Epidemiolog Ungkap Petaka Lonjakan Covid-19 di China meski Banyak yang Sudah Vaksin
Kompas dunia | 4 Januari 2023, 16:28 WIBJAKARTA, KOMPAS.TV - Epidemiolog Dicky Budiman mengungkapkan penyebab lonjakan kasus Covid-19 di China atau Tiongkok akhir-akhir ini meski sebelumnya pemerintah menerapkan kebijakan Zero Covid dan sekitar 90 persen masyarakat sudah mendapatkan vaksin pertama.
"Memang tercapai vaksinasi primernya 90 persen-an, namun yang terlupakan oleh China adalah bahwa yang namanya strategi Zero Covid itu bukan strategi yang berbasis atau tidak didukung sains yang kuat," kata Dicky kepada KOMPAS.TV, Rabu (4/1/2023).
Kebijakan Zero Covid Pemerintah Tiongkok di antaranya mewajibkan setiap orang yang masuk ke wilayahnya untuk melakukan karantina selama 21 hari.
Selain itu, pemeriksaan atau tes PCR tidak hanya dilakukan melalui pengambilan sampel di tenggorokan atau nasofaring, melainkan juga melalui anus.
"Ini menggambarkan betapa ekstremnya upaya China melindungi penduduk, karena penduduk China begitu besar," jelasnya.
Baca Juga: Epidemiolog Ingatkan Pentingnya Masker Meski PPKM Dicabut: Kasus Covid-19 Banyak Tak Bergejala
Kebijakan Zero Covid, kata Dicky, tidak berkelanjutan karena bertentangan dengan kodrat biologis dari virus SARS-CoV-2 penyebab Covid-19, sehingga cenderung membuat pandemi menjadi endemi.
"Oleh karena itu, mau dibentengi seperti apa, pada gilirannya dia bisa masuk, karena virus ini selain cenderung endemi, dia terus bermutasi untuk survive (bertahan hidup, -red) dan semakin pintar dalam menginfeksi," terangnya.
Peneliti di Griffith University Australia itu juga mengatakan bahwa pendekatan strategi Zero Covid di Tiongkok menjadi rawan ketika negara itu tidak menguatkan modal imunitas di dalam negeri dengan cara vaksinasi.
Meski sudah banyak yang divaksinasi, ia mengatakan, vaksin tambahan atau booster di Tiongkok belum merata. Tak hanya itu, pemerintah Tiongkok memberikan vaksin booster yang sama dengan vaksin pertama yang mereka produksi.
"Booster yang mereka berikan produksi China juga, misalnya (vaksin pertama) Sinovac, ya (booster-nya) Sinovac," ujarnya.
Padahal, ia menegaskan, jenis vaksin yang efektif untuk menjadi booster dalam menghadapi varian omicron adalah messenger RNA (mRNA) dan Novavax.
Baca Juga: PPKM Dicabut, Epidemiolog Ingatkan Dampak Jangka Panjang Covid-19: Kerusakan Organ Dalam
"Di China, karena politik dan sebagainya, mereka nggak mau memakai vaksin itu, baru sekarang mereka mau, setelah ini menjadi petaka besar," jelasnya.
Selain penggunaan vaksin booster yang tidak efektif melawan virus covid jenis omicron, banyak kelompok lansia di Tiongkok yang belum divaksin.
"Ternyata sebagian dari kelompok rawan, antara lain lansia, itu sama sekali belum divaksin. Ada 40 juta kurang lebih yang belum sama sekali divaksin," kata Dicky.
Peraih gelar magister sains bidang epidemiologi penyakit menular dari Universitas Griffith itu juga menekankan bahwa ancaman pandemi yang dihadapi suatu negara setiap tahunnya sangat berbeda.
"Dalam konteks China jadi mundur, yang dialami dunia 18 bulan lalu, sekarang dialami oleh China," ujarnya.
Terkait dampak lonjakan kasus Covid-19 di China terhadap Indonesia, ia menerangkan adanya kemungkinan lahirnya sub varian atau varian baru akibat banyaknya infeksi yang terjadi.
"Yang perlu dimitigasi adalah lahirnya sub varian atau varian baru mungkin satu bulan ke depan, akibat infeksi yang begitu banyak, potensi itu tetap ada," ujarnya.
Penulis : Nadia Intan Fajarlie Editor : Vyara-Lestari
Sumber : Kompas TV