> >

Apa Itu Stagflasi? Periode Resesi Ekonomi pada 1970-an yang Berisiko Terulang Tahun Ini

Kompas dunia | 9 Juni 2022, 05:05 WIB
Ilustrasi. Seorang perempuan melintas di dekat kumpulan karung terigu di Pasar Hamar-Weyne, Mogadishu, Somalia, 26 Mei 2022. Bank Dunia memperingatkan bahwa kondisi ekonomi global belakangan ini membuat risiko stagflasi semaki nyata. Apa itu stagflasi? (Sumber: Farah Abdi Warsameh/Associated Press)

YOGYAKARTA, KOMPAS.TV - Stagflasi adalah kondisi ekonomi yang paling pahit untuk dialami. Dalam periode ini, inflasi tinggi terjadi bersamaan dengan pasar kerja lemah serta stagnasi ekonomi, menimbulkan kondisi toksik yang mencekik konsumen dan membingunkan para ekonom.

Periode stagflasi pernah terjadi pada 1970-an. Pada 2022, Bank Dunia memperingatkan bahwa, sebagai buntut pemulihan dari pandemi Covid-19 yang dijegal dampak perang Rusia-Ukraina, karantina ketat di China, dan disrupsi rantai pasokan, ekonomi global terancam menghadapi stagflasi lagi pada tahun ini.

Dalam laporan Prospek Ekonomi Global yang dirilis pada Juni 2022, Bank Dunia memangkas prospek pertumbuhan ekonomi global tahun ini. 

Dampak perang Rusia-Ukraina disebut membuat proyeksi ekonomi global bertambah suram, kejutan-kejutan yang tak diinginkan pun berisiko menjerumuskan banyak negara ke jurang stagflasi.

Baca Juga: Proyeksi Suram Bank Dunia: Pada 2022, Banyak Negara Terancam Resesi, Krisis Pangan, dan Stagflasi

“Kejutan-kejutan merugikan yang lain akan meningkatkan kemungkinan bahwa ekonomi global mengalami periode stagflasi seperti pada 1970-an,” demikian tulis Bank Dunia dalam laporan Prospek Ekonomi Global versi Juni 2022.

Apa itu stagflasi?

Istilah stagflasi tidak memiliki definisi formal atau batasan statistis yang jelas. Ekonom-ekonom punya definisi yang sedikit bervariasi.

Apabila membicarakan stagflasi di Amerika Serikat (AS), Mark Zandi, kepala ekonom firma riset Moody’s Analytics, stagflasi di AS terjadi ketika tingkat pengangguran mencapai 5% dan harga-harga komoditas meroket hingga 5% atau lebih dibanding setahun sebelumnya. Saat ini, tingkat pengangguran di AS berada di angka 3,6%.

Sementara untuk negara-negara Eropa, yang mana tingkat penganggurannya cenderung lebih tinggi, batasan stagflasi versi Zandi lebih tinggi, yakni tingkat pengangguran 9% dan inflasi 4%.

Lalu, apakah stagflasi akan terjadi dalam waktu dekat ini? Menurut jurnalis ekonomi Associated Press, Paul Wiseman, “gelas” stagflasi baru “setengah penuh” untuk saat ini.

Meskipun demikian, proyeksi ekonomi global Bank Dunia yang semakin suram dan faktor-faktor lain membuat isu stagflasi semakin santer dibicarakan.

Bagi Indonesia, isu stagflasi telah menerakan dampak per Rabu (8/6) kemarin. Sebagaimana diwartakan Antara, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS melemah 10 poin pada hari ini karena isu stagflasi.

Apa yang terjadi pada 1970-an?

Hingga sekitar 50 tahun lalu, kalangan ekonom menganggap fenomena stagflasi sebagai sesuatu yang hampir tidak mungkin.

Ekonom masih mengamini teori Kurva Phillips yang dicetuskan A.W.H. “Bill” Phillips (1914-1975), ekonom asal Selandia Baru. Teori Phillips mengklaim bahwa inflasi dan tingkat pengangguran bergerak ke arah berlawanan, tidak bisa sama-sama memburuk.

Baca Juga: Janet Yellen Sebut IMF dan Bank Dunia Tak Bisa Hadapi Krisis Berlapis, Saatnya Direformasi

Wiseman mengumpamakan teori Phillips sebagai berikut: Jika ekonomi lemah dan banyak pengangguran, bisnis akan kesulitan meningkatkan harga-harga karena tidak akan ada yang mampu membelinya. Demikian, angka inflasi akan tetap rendah.

Di lain sisi, jika ekonomi cukup meriah untuk mengakomodasi kenaikan harga-harga, maka tingkat pengangguran yang berpengaruh ke daya beli konsumen seharusnya tetap rendah.

Akan tetapi, relatias ekonomi ternyata tidak demikian. Apa yang bisa mengacaukan teori Phillips adalah disrupsi mendadak pada rantai pasokan.

Misalnya, kenaikan tiba-tiba harga-harga material mentah yang memicu inflasi dan melemahkan daya beli konsumen untuk menggerakkan ekonomi.

Hal itulah yang terjadi pada 1970-an, berawal dari embargo minyak Arab Saudi dan negara-negara penghasil minyak lain.

Arab Saudi dan sejumlah negara mengembargo AS dan negara lain yang mendukung Israel dalam Perang Yom Kippur pada 1973.

Embargo itu memicu krisis minyak dan stagflasi di negara-negara Barat. Di AS, pada 1974-1982, inflasi dan tingkat pengangguran melampaui 5%.

Ini kemudian akan merembet ke negara-negara lain, berpotensi menimbulkan krisis ekonomi beruntun. Pasalnya, bank sentral perlu mengatasi stagflasi dengan menaikkan suku bunga cukup tinggi hingga menyebabkan resesi.

“Pemulihan stagflasi pada 1970-an memerlukan penaikkan suku bunga yang cukup tajam di negara-negara berekonomi maju, yang mana memainkan peran menonjol dalam memicu serangkaian krisis finansial di negara-negara berkembang dan emerging market,” demikian tulis laporan Bank Dunia.

Lebih lanjut, Bank Dunia merekomendasikan kepada pemangku kebijakan agar tidak membuat kebijakan yang "mengganggu" seperti kontrol harga, subsidi, dan larangan ekspor.

Kebijakan-kebijakan itu disebut dapat memperburuk meroketnya harga-harga komoditas belakangan ini.

"Dengan latar belakang inflasi tinggi yang menantang, pertumbuhan (ekonomi) yang melemah, kondisi finansial yang semakin sulit, dan keterbatasan ruang gerak kebijakan fiskal, pemerintah-pemerintah di dunia perlu melakukan memproriitaskan ulang pengeluaran kepada bantuan tepat guna untuk populasi rentan," tulis Bank Dunia.

Baca Juga: Putin Merasa Tak Berdosa, Sebut Barat yang Bersalah atas Krisis Pangan dan Energi

 

Penulis : Ikhsan Abdul Hakim Editor : Gading-Persada

Sumber : Associated Press


TERBARU