> >

Bau Busuk Mayat dan Jasad Penuhi Rumah Sakit di Sudan, Tidak Ada yang Berani Keluar untuk Memakamkan

Kompas dunia | 24 April 2023, 22:06 WIB
Dengan ledakan, tembakan senjata berat, dan serangan udara yang menewaskan ratusan orang di Khartoum, Sudan dan bagian lain negara, ruang mayat penuh, jenazah tergeletak di ruang rawat inap dan UGD, dan jalan-jalan dipenuhi jenazah. (Sumber: Medicins Sans Frontier/Ali Shukur)

KHARTOUM, KOMPAS.TV - Ibrahim Mohamed berpaling di ranjang rumah sakitnya di Khartoum, Sudan, melihat pasien di sebelahnya telah meninggal dunia, namun jasad tersebut tidak bisa dipindahkan, apalagi dimakamkan. 

Pertempuran sejak 15 April antara pasukan dua jenderal rival telah mengubah Khartoum menjadi zona perang, menutup rumah sakit dan mencegah tenaga medis memberikan perawatan.

Pada saat Mohamed, seorang pasien leukemia berusia 25 tahun, akhirnya dievakuasi dari Rumah Sakit Pendidikan Khartoum pada Selasa, jasad masih berada di sana.

“Karena pertempuran yang sangat sengit, jenazah tidak bisa dipindahkan dan dikuburkan," kata ayahnya, Mohamed Ibrahim, 62 tahun, seperti dikutip oleh France24, Senin (24/4/2023).

Attiya Abdullah, Sekretaris Jenderal Serikat Dokter Sudan, mengatakan hal yang sama terjadi di rumah sakit lain.

"Jenazah yang membusuk dibiarkan di ruang rawat, karena tidak ada tempat lain untuk meletakkannya," seperti dikutip oleh France24.

Dengan ledakan, tembakan senjata berat, dan serangan udara yang menewaskan ratusan orang di ibu kota dan bagian lain negara, "Ruang mayat penuh, dan jalan-jalan dipenuhi jenazah," kata Abdullah.

Menurutnya, perang kota antara pasukan yang setia pada panglima angkatan bersenjata Sudan, Jenderal Abdel Fattah al-Burhan, dan wakilnya yang berubah menjadi rival, Mohamed Hamdan Daglo, komandan Pasukan Dukungan Cepat (RSF) yang sangat kuat, memicu runtuhnya sistem perawatan kesehatan secara lengkap dan total.

Baca Juga: 538 WNI Dievakuasi dari Sudan pada Tahap 1, Dipimpin Langsung Dubes RI di Khartoum

Setidaknya delapan orang tewas dalam serangan terhadap fasilitas kesehatan, menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).

"RSF dan tentara sedang berperang tepat di luar rumah sakit," kata Ibrahim, sambil menambahkan bahwa beberapa dari mereka yang dievakuasi terkena tembakan juga.

Ketika bom mulai jatuh dekat dengan rumah sakit, para dokter dihadapkan pada pilihan sulit.

"Kami terpaksa membiarkan pasien meninggalkan rumah sakit," kata Abdullah. "Jika mereka tetap di sini, mereka akan mati konyol."

Ibrahim berhasil melindungi anaknya yang sakit dari peluru nyasar, tapi "harus berjalan kaki" melalui jalan-jalan, berlari dari satu titik aman ke titik aman lainnya.

Butuh lima jam bagi mereka untuk pulang ke rumah dengan selamat. "Tetapi kesehatan anakku semakin memburuk," kata sang ayah.

Hampir tiga perempat rumah sakit ditutup. "Rumah sakit yang masih beroperasi hanya menyediakan layanan darurat," menurut Abdullah, tidak ada tempat lain bagi Mohamed untuk pergi.

"Saya hanya ingin semua ini berhenti sehingga saya bisa membawa anak saya untuk diobati," kata ayahnya.

Baca Juga: TNI Kirim Tim Satgas untuk Evakuasi 291 WNI dari Sudan ke Jeddah

Menurut Abdullah, bahkan rumah sakit yang tetap buka, yang kebanyakan merawat luka tembak, berisiko ditutup kapan saja.

"Mereka tidak punya cukup peralatan bedah, tidak cukup bahan bakar untuk menjalankan generator, tidak cukup ambulans atau darah."

WHO mengatakan 413 orang tewas dan 3.551 terluka dalam pertempuran di seluruh Sudan, tetapi jumlah kematian sebenarnya diperkirakan jauh lebih tinggi, karena dokter dan staf kemanusiaan tidak dapat mencapai mereka yang membutuhkan bantuan.

"Beberapa rumah sakit punya tim yang sama, yang sudah bekerja selama delapan hari berturut-turut," kata Abdullah seperti dikutip oleh France24. "Beberapa hanya punya satu ahli bedah. Semuanya sangat lelah."

Tenaga medis mengeluarkan seruan harian untuk gencatan senjata guna memungkinkan akses kemanusiaan untuk bergerak, mengangkut para korban luka, dan menguburkan jenazah.

Namun, periode singkat ketenangan dalam pertempuran di Khartoum berkali-kali digantikan oleh suara tembakan, yang memotong keheningan sesaat, dan tidak ada gencatan senjata yang bertahan.

Saat warga sipil berkumpul di media sosial untuk mencari sumber obat bagi keluarga yang menderita sakit kronis, Unicef telah memperingatkan bahwa pemadaman listrik dan kelangkaan bahan bakar membahayakan penyimpanan dingin lebih dari USD40 juta (USD53,4 juta) vaksin dan insulin.

Pada Jumat lalu, ketika gencatan senjata gagal, Serikat Dokter membagikan saran di Facebook tentang cara menangani, mengafani, dan menguburkan jenazah yang membusuk.

 

Penulis : Edwin Shri Bimo Editor : Hariyanto-Kurniawan

Sumber : France24/Straits Times


TERBARU