Rindu Wayang Kulit Terobati di Frankfurt
Kompas dunia | 23 Agustus 2022, 06:10 WIBFRANKFURT, KOMPAS.TV - Gerimis mulai jatuh di Zeppelinalle 23, Frankfurt am Main, Jerman. Sigit Susanto hilir mudik di halaman depan Wisma Indonesia KJRI Frankfurt pagi itu. Rindangnya pepohonan tidak bisa menentramkan hatinya.
"Hanya pagi hujan, lepas siang akan cerah,“ tutur Agus Maulana Attabrani, Konsul Penerangan Sosial Budaya KJRI Frankfurt.
Di Swiss, guman Sigit, jika cuaca sudah tidak bersahabat, orang tidak akan keluar rumah. "Meskipun pada akhirnya terang juga cuacanya,“ katanya. "Tapi mereka sudah membatalkan rencana keluar rumah."
Tetapi Frankfurt bukan Zug. Jerman juga bukan Heidiland. Dan gerimis pagi itu jatuh tidak lebih dari seperempat jam. Menjelang lepas siang, tepat pukul 13.00, lebih nyaman mengenakan kaos oblong ketimbang lengan panjang. "Jangan gelisah, sore nanti terang benderang,“ kata Vanessa Gliszczynski, kurator Weltkulturen Museum Frankfurt.
Baca Juga: Wayang Kulit Berbahasa Jerman Mulai Pentas Swiss
Dua panggung mulai dibangun. Satu untuk kelompok gamelan Wacana Budaya. Sisanya untuk Sigit Susanto, dalang yang akan mementaskan wayang kulit open air dalam bahasa Jerman. Ya bahasa Jerman. "Suluknya saja tetap bahasa Jawa, tetapi dialognya semua bahasa Jerman," tegas Sigit Susanto.
Tidak mudah menampilkan wayang kulit dalam bahasa lokal. Vanessa sempat keluar keringat ketika menelusuri siapa dalang yang bisa bahasa Jerman. "Bukan sulit, tetapi sangat sulit. Di Jerman tidak ada sama sekali. Satu satunya pilihan ya ke Pak Sigit, impor dari Swiss,“ kata wanita yang fasih berbahasa Indonesia ini.
Kabar akan pentasnya wayang kulit dalam bahasa Jerman menarik perhatian koran nasional Jerman. Frankfurter Allgemeine Zeitung (FAZ), menulisnya. FAZ adalah koran mainstream bergengsi di Jerman.
Horst Guenter May rela datang ke Frankfurt untuk melihat penampilan Sigit Susanto, setelah membaca FAZ. "Banyak koleksi wayang kulit di Jerman, tapi live show sudah lama sekali, sudah puluhan tahun. Dan kali ini kan dalam bahasa Jerman. Jadi saya sempatkan ke sini, sambil menahan sakit di kaki,“ kata Horst.
Horst tidak duduk di tanah, sebagaimana penonton lainnya. "Saya tidak akan kuat duduk begitu,“ keluhnya. Vanessa cekatan mengambil kursi lipat dari kantornya. "Silakan duduk di sini,“ katanya.
Horst, yang semula berniat hanya menyaksikan satu pagelaran, akhirnya bertahan hingga dua lakon. "Artikulasi bahasa dalangnya jelas. Jadi saya bertahan sambil menahan sedikit sakit,“ katanya.
Satu jam menjelang live show, Sigit tidak terlihat di lokasi. Check sound head set sempat tertunda. Beberapa staf KJRI Frankfurt juga beberapa kali menanyakan di mana dalang kelahiran Bebengan, Boja, Kendal ini berada.
"Saya di pojok sana, menghapalkan dialog,“ katanya. KompasTV yang mendampingi Sigit dari Lucerne, Swiss, hingga Frankfurt, Jerman, sudah kebal dengan aksi penghapalan dialog yang dilakukannya.
Pada saat waktu memihak kepadanya, Sigit tampak berbicara sendirian. Di kereta, di kamar hotel, atau di sudut sudut taman kota Frankfurt.
"Saya dulu guide di Bali, menghapalkan dialog sebuah kisah, jika ingin sempurna, memang harus seksama,“ katanya.
Langit Hijau Rumput Biru
Live show wayang kulit masuk dalam agenda Weltkulturen Museum Frankfurt. Selama satu setengah tahun, sebagaimana diungkapkan Vanessa, pihaknya menggelar tema Farben ordnen Welten, warna yang menentukan dunia. "Grüner Himmel, Blaues Gras. Langit hijau, rumput biru,“ katanya.
Wayang, masih kata Vanessa, termasuk dalam pameran itu. "Warna di wajah wayang, menentukan karakternya. Warna hitam menunjukkan ketenangan, kesabaran dan intelektual,“ ujar Vanessa.
Biru, imbuhnya, bisa dua hal. "Agak bodoh, seperti beberapa wajah raksasa, atau juga simbol air, seperti warna Antareja,“ katanya.
Dan menampilkan wayang, dengan bahasa Jerman, kata Vanessa, terkait dengan tema "Warna Menentukan Dunia" di museumnya.
KJRI Frankfurt mendukung penuh konsep itu. "Ini kan bagian juga dari program sosial budaya KJRI Frankfurt,“ kata Acep Somantri, Konjen KRI Frankfurt. Beberapa staf KJRI Frankfurt dikerahkan untuk menyukseskan acara ini.
Baca Juga: Saat Seniman Pedalangan di Tanah Air Usulkan Jokowi Jadi Bapak Wayang Indonesia
Sigit mengawali dengan lakon Ramayana. Dibatasi waktu hanya 20 menit, dia harus meringkas kisah yang sebenarnya semalam suntuk itu. "Tentu ada bagian yang terpotong, tapi intinya penonton mengerti kisah romeo julia ini,“ katanya.
Suluk, seperti bumi gonjang-ganjing, langit kelap-kelip katon, tetap dalam bahasa Jawa yang melodius. Namun dialog rencana perundingan Rahwana dan kerabatnya disampaikan dalam bahasa Jerman.
Batang pisang diganti jerami kering. Layar putih juga nihil. "Bagusnya, warna wayang terlihat jelas. Sulitnya, kalau adegan perang, tidak ada penyanggah,“ kata Sigit.
Lakon kedua, Dewa Ruci, juga sama. Tidak ada kalimat yang tersendat, atau dialog yang terputus. "Berkat latihan penghapalan,“ kata Sigit.
Cuaca yang sejak pagi dikhawatirkan mengganggu, sama sekali tidak terlihat. Pengunjung juga membeludak, meskipun mereka harus rela lesehan di rerumputan yang meranggas. Sigit, selepas pementasan, tidak bisa langsung istirahat.
Satu demi satu dia harus menjelaskan pengunjung yang penasaran. Mulai dari arti warna sebuah wayang kulit, hingga kisah Ramayana, yang dalam versi tertentu agak berbeda. "Di Srilanka, Ramayana bukan figur sejahat di Indonesia,“ kata Sigit.
Vanessa tampak berseri-seri begitu pagelaran ini usai. "Banyak tanggapan positif,“ katanya. Tahun depan, bisa saja Sigit akan kembali ke Jerman. "Kalaupun ada gerimis lagi di pagi hari, saya tidak akan lagi terlalu waswas,“ ungkapnya. (Krisna Diantha)
Penulis : Hariyanto-Kurniawan
Sumber : Kompas TV