Maarif Institute Apresiasi Langkah Australia yang Tak Akui Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel
Kompas dunia | 21 Oktober 2022, 04:40 WIBJAKARTA, KOMPAS.TV - Maarif Institute mengapresiasi langkah Australia yang kembali tidak mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel. Langkah ini dinilai menjadi komitmen Negeri Kangguru dalam mewujudkan perdamaian di Palestina.
Pada Selasa (18/10/2022) lalu, pemerintah Australia mencabut pengakuan Yerusalem sebagai ibu kota Israel.
Kebijakan ini sekaligus mengubah keputusan kontroversial pemerintah Australia pada tahun 2018 lalu yang mengakui Yerusalem Barat sebagai ibu kota Israel.
Menteri Luar Negeri Australia Penny Wong menegaskan bahwa status Yerusalem harus diselesaikan dalam negosiasi damai antara Israel dan Palestina.
"Kami tidak akan mendukung pendekatan yang merusak prospek ini,” kata Wong dikutip dari Associated Press.
Langkah Australia itu dipuji Moh. Shofan, Direktur Program Maarif Institute. Menurutnya, kebijakan tersebut sejalan dengan pandangan Buya Syafii Maarif — yang sejatinya juga senapas dengan pandangan kelembagaan Maarif Institute — agar lebih melihat masalah Palestina sebagai masalah kemanusiaan, dan bukan masalah agama.
“Buku Buya Syafii, tentang Gilad Atzmon itu sebagai cermin dari sikap politik Buya terhadap perjuangan rakyat Palestina," kata Shofan dalam rilis yang diterima Kompas TV, Kamis (20/10/2022). Ia merujuk sosok Gilad Atzmon, musisi bekas warga negara Israel yang kini bermukim di Inggris.
Baca Juga: Kejutan, Australia Membatalkan Pengakuan Yerusalem Ibu Kota Israel, Kembali ke Solusi Dua Negara
"Buya menolak soal Palestina sebagai masalah agama, melainkan soal kemanusiaan. Dunia harus bercermin kepada Gilad Atzmon yang tanpa rasa takut diintimidasi atau dibunuh sekalipun karena memperjuangkan kemerdekaan Palestina dari cengkeraman penjajahan bangsanya sendiri," jelasnya.
Maarif Institute berpandangan, kekejaman yang terjadi di Palestina merupakan tragedi politik, tragedi kemanusiaan, dan tragedi hukum yang sangat biadab dan memalukan di mata dunia.
Israel telah menciptakan sebuah sejarah gelap selama abad ke-20 hingga awal abad ke-21 sekarang ini. Penderitaan rakyat Palestina akibat kekejaman Israel sudah berlangsung sejak tahun 1948.
Yang menyedihkan, Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) dan suara dari Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) hingga hari ini belum memiliki keseriusan untuk menghentikan penjajahan Israel terhadap Palestina.
Di sisi lain, Israel tidak mengindahkan perjanjian damai dan juga resolusi dari PBB. Belum lagi, negara-negara Arab yang melingkari Israel telah lama lumpuh menghadapi kekuatan Zionisme global ini.
Baca Juga: Heboh Mossad Israel Beroperasi di Kuala Lumpur, Culik Warga Palestina Gunakan Warga Malaysia
Menurut Shofan, dimensi global dari masalah konflik ini telah dirasakan sejak lama, tetapi solusi hingga sekarang belum tercapai.
Badan hak asasi PBB harus segera menyelidiki semua dugaan pelanggaran dan pelanggaran hukum internasional terkait dengan ketegangan, yang memicu kekerasan baru.
Hal yang tak kalah pentingnya, menurut Shofan, adalah pentingnya aliansi global melawan ketidakadilan politik terhadap Palestina dan menuntut konsistensi negara-negara Barat dalam menegakkan hak asasi manusia (HAM) tanpa pandang bulu.
Kebijakan Australia ini dapat lebih merekatkan kerja sama strategis dengan Indonesia yang konsisten menyuarakan solusi damai dan kemerdekaan Palestina.
Terlebih, Indonesia telah lama menjalin hubungan diplomasi dengan Palestina. Sejarah mencatat bahwa salah satu negara di Timur Tengah yang mendukung dan memberikan pengakuannya kepada Indonesia pasca-proklamasi adalah Palestina.
Baca Juga: Israel Bayar Kompensasi Kakek Palestina yang Tewas saat Ditahan demi Tak Dibawa ke Pengadilan
Penulis : Rizky L Pratama Editor : Vyara-Lestari
Sumber : Kompas TV