Isi Pidato Menlu Retno Marsudi di Majelis Umum PBB, Sebut Dunia Mengambil Jalur yang Salah
Kompas dunia | 27 September 2022, 10:20 WIBNEW YORK, KOMPAS.TV - Menteri Luar Negeri Retno Marsudi di sidang Majelis Umum PBB hari Senin, (26/9/2022) menegur masyarakat internasional karena mengambil jalan yang salah dan menyerukan 'paradigma baru kolaborasi' berbasis multilateralisme.
"Keadaan dunia kita saat ini sangat mengkhawatirkan. Pandemi terus berlanjut dan ekonomi global tetap lesu. Perang antar bangsa bukan lagi sebuah kemungkinan tetapi telah menjadi kenyataan," kata Retno Marsudi dikutip dalam Breaking News Kompas TV, Senin malam.
Retno menekankan, "Pelanggaran hukum internasional telah menjadi norma dalam mengejar kepentingan pribadi yang sempit."
"Krisis demi krisis sedang berlangsung di seluruh dunia: perubahan iklim, kenaikan inflasi, kekurangan pangan dan energi," tutur Retno.
Retno mengungkap kengerian Indonesia, di mana sejarah mengajarkan bahwa fenomena ini dapat menyebabkan perang besar. Untuk itu Retno mengajak untuk melihat periode menjelang Perang Dunia Kedua.
"Depresi besar, kebangkitan ultra nasionalisme, persaingan atas sumber daya dan persaingan antara kekuatan besar. Ini sangat mirip dengan apa yang kita hadapi hari ini," kata Retno.
"Jelas, kita telah menangani tantangan ini dengan cara yang salah," kata Retno seraya menyapu pandangan ke seluruh delegasi dunia.
Baca Juga: Sidang Majelis Umum PBB Didominasi Isu Ukraina, Palestina Ingatkan Dunia soal Pendudukan Israel
"Kita telah terpecah bukan bersatu! Kami bekerja sendiri-sendiri bukan kolektif bekerja sama. Kita fokus pada ucapan daripada perbuatan," kata Retno dengan nada tegas.
"Pertanyaannya sekarang apa yang akan kita lakukan"? tanya Retno.
"Apakah kita akan terus berjalan di jalan yang sama? Atau kita akan memilih jalan yang berbeda? Jika kita terus di jalan yang sama, kita akan menuju bencana."
"Tetapi jika kita memilih jalan yang berbeda, kita mungkin memiliki peluang."
Retno lantas menawarkan dunia desakan Indonesia berdasarkan paradigma baru.
"Paradigma win-win bukan zero-sum. Paradigma keterlibatan bukan pemagaran. Paradigma kolaborasi bukan kompetisi."
Retno lantas memaparkan prioritas Presidensi G20 Indonesia, yang menurutnya teramat sangat penting.
Baca Juga: India Tegaskan Tetap Netral dalam Perang Rusia-Ukraina, Disampaikan dalam Sidang Majelis Umum PBB
Seluruh dunia kata Retno, menggantungkan harapannya pada G20 untuk menjadi katalisator pemulihan ekonomi global, terutama bagi negara-negara berkembang.
"G20 tidak boleh gagal. Kita tidak bisa membiarkan pemulihan global jatuh pada belas kasihan geopolitik," ucapnya.
Paradigma baru akan menanamkan tanggung jawab kolektif untuk mencapai Agenda 2030 dan memerangi perubahan iklim.
"Tanpa paradigma baru ini, tidak akan ada pemulihan yang kuat untuk semua dan banyak dari kita akan tertinggal."
Indonesia lebih jauh mendesak peningkatan kemitraan regional, meninggalkan arsitektur regional pasca-perang yang dibangun sebagai alat untuk penahanan dan keterasingan. Fenomena itu berlanjut hari ini dengan pengelompokan mini-lateral.
"Banyak yang menjadi bagian dari perang proksi antara negara-negara besar. Ini bukanlah arsitektur regional yang seharusnya," kata Retno.
"Kami menolak menjadi pion dalam Perang Dingin yang baru," ujar Retno di Sidang Majelis Umum PBB itu.
Baca Juga: Menlu China di Majelis Umum PBB: Siapa Halangi Reunifikasi Taiwan akan Digilas Roda Sejarah
Indonesia, kata dia, memajukan paradigma kolaborasi dengan semua negara. Paradigma ini juga akan menjadi pedoman kepemimpinan Indonesia di ASEAN tahun depan.
Paradigma baru kolaborasi harus menjadi semangat PBB. "Keterlibatan yang inklusif dan bermakna harus mengalahkan pendekatan take it or leave it."
Dia menegaskan, suara semua negara: besar dan kecil, maju dan berkembang harus sama pentingnya. Ini, menurut Retno, adalah dasar dari multilateralisme.
Baca Juga: Retno Marsudi akan Sampaikan ini saat Berpidato dalam Debat Umum Sidang Majelis Umum PBB nanti
Menurut Retno, Itulah mengapa kita membutuhkan PBB yang kuat dan direformasi. Itulah sebabnya dunia, kata Retno, membutuhkan multilateralisme baru yang sesuai dengan tujuan dan sesuai dengan zamannya.
Itulah mengapa dunia membutuhkan multilateralisme yang memberi hasil. "Saya ulangi, kita membutuhkan multilateralisme yang memberi hasil," kata Retno.
"Ini bukan lagi waktunya untuk berbicara omong kosong," katanya.
"Sekarang saatnya berbuat dan membuktikan ucapan, bukan sekadar ngomong saja, " tutur Retno,
Penulis : Edwin Shri Bimo Editor : Desy-Afrianti
Sumber : Kompas TV/Associated Press/Kemenlu