebih ekstrem, sehingga manusia mengalami kesulitan dalam mengatur suhu tubuh mereka.
Dampak El Nino di 2024
Willis dan para ilmuwan lainnya juga telah memprediksi dampak terbesar dari El Nino pada Februari, Maret, dan April 2024. El Nino biasanya dikaitkan dengan pelemahan angin timur dan perpindahan air hangat dari Pasifik barat ke pantai barat Amerika.
Fenomena ini dapat memiliki dampak yang luas, seperti membawa kondisi yang lebih sejuk dan lebih basah ke Barat Daya Amerika Serikat, serta kekeringan ke negara-negara di Pasifik barat, seperti Indonesia dan Australia.
Baca Juga: Jokowi Tegaskan Stok Beras Indonesia Aman di Tengah Fenomena El Nino, Ini Alasannya
"Pada akhirnya, perubahan iklim sudah terjadi. Hal-hal yang kami prediksi telah mulai terjadi, dan jika kita terus membuang karbon dioksida dan gas rumah kaca lainnya ke atmosfer, kondisi ini akan semakin memburuk." ungkap Gavin Schmidt, seorang ilmuwan iklim dan direktur GISS.
Penulis : Almarani Anantar Editor : Iman-Firdaus
Sumber : NASA