> >

Update Kerusuhan di Prancis: Tembak Remaja hingga Tewas, Kinerja Polisi Disorot

Kompas dunia | 30 Juni 2023, 10:42 WIB
Prancis mengerahkan puluhan ribu polisi hari Kamis (29/6/2023) dalam upaya mengatasi kerusuhan perkotaan yang meluas setelah seorang remaja berusia 17 tahun ditembak mati oleh polisi sehingga menggemparkan negara tersebut. Kini kinerja polisi Prancis disorot karena dianggap banyak melakukan kekerasan. (Sumber: AP Photo)

PARIS, KOMPAS.TV – Penembakan fatal yang dilakukan polisi Prancis terhadap seorang remaja berusia 17 tahun di dekat Kota Paris minggu ini, telah memicu kekacauan yang meluas ke seluruh negara.

Pengunjuk rasa membakar mobil, sampah, dan bangunan. Pembunuhan ini juga semakin menyorot kinerja dan tindakan kepolisian Prancis di yang dianggap terlalu keras. 

Penembakan remaja yang diidentifikasi sebagai Nahel, terekam dalam video dan mengejutkan seluruh negeri. Peristiwa ini membangkitkan ketegangan yang sudah lama membara antara polisi dan kaum muda di lingkungan yang kurang beruntung.

Insiden ini juga mendorong seruan untuk pemeriksaan menyeluruh terhadap aturan yang mengatur penggunaan senjata oleh polisi.

Penembakan di Prancis yang Meningkat

Kinerja polisi Prancis disorot, terutama dalam hal penggunaan senjata. Tiga belas orang tewas dalam penembakan polisi pada 2022 lalu karena tidak mematuhi perintah di lalu lintas ketika pengentara tidak mematuhi seruan polisi untuk menghentikan kendaraan.

Tahun ini, tiga orang, termasuk Nahel – yang tidak berhenti ketika diperintahkan juga ditembak polisi.

Baca Juga: Kerusuhan Pecah di Prancis Buntut Remaja Ditembak Mati Polisi, Warga Diimbau Tetap Tenang

Secara umum, jumlah orang yang dibunuh oleh polisi setelah mereka menolak untuk mematuhi perintah terus meningkat. Pada tahun 2021, menurut angka polisi, empat orang tewas dalam keadaan seperti itu.

Aturan Perlu Dikaji Kembali

Beberapa jam setelah kematian Nahel, Presiden Majelis Rendah Parlemen Prancis, Yael Braun-Pivet, mengatakan bahwa dia siap untuk menilai kembali bagaimana undang-undang yang mengatur penggunaan senjata oleh polisi diterapkan.

Aturan itu diadopsi pada 2017, setelah serangkaian serangan ekstremis di Prancis.

Sejak saat itu, petugas penegak hukum dapat menembak kendaraan ketika seorang pengemudi tidak mematuhi perintah untuk berhenti, dan aturan ini sangat mungkin membahayakan nyawa mereka atau orang lain yang berada di sekitar tempat kejadian.

Dalam kasus Nahel, petugas yang melepaskan tembakan mematikan akan diselidiki atas pembunuhan disengaja setelah penyelidikan awal menyimpulkan bahwa persyaratan untuk penggunaan senjata secara sah tidak terpenuhi.

Sebelum undang-undang diperkenalkan, polisi harus membuktikan pembelaan diri untuk membenarkan penggunaan senjata yang mereka lakukan. Sejak diberlakukan, mereka telah diizinkan untuk menembak kendaraan yang penumpangnya cenderung melakukan serangan terhadap orang lain.

Namun, kode keamanan internal menetapkan bahwa penggunaan senjata diizinkan hanya dalam kasus keperluan mutlak dan dengan cara yang sangat proporsional.

Baca Juga: Kerusuhan Prancis Meluas, 40 Ribu Polisi Dikerahkan, Macron Gelar Pertemuan Darurat

Peneliti Sebastian Roché, Paul le Derff dan Simon Varaine, yang telah menghasilkan analisis statistik yang menghubungkan peningkatan jumlah kematian dengan undang-undang tersebut, mengatakan peningkatan serupa dalam kematian akibat penembakan tidak terjadi di negara tetangga.

Mereka juga mempertanyakan kurangnya pelatihan yang tepat untuk petugas polisi.

“Ada korelasi yang sangat jelas antara perubahan undang-undang ini pada tahun 2017 dan meningkatnya penembakan polisi yang fatal,” kata Roché kepada media Le Nouvel Obs

“Rata-rata, terjadi 25% lebih banyak penembakan (setelah UU disahkan), dan lima kali lebih banyak penembakan mematikan. Sejak 2017, telah terjadi peningkatan penembakan oleh polisi,” tambahnya.

Selain penembakan mematikan, polisi Prancis juga sering dikritik karena taktik kekerasan mereka.

Selama protes rompi kuning yang dimulai pada 2018, seorang pejabat tinggi Eropa mengkritik otoritas Prancis atas penanganan mereka terhadap protes anti-pemerintah yang mengguncang negara itu selama berbulan-bulan, dan mendesak mereka untuk lebih menghormati hak asasi manusia.

Seperti dikutip dari Associated Press, polisi Prancis juga dikritik keras karena penanganan final Liga Champions 2022 yang berlangsung di Stade de France, yang terletak di pinggiran Saint-Denis.

Polisi menembakan gas air mata pada para penggemar sepak bola yang terjebak dalam antrian padat dan bergerak lambat selama berjam-jam sebelum pertandingan, yang akhirnya tertunda sekitar 40 menit.

Baru-baru ini dalam gelombang demonstrasi yang menentang kenaikan usia pensiun, polisi Prancis dilanda klaim bahwa mereka terlalu keras terhadap pengunjuk rasa.

Amnesty International, Federasi Hak Asasi Manusia Internasional dan Dewan Eropa merupakan dua organisasi yang menyebut bahwa polisi Prancis telah menggunakan kekuatan yang berlebihan.
 

Penulis : Tussie Ayu Editor : Gading-Persada

Sumber : Associated Press


TERBARU