> >

Asia Tenggara "Dikepung" Negara-Negara Bersenjata Nuklir (II)

Kompas dunia | 30 Juli 2022, 13:09 WIB
Ilustrasi. Demonstrasi menentang pembentukan AUKUS di Australia pada 2021 lalu. (Sumber: Matt Hrkac via Wikimedia)

JAKARTA, KOMPAS.TV - Kawasan Asia Tenggara dikepung negara-negara bersenjata nuklir, merujuk hasil riset terbaru Stockhlom International Peace Research Institute (SIPRI) yang dirilis pertengahan Juni lalu.

SIPRI menjelaskan pada 2022 terdapat sembilan negara dengan kekuatan senjata nuklir, meliputi Amerika Serikat, Rusia, China, Prancis, India, Israel, Korea Utara serta Inggris.

Baca Juga: Riset SIPRI: Jumlah Senjata Nuklir Dunia akan Melonjak (I)

Terkait dengan Asia Tenggara yang "dikepung" negara bersenjata nuklir, dari sisi utara terdapat Rusia (5.977 hulu ledak), China (350 hulu ledak) dan Korea Utara (20 hulu ledak). Jika ditotal, terdapat 6.347 hulu ledak nuklir di utara kawasan ASEAN, berdasar data SIPRI.  

Beralih ke sisi barat, terdapat India dan Pakistan yang juga memiliki senjata berbahan dasar uranium itu. Dari data yang sama, India diketahui menyimpan 160 hulu ledak, sementara Pakistan 165 hulu ledak.

Adapun sisi selatan dan timur Asia Tenggara sebenarnya relatif tenang dari masalah nuklir pada beberapa dekade terakhir.

Namun, selepas Australia menandatangani pakta pertahanan AUKUS bersama Inggris dan Amerika Serikat, September 2021 lalu, sisi selatan kawasan ini juga terancam.

Pasalnya Inggris dan Amerika Serikat juga negara bersenjata nuklir. Negeri Paman Sam diketahui memiliki 5.428 hulu ledak, sementara Inggris menyimpan 225 hulu ledak nuklir.

Dalam kesepakatan AUKUS, Australia terlibat proyek kapal selam nuklir serta bersedia membangun pangkalan singgah kapal selam nuklir untuk kedua negara itu.

Baca Juga: China Tuduh Aliansi AUKUS Ciptakan NATO versi Asia-Pasifik: Mereka Masih Bermental Perang Dingin

Keputusan pemerintah Negeri Kanguru bergabung dengan AUKUS membuat gaduh sejumlah negara di Asia Tenggara, kecuali Filipina yang memang dikenal sebagai sohib Amerika Serikat.

"Indonesia mencermati dengan penuh kehati-hatian tentang keputusan Pemerintah Australia untuk memiliki kapal selam bertenaga nuklir," tegas Kementerian Luar Negeri (Kemlu) RI melalui laman resminya pada September tahun lalu.

"Indonesia sangat prihatin atas terus berlanjutnya perlombaan senjata dan proyeksi kekuatan militer di kawasan ini," lanjut pernyataan itu.

Berdasar traktat Southeast Asia Nuclear Weapon-Free Zone (SEANWFZ) perjanjian yang ditandatangani semua anggota ASEAN pada 15 Desember 1995, wilayah Asia Tenggara merupakan zona bebas nuklir.

Laman resmi ASEAN menyebut SEANWFZ merupakan bentuk komitmen Asia Tenggara untuk berkontribusi terhadap perdamaian dan keamanan internasional.

Situasi geopolitik Asia Tenggara yang dikepung negara bersenjata nuklir sangat wajar menimbulkan rasa was-was. Terutama, Laut China Selatan yang berada di seputar kawasan ini merupakan wilayah rentan konflik, menyangkut klaim batas wilayah.

Masalahnya kian kompleks ketika melibatkan Amerika Serikat dan China yang sedang berebut pengaruh di kawasan Asia Pasifik. Oleh negeri pimpinan Xi Jinping itu, aliansi militer AUKUS disebut sebagai NATO-nya Asia Pasifik yang bermental Perang Dingin.

Sementara Korea Utara tak segan unjuk gigi menantang Amerika Serikat dan Korea Selatan memakai retorika nuklirnya baru-baru ini.

Melihat kondisi itu, stabilitas kawasan Asia, terkhusus Asia Tenggara, yang mendeklarasikan diri sebagai zona bebas nuklir, sedikit banyak terancam dengan situasi ini.

Baca Juga: Kim Jong-un Nyatakan Korea Utara Siap Perang dengan AS Apalagi Korsel, Senjata Nuklir Dimobilisasi

Pada 1-26 Agustus 2022 mendatang, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) akan mengadakan Konferensi Peninjauan Perjanjian Anti-senjata Nuklir (NPT Revcon) di Markas Besar PBB, New York bersama 191 negara.

Indonesia, sebagai salah satu negara yang menandatangani perjanjian itu, ikut ambil peran dengan mengirim working paper ke PBB, bertajuk "Propulsi Nuklir Angkatan Laut".

"Pada dasarnya apa yang dilakukan ini adalah bentuk kontribusi Indonesia," terang Direktur Hak Asasi dan Kemanusiaan Kemlu RI Ashanul Habib saat dihubungi KOMPAS TV, Jumat (29/7/2022).

Penulis : Rofi Ali Majid Editor : Edy-A.-Putra

Sumber : Kompas TV


TERBARU