Kelaparan Makin Parah di Somalia, Anak-anak Terlalu Lemah untuk Menangis
Kompas dunia | 20 September 2022, 23:00 WIBMOGADISHU, KOMPAS.TV - Saat lalat berdengung di atas tubuhnya yang mungil, Sadak Ibrahim yang berusia dua tahun nyaris tidak mampu merintih. Ia terlalu lemah untuk menangis atau mengusir lalat-lalat yang hinggap, sekilas memilukan tentang krisis kelaparan yang melanda Somalia.
Seperti laporan Straits Times, Selasa (20/9/2022), negara di kawasan tanduk Afrika itu berada di ambang kelaparan kedua hanya dalam satu dekade.
Bencana itu akibat kekeringan terburuk dalam 40 tahun setelah musim hujan yang gagal sejak akhir 2020 memusnahkan tanaman dan ternak.
Dengan perkiraan gagalnya monsun kelima, PBB memperingatkan bulan ini bahwa waktu hampir habis untuk menyelamatkan nyawa. Karenanya, PBB mendesak para donor untuk berkontribusi lebih banyak pada upaya bantuan.
Kepala Kemanusiaan PBB Martin Griffiths mengatakan, situasinya lebih buruk daripada kelaparan 2011, ketika 260.000 orang meninggal, yang lebih dari setengahnya adalah anak-anak di bawah usia 6 tahun.
Bantuan saat ini lambat masuk ke Somalia, menyusul penundaan yang disebabkan oleh perang di Ukraina, yang juga menyebabkan biaya transportasi dan pasokan darurat melonjak.
Baca Juga: PBB: Perlukan Setidaknya US$1 miliar untuk Cegah Kelaparan di Somalia
Tetapi banyak yang khawatir bantuan akan datang terlambat untuk korban termuda di negara itu seperti Sadak. Pasalnya, sekitar 730 anak dilaporkan meninggal di pusat-pusat nutrisi antara Januari dan Juli tahun ini, menurut laporan UNICEF.
Di Rumah Sakit De Martino di ibu kota Mogadishu, ibunda Sadak Fadumo Daud jelas terlihat cemas, duduk berjaga di samping tempat tidur balita itu.
Tampak sebuah selang makanan tergantung di sisi sang anak, saat sang ibunda berdoa untuk keajaiban.
"Dia adalah satu-satunya anak yang saya miliki, dan dia sangat sakit seperti yang Anda lihat," kata wanita muda itu seperti dikutip Straits Times, menceritakan tiga hari perjalanan ke Mogadishu dari Baidoa, salah satu pusat krisis, demu nyawa anaknya.
Dalam beberapa tahun terakhir, bencana iklim semakin menjadi pendorong utama migrasi di Somalia, yang juga bergulat dengan pemberontakan brutal selama 15 tahun terakhir.
Setiap hari, puluhan orang membanjiri kamp-kamp yang didirikan untuk keluarga pengungsi di Mogadishu.
Baca Juga: Badan Amal Inggris Sarankan Orang Afrika Makan Ulat, Lalat, hingga Belalang untuk Atasi Kelaparan
Komite Penyelamatan Internasional IRC menjalankan tujuh pusat kesehatan dan gizi di dalam dan sekitar ibu kota, tetapi sumber daya mereka sangat terbatas. Sementara, krisis tidak menunjukkan tanda-tanda akan mereda.
"Jumlah pendatang baru meningkat drastis mulai Juni tahun ini," kata petugas nutrisi IRC Faisa Ali.
Sebagian besar anak-anak menjadi kurang gizi, katanya. Jumlah anak-anak kelaparan meloncat tiga kali lipat dari maksimum 13 anak yang datang kelaparan di bulan Mei, menjadi 40 anak saat ini.
Seorang ibu dari 10 anak, Nuunay Adan Durow meninggalkan rumahnya dan melakukan perjalanan sejauh 300 km mencari bantuan medis untuk putranya yang berusia tiga tahun, Hassan Mohamed. Saat ini, anggota tubuh bocah itu bengkak karena kekurangan gizi parah.
"Selama tiga tahun terakhir, kami tidak memanen apa pun karena kurangnya hujan," kata Durow, menjelaskan bagaimana dia terpaksa berjalan kaki selama dua jam setiap hari untuk mencari air bagi keluarganya.
"Kami menghadapi situasi yang mengerikan," kata wanita berusia 35 tahun itu, sambil menggendong Hassan saat mereka menunggu perhatian medis di pusat IRC di pinggiran Mogadishu.
Baca Juga: Afrika Terancam Kelaparan, PBB Sebut AS Beli Biji-bijian Ukraina untuk Bantuan Pangan
Kekeringan juga memengaruhi beberapa bagian Kenya dan Ethiopia. Tetapi, risiko bagi Somalia sangat serius, dengan 200.000 orang dalam bahaya kelaparan dan sekitar 1,5 juta anak menghadapi kekurangan gizi akut pada bulan depan, kata PBB.
Krisis tersebut bahkan tidak menyelamatkan daerah-daerah yang secara tradisional subur seperti Shabelle Bawah. Di masa lalu, masyarakat yang dilanda kekeringan akan mencari perlindungan di sana, berharap mendapatkan makanan.
“Kami dulu bertani dan mendapatkan sayuran untuk memberi makan anak-anak kami sebelum kekeringan memengaruhi kami,” kata Fadumo Ibrahim Hassan, 35, seorang janda ibu dari enam anak. Sekarang, "kita hidup dari apa pun yang Tuhan berikan kepada kita", katanya.
Baru-baru ini tiba di Mogadishu, putrinya yang berusia dua tahun, Yusro, kondisinya memburuk hingga staf IRC tidak bisa lagi merawatnya.
Dengan berat badan hanya 5,8 kg, setengah dari seorang gadis sehat pada usia yang sama, Yusro kekurangan gizi parah. Tim medis IRC mengatakan dia harus segera dirawat di rumah sakit.
Di Rumah Sakit De Martino, Dr Fahmo Ali mengatakan setiap hari makin banyak anak sakit dan kurang gizi dibawa ke perawatannya.
"Yang kami terima di sini adalah kasus terburuk dengan komplikasi," katanya. "Kadang-kadang, mereka yang kami rawat kembali ke rumah sakit setelah sakit lagi."
Penulis : Edwin Shri Bimo Editor : Vyara-Lestari
Sumber : Kompas TV/Straits Times